SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Rivalitas kedua pasangan capres dan cawapres yakni Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi kian ketat dan menjadi perhatian serius bagi publik.
Kendati demikian, hal tersebut, sangat wajar karena menyangkut hajat hidup bangsa kedepan.
Direktur Eksekutif NurjamanCenter for Indonesian Democracy (NCID), Jajat Nurjaman menaruh perhatian serius terhadap sengitnya pertarungan pada pilpres yang akan berlangsung pada 17 April 2019 mendatang.
Jajat menilai, meskipun Pilpres 2019 diikuti oleh salah satu pasangan yang notabene berstatus petahana. Akan tetapi, bukan tidak mungkin peluang pergantian kepemimpinan nasional terbuka lebar.
Jajat mencatat, sejumlah indikator penting terkait prediksinya. Pertama, ketidaksolidan partai pengusung Jokowi-Ma’ruf jelang Pilpres 2019.
“Beberapa waktu terakhir, tampak banyak sekali konflik dikalangan petinggi partai yang berujung perdebatan maupun saling sindir. Anehnya, hal itu didominasi oleh elit partai pendukung Jokowi-Ma’ruf,” sebut Jajat.
Hal ini, lanjut Jajat, ketidaksolidan partai pendukung Jokowi-Ma’ruf karena kepentingan pilpres beririsan dengan kepentingan Pileg.
Kedua, personal branding Joko Widodo sebagai petahana yang dinilai cenderung memanfaatkan fasilitas negara dalam kampanyenya hingga keengganan untuk cuti.
“Bagaimanapun ceritanya menggunakan fasilitas negara untuk suksesi pemilu tidak akan bisa diterima oleh masyarkat. Hal ini, akan jadi bumerang bagi calon petahana karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan,” tandasnya.
Terakhir, ketidaksolidan pendukung Jokowi dikalangan grassroot dan kurang kompak. Jajat menggarisbawahi, banyaknya laporan pendukung Jokowi dengan alasan pragmatis.
“Pak Jokowi memiliki masalah yang cukup krusial dari hulu hingga hilir atau mulai dari tataran elit hingga akar rumput pendukungnya. Tentunya, ini semua sangat menghambat kerja-kerja pemenangan beliau,” tutup Jajat.(*)