Oleh:
Hasbie Ridha Maulana
(Korps GMD Jawa Barat)
SUARANTAU.COM – Mewujudkan negara yang kuat adalah semangat luhur tiap bangsa. Mengutip pandangan Prabowo Subianto (2018: 16-17) bahwa yang membuat negara Indonesia masih saja stagnan adalah menyebarnya sindrom inferiority complex yakni suatu sindrom yang sangat sulit dilawan oleh bangsa Indonesia hari ini.
Menurut Moritz, Werner, dan Collani (2006), inferiority complex adalah suatu sindrom yang ditandai dengan kurangnya kesadaran terhadap diri serta meragukan tentang apa yang menjadi potensi diri, merasa tidak bisa bersaing, dan juga perasaan rendah diri.
Hal tersebut, seringkali terjadi secara tidak sadar dan juga pikiran yang mengarah kepada minta dikasihani.
Sementara itu, sindrom inferiority complex tengah menjalar di masyarakat kita hari ini. Kita masih saja diam dan seolah bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, Indonesia sedang tidak baik-baik saja?
Sebagai contoh, kita seringkali melihat beberapa tokoh publik dari luar negeri berbicara bahasa Indonesia, dan dengan histerisnya kita berteriak dan menganggap hal tersebut sangatlah luar biasa.
Namun, ketika anak bangsa bisa berbahasa asing atau mencoba untuk melatih bahasa asing didepan publik, tidak sedikit yang mencibir, baik dengan kata-kata yang biasa sampai kata-kata yang mungkin saja bisa menyakiti hati.
Juga dalam sebuah gambaran lain, menunjukkan betapa sakitnya ketika bangsa kita yang notabene adalah bangsa kaya raya. Namun dengan mudahnya dipandang rendah oleh bangsa lain.
Mengapa Harus ‘Indonesia Menang’?
Penulis mencoba memahami keresehan seorang Prabowo Subianto tergerak untuk menuangkan keresahannya tersebut dalam buku Indonesia Menang.
Indonesia wilayahnya luas, budaya dan sumber dayanya kaya, tapi kenapa bangsa Indonesia masih dipandang rendah oleh bangsa lain. Ketika slogan “Make Indonesia Great Again” malah dicibir. Hal tersebut menunjukkan betapa akut bangsa ini mengidap inferiority complex.
Lebih lanjut, Prabowo Subianto (2018: 23) menelaah kelemahan bangsa Indonesia, salah satunya adalah ketika beliau membaca History of Java (Sejarah Jawa) karya Sir Stamford Raffles.
Dalam buku tersebut, Raffles menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang-orang yang mudah diperdaya dengan karakter sebagai pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, dan cenderung tidak melakukan usaha keluar daerahnya, dan tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan dan pertumpahan darah.
Lebih lanjut, Raffles juga mengutip beberapa catatan orang Belanda tentang orang Jawa bahwa orang Jawa cenderung pendendam, tidak taat pada atasan, gemar meremehkan, cenderung kejam terhadap bawahan, lebih senang curang atau merampok ketimbang bekerja.
Dalam bukunya, Prabowo Subianto tidak serta merta mengamini penjelasan Raffles tersebut. Hanya saja, beliau menganggap hal tersebut sebagai cambukan agar bangsa Indonesia harusnya belajar dari penilaian orang lain untuk menjadi lebih baik.
Prabowo juga menyebut kadangkala kita seringkali tidak mau menerima nasehat dan kritikan dari kalangan kita sendiri. Ajaran bahwa kita harus bisa melihat kelemahan kita sendiri, jangan sampai orang lain yang malah mampu melihat kelemahan kita.
Kita juga harus berani terbuka untuk membaca otokritik yang ditulis oleh saudara kita sendiri.
Sadar bahwa bangsa Indonesia hari ini mengidap sindrom inferiority complex. Harusnya kita lebih sadar lagi bahwa bangsa Indonesia pernah menjadi peradaban yang kuat dan mapan.
Sebut saja keberadaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan lain-lain, adalah salah satu contoh betapa mapan dan kuatnya negara ini dimasa silam.
Beberapa julukan disematkan kepada bangsa kita, Negeri Agraris, Negara Maritim, adalah contoh konkrit dan kuat bahwa Indonesia adalah bukan negara kaleng-kaleng.
Mengutip Prabowo Subianto (2018: 32-33): “Meraka berdiri tegap menghadapi tantangan yang lebih besar dari dirinya, lebih besar dari bangsanya. Mereka tersenyum, dalam menghadapi kemalangan, Berani menantang bahaya. Tegar dalam kekalahan. Selalu rendah hati akan kemenangan.”
Rendah diri bukan berarti rendah hati. Rendah hati adalah sikap ksatria untuk menerima kenyataan, sedangkan rendah diri adalah sikap seorang pecundang yang tidak mau menerima kenyataan dan bersikap seolah-olah dirinya perlu dikasihani.
Pada titik ini, sudah bisa dilihat bahwa kemajuan bangsa Indonesia bukan hanya sekedar mampu atau tidak, tapi ini persoalan mental. Mental bangsa Indonesia yang terus-terusan menganggap dirinya tidak ada apa-apanya, mental bangsa Indonesia yang terus-terusan mengalah dan merasa tidak mampu bersaing.
Hal-hal tersebut yang dianggap bisa menghambat laju percepatan bangsa Indonesia. Indonesia sudah membuktikan dirinya dengan memukul mundur pasukan Belanda pada Agresi Militer Belanda I dan II yang dilakukan di era post-proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tapi mental pejuang yang sudah terbentuk perlahan pudar dan sirna dengan rasa nyaman dan aman. Bangsa ini lupa, ketika orasi Bung Tomo saat peristiwa 10 November dimana pasukan Inggris menginvasi Surabaya saat itu.
Bung Tomo memekikkan orasi untuk melecut semangat arek-arek Suroboyo saat itu:
”Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”
Betapa panasnya gelora medan laga di Surabaya saat itu, dan kini redup seiring berkembangnya arus zaman.
Muda-mudi kini yang hanya mau tahu fashion. Tapi lupa dengan passion, yang hanya mementingkan existence dibanding essence. Muda-mudi Indonesia mungkin lupa arti dari sebuah perjuangan bukan hanya sekedar menang harga diri dan kepentingan bersama serta kesejahteraan anak-cucunya nanti. Berteriak-teriak Revolusi Mental, tapi nihil.
Pada kondisi inilah kita mencapai titik kejenuhan. Bahkan tanpa sadar kita berjalan menuju negara yang gagal (failed state) ketika penyakit ini, tidak segera disembuhkan.
Bukan tanpa tantangan, sebab tidak sedikit diantara kita masih menutup mata akan kondisi ini. Memilih apatis yakni jadi pengecut dan tidak mau tahu apa-apa.
Mendengar peringatan, jika bangsa ini terus saja diam seperti kura-kura dalam cangkangnya. Lucu, seperti dagelan yang penuh ironi, dikala orang yang dengan hatinya mengingatkan kita bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja dianggap menyebarkan berita bohong atau sedang menganggu mimpi indah yang enggan bangun melihat kenyataan secara sadar.
Mungkin, bagi pemeluk agama Islam seringkali mendengar kisah Muhammad SAW seringkali dianggap gila dan disebut menyebarkan berita palsu tentang kebaikan dan kebajikan, dan yang menuduhnya adalah saudara sebangsanya sendiri.
Lalu bagaimana nasib orang yang menuduh Nabi dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan? Beberapa diantara loyalisnya justru berbalik pihak setelah tersadarkan.
Satu hal lagi, dikala orang yang mencela Nabi Muhammad bukanlah orang yang tidak tahu. Dia adalah orang yang mengetahui bahwa Nabi Muhammad menyebarkan kebenaran. Tapi dia menolak kebenaran dengan menyebarkan propaganda dan hasutan. Dan akhirnya, kebenaranlah yang akan menang.
Seperti kata Prabowo Subianto, “wong becik ketitik, wong ala ketara” dalam bahasa Jawa artinya baik akan terlihat, dan yang buruk akan nampak.
Melaui tulisan ini, penulis hendak mengajak kepada kita semua untuk mengerti dan memahami betapa pentingnya soal mental bangsa Indonesia yang hampir tidak mengalami perubahan hari ini.
Mental yang harus dibangun sejak dini bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pemenang. Indonesia harus Menang, agar terwujud cita-cita luhur para pendiri bangsa ini yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mental Indonesia Menang harus dibangun bukan hanya melalui senjata, perang sekarang bukan soal tembak menembak dan gerakan gerilya. Mental bangsa Indonesia harus segera diobati agar sadar dan waspada terhadap arus globalisasi yang menggerus identitas bangsa.
Sedianya Identitas bangsa harus bermental pejuang. Mental Indonesia Menang adalah soal mental bagaimana diri kita berkembang menuju arah yang ditentukan cita-cita bersama. Soal mental bagaimana identitas bangsa yang harusnya berada pada titik tertinggi pencapaian sebuah negeri.
Penulis berangkat dari semangat bersama sebagai sesama anak bangsa untuk mengobati penyakit Indonesia Lemah menjadi Indonesia Menang.
Akhir kata, Mari kita wujudkan cita-cita Indonesia Menang agar terwujud Indonesia Yang Adil dan Makmur. Soal berjuang memang tidak bisa dilakukan sendiri, maka dari itu mari kita bersama mewujudkan cita-cita tersebut. INDONESIA MENANG!(*)
Editor: Asran Siara