Oleh:
Haedar Akib
SUARAPANTAU.COM, MAKASSAR – Semboyan atau prinsip baru political entrepreneur, yaitu semula berprinsip “merdeka atau mati” menjadi berprinsip “kreatif-inovatif, atau mati”. Kata mati bukan berarti mati sungguhan atau terpisahnya nyawa dari jasadnya, melainkan dapat dimaknai tersingkir, terlupakan, teralienasi, terpinggirkan, ditinggalkan atau “diduakan.”
Dalam rangka mereaktualisasi makna Political Entrepreneur (“Wirausaha politik”) dengan menjawab pertanyaan berdasarkan rumus 5W+1H (Kipling, 2011) , yaitu what (apa), why (mengapa), where (dimana), when (kapan),
who (siapa), how (bagaimana) melahirkan generasi millenial yang kreatif, inovatif, etis, estetis, kinestetis, atau lebih khusus berkarakter political entrepreneur dalam arena persaingan (competition) yang membuahkan kerjasama (cooperation), dalam bahasa Inggris disebut coopetition (Akib, 2005; Bengtsson & Kock, 2000; Dagnino, 2009; Luo, 2007; Tsai, 2002).
Selanjutnya, untuk mengantisipasi berita lama di media, agar tidak terjadi di dalam organisasi kita, yang berjudul the Death of Samurai – robohnya perusahaan Jepang – Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, Sanyo, disebabkan oleh faktor harmony culture error, seniority error dan old nation error (Antariksa, diakses 2 Desember 2015).
Merambah “pemikiran baru” mengenai fokus dan lokus pengembangan kecerdasan artifisial (artificial intellingency/ AI) sebagai ciri revolusi industri 4.0 yang perlu disinergikan, istilah saya, dengan kecerdasan alamiah (natural intelligence/ NI) yaitu upaya mereaktualisasi hakikat penciptaan, harkat dan martabat manusia (human centered) yang terlahir membawa potensi kreatif, inovatif dan bernilai/bermanfaat sebagai jatidiri manusia di era masyarakat 5.0 (Akib, 2019; Karinov, 2019).
Sebuah petuah orang Bugis-Makassar – menurut Rahman Rahim yang dikutip dalam Disertasi saya di Universitas Indonesia (Akib, 2005: 177). Meskipun kata-kata bijak dan petuah itu telah lama, namun esensi dan orientasi nilainya masih kontekstual untuk melahirkan political entrepreneur.
Oleh karena itu, khazanah pemikiran orang Bugis-Makassar tersebut merupakan pembelajaran sosial-politik (social-political learning) yang amat berharga bagi kita sekiranya dapat diapresiasi, diinternalisasi dan direaktualisasi (terwujud) dalam kehidupan sehari-hari.
Dipahami bahwa, karakter wirausaha berbasis kreativitas dan inovasi yang bernilai (Akib, 2009: 102) merupakan satu dari sejumlah keahlian yang sangat dibutuhkan oleh generasi millenial di era masyarakat 5.0 (Zubaidah, 2016).