SUARAPANTAU.COM – Lembaga Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan meminta pemerintah kedua negara mengawasi sistem program kuliah-magang.
Sebab dari hasil temuan mereka di lapangan, terungkap ada sejumlah permasalahan yang berpotensi merugikan mahasiswa asing, termasuk Indonesia, yang mengikuti model perkuliahan itu.
Permintaan itu muncul menyusul kisruh dugaan eksploitasi yang dialami sekitar 300 mahasiswa RI di Taiwan. Diduga mereka dipekerjakaan melebihi waktu yang seharusnya.
“Indonesia dan Taiwan diharapkan melakukan monitoring, evaluasi, penataan kembali sistem mutu dan kurikulum program kuliah-magang, termasuk tata kelola rekrutmen, internship industri, agar memenuhi standar kualitas pendidikan tinggi,” tulis Ketua PPI Taiwan, Sutarsis melalui keterangan pers pada Senin (7/1) lalu.
“Terutama berharap pada pemerintah Indonesia untuk hadir memberikan kepastian dan jaminan terhadap setiap program pendidikan luar negeri, khususnya kuliah magang Taiwan, yang ditawarkan dan membidik pasar mahasiswa dari Indonesia.”
Berdasarkan data Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, ada sekitar 6.000 mahasiswa RI yang tengah menempuh studi di Taiwan. Sementara itu, seribu di antara mahasiswa RI itu mengikuti program kuliah-magang pada enam universitas penyelenggara program tersebut.
Sutarsis mengatakan biasanya mekanisme rekrutmen calon mahasiswa Indonesia program kuliah-magang dilakukan melalui tiga jalan. Yakni oleh universitas Taiwan bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia, pemerintah daerah, atau agen swasta.
Menurut Sutarsis, dari temuan PPI di Taiwan ternyata proses rekrutmen melalui agen swasta atau pihak ketiga kerap bermasalah. Contoh problemnya adalah soal pilihan universitas tujuan dan jurusan impian mahasiswa yang kerap tak sesuai dengan yang dijanjikan.
Menurut Sutarsis, pihak ketiga kerap mengubah sepihak tujuan kampus dan jurusan tanpa sepengetahuan calon mahasiswa. Menurut mereka hal itu diputuskan mendadak saat di Taiwan. Selain itu, biaya keberangkatan ditentukan oleh pihak ketiga sehingga jumlahnya bervariasi mulai dari Rp10-Rp40 juta.
Sutarsis memaparkan agen perantara swasta juga kerap memberi iming-iming beasiswa atau subsidi kuliah demi menarik calon mahasiswa Indonesia.
“Namun, realisasnya ditemukan adanya kelompok angkatan kuliah yang dinyatakan tidak bisa mendapatkan beasiswa/bantuan seperti yang dijanjikan dengan pemberitahuan saat hari H keberangkatan,” kata Sutarsis.
“Agen juga tidak memberikan penjelasan memadai tentang pembiayaan kuliah, sistem pendidikan, mekanisme dan pelaksanaan magang, hingga sistem penggajian untuk magang.”
Sutarsis memaparkan pengaturan kepastian tempat dan jadwal magang belum begitu baik di beberapa universitas. Alhasil menurut dia hal itu menyebabkan ada mahasiswa yang menganggur dalam kurun waktu hingga tiga bulan.
Padahal, mereka mengandalkan penghasilan dari magang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pembayaran uang kuliah.
“Program kuliah-magang itu adalah mandiri di mana skema biaya kuliah ditanggung mahasiswa yang bersangkutan atau diambil dari gaji magang/kerja industri,” kata Sutarsis.
Sutarsis menyatakan, berdasarkan hasil observasi lapangan, sistem pembayaran biaya kuliah juga kerap tidak dijelaskan secara rinci di awal kepada mahasiswa oleh beberapa universitas. Hal ini, lanjutnya, menyulitkan siswa untuk mengatur keuangan.
“Mayoritas sistem penggajian memang sudah memenuhi standar internship (magang) sekitar NT$150 per jam, dengan jumlah pendapatan NT$9000 sampai NT$11 ribu per bulan. Namun, ditemukan di salah satu universitas gaji yang diterima masih jauh di bawah standar gaji,” ujar Sutarsis.(*)