Opini: Political Entrepreneur Menyongsong Era 5.0

Haedar Akib

Karakter wirausaha atau kewirausahaan dipahami sebagai seni (state of the art) dan ilmu (state of the science) pengetahuan (explicit, tacit, cultural) dalam melahirkan sesuatu yang baru, unik/khas, berbeda atau bermafaat dilihat dari aspek perilaku, produk, proses atau pers/lingkungan (Akib, 2005; Anderson, De Dreu, & Nijstad, 2004) dengan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, baik secara individu maupun bersama-sama untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, upaya membangun jatidiri generasi muda yang inovatif, mandiri dan berkarakter (etis, estetis, kinestetis, beretos) political entrepreneur dalam semangat persaingan yang membuahkan kerjasama dapat diarahkan dengan mengubah semboyan atau prinsip

hidupnya, yaitu dari prinsip “merdeka atau mati” menjadi prinsip “kreatif-inovatif atau mati”.

Kemudian, menanamkan karakter political entrepreneur sebagai intinya pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/ AEC) atau disingkat MEA ini. Jika tidak demikian adanya maka situasi yang mungkin terjadi adalah generasi millenial yang – mohon maaf – TA’MEA-MEA menurut bahasa Makassar (kencing-kencing, menurut bahasa Indonesia) di tanah kelahiran atau “kampung sendiri” (Akib, 2012, 2016) karena tidak memiliki kompetensi inti atau karakter political entrepreneur sebagai sumber keunggulan daya saingnya.

Berita lama di media berjudul the Death of Samurai – robohnya perusahaan Jepang, seperti Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, Sanyo yang disebabkan oleh faktor harmony culture error, seniority error dan old nation error (Antariksa, diakses 2 Desember 2015) merupakan refleksi pembelajaran sosial-politik bagi kita dalam melahirkan generasi millenial yang mandiri, kreatif, inovatif dan berkarakter political entrepreneur.

Pembelajaran yang dipetik adalah khazanah budaya Jepang, berupa harmoni, senioritas dan sejarah yang juga merupakan ciri umum dalam khazanah budaya lokal masyarakat Indonesia di Sulawesi Selatan, ternyata bernilai ganda dalam aplikasinya ketika itu.

Budaya kerja yang mengagungkan harmoni dan konsensus (persaudaraan dalam kesukuan) semata, justru telah membuat perusahaan Jepang lamban dalam membuat putusan dan menjadi penyebab tidak berkembangnya gagasan kreatif demi menjaga “keindahan” budaya harmoni. Kemudian hampir semua perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas, sehingga promosi jabatan diutamakan bagi yang “tua”. Selain itu, loyalitas bagi perusahaan merupakan kebiasaan.

Pada kondisi seperti ini, ide-ide kreatif atau inovasi dari kaum muda millenial dengan mudah tersingkirkan.

Selanjutnya, Jepang merupakan negara yang menua karena separuh dari penduduknya berusia di atas 50 tahun, meskipun informasi terbaru bahwa usia yang dianggap tua untuk pensiun adalah di atas 60-65 tahun (Duval, 2003).

Implikasinya, mayoritas Senior Manager atau pejabatnya masuk dalam kategori pegawai yang sudah menua, sehingga cenderung tidak cepat tanggap, kurang peka atau “lalot” (lambat loading) terhadap arus perubahan yang berlangsung cepat di era millenial atau era masyarakat 5.0 saat ini.

Mencermati latar depan urgensi dan signifikansi, serta esensi dan orientasi melahirkan political entrepreneur millenial yang kreatif, inovatif, mandiri dan berkarakter dalam semangat persaudaraan, maka pertanyaan besarnya adalah mengapa political entrepreneur dijadikan tema orasi ilmiah ini. Selanjutnya diuraikan jawaban atas pertanyaan retoris menurut kata kunci 5W+1H (Kipling, 2011).

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *