Oleh: Syarifudin Yunus
(Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka / Dosen Unindra)
SUARAPANTAU.COM – MENDONGKRAK gaya hidup, bisa jadi konsekuensi era digital. Eksistensi manusia lebih diukr dari gaya hidupnya. Maka wajar bila akhirnya, lebih besar pasak daripada tiang. Karena terlalu memaksakan gaya hidup. Biar dibilang keren, dibilang mantul. Akibat gengsi dan status sosial, gaya hidup jadi lebih ditonjolkan.
Bila ada pejabat terlibat di penjara akibat korupsi, artis yang berani pasang “rate” per sekali kencan. Atau bahkan gemar dugem, jiwa konsumtif, hedonis, hingga terlibat narkoba. Semua itu berpangkal dari “gaya hidup yang berlebihan”. Gaya hidup, biar tekor asal kesohor.
Apakah mereka kekurangan uang?
Sama sekali tidak. Karena uang itu hanya sebagian kecil dari rezeki. Mereka hanya punya gaya hidup yang berlebihan. Lupa bersyukur. Maka jadi masalah, hingga jatuh ke lubang kesengsaraan. Ada sinyalemen, 3 dari 10 orang Indonesia punya perilaku negatif akibat gaya hidup. Dan faktanya kini, sekitar 15,6 juta orang Indonesia mengalami depresi alias gangguan jiwa akibat gaya hidup.
Gaya hidup, atau bahasa kerennnya lifestyle itu jahat.
Karena gaya hidup itu sifatnya memaksa, terlalu mengumbar nafsu. Agar dibilang mentereng. Citranya bagus. Karena mampu bergaya dalam hidup. Walau hanya terlihat dari “bungkus”-nya saja. Agar kelas sosial-nya meningkat. Maka wajar hari ini, berapa banyak orang yang terseret ke dalam gaya hidup di luar kemampuannya.
Berjiwa konsumtif, hedonis, dan mencintai “kesenangan sesaat”. Gaya hidup yang dipaksakan, bukan apa adanya. Di situlah pentingnya literasi gaya hidup. Cara sederhana memahami dan memampukan kendali terhadap gaya hidup di era supermodern seperti sekarang.
Mengapa hari ini banyak orang depresi? Bisa jadi karena mereka tidak mampu mengendalikan gaya hidup. Terjebak gaya hidup di luar kemampuannya. Bagi mereka, kemuliaan atau kesuksesan hanya dilihat dari penampilan fisik. Atau gaya gaya hidup semata.
Gaya hidup itu hanya sekunder, bukan primer. Tapi sayangnya, banyak orang ingin mengubah gaya hidupnya. Hingga lebih senang menonjolkan kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme yang bersifat sesaat.
Gaya hidup bisa dikenali dari cara menghabiskan waktunya (aktivitas), lalu apa apa dianggap menyenangkan di mata orang lain (minat). Agar terbentuk apa yang orang pikirkan tentang dirinya (opini). Jadi, gaya hidup bertujuan hanya untuk mendongkrak citra diri dan status sosialnya.
Pentingnya Literasi Gaya Hidup
Agar masyarakat paham. Bahwa gaya hidup yang berpotensi jadi masalah harus dihindari. Caranya, harus dimulai dari diri sendiri. Mulai membenahi dan mengendalikan diri. Bahwa gaya hidup hanya bersifat kamuflase. Perilaku yang hadir akibat gengsi dan eksistensi sosial. Mereka yang “gagal memahami” tentang sikap, konsep diri, motif, persepsi bahkan pergaulan dalam hidup.
Leiterasi gaya hidup. Agar paham bahwa tiap orang punya perilaku budaya yang berbeda. Kelas sosial pun beda. Bahkan pekerjaan dan kadar kemampuan keuangan pun tidak sama. Itu artinya, gaya hidup harus disesuaikan, bukan dipaksakan.
Mengingat gaya hidup yang berlebihan atau dipaksakan, biasnya punya implikasi buruk pada diri penganutnya seperti; (1) Hidupnya boros demi gengsi dan status sosial, (2) Terjebak lilitan utang yang tak berkesudahan, (3) Gagal menekan biaya hidup sendiri, (4) Tidak memiliki uang tabungan atau cadangan, (5) Tingkat kepemilikan aset rendah, (6) Rentan depresi dan stress, dan (7) Bertumpu pada keinginan bukan kebutuhan.
Biar tekor asal kesohor, begitulah motto pemilik gaya hidup berlebihan. Berjiwa konsumtif, berperilaku hedonis. Sementara rumah masih cicil atau sewa. Kendaraan masih kredit. Biaya sekolah anak terbengkalai. Membeli barang yang tidak dibutuhkan. Lalu hidup penuh keluhan, stres dan depresi. Sungguh, itu semua terjadi karena gaya hidup yang berlebihan, gaya hidup yang dipaksakan.
Literasi gaya hidup, tentu bukan untuk mengekang kebebasan. Apalagi mencampuri urusan orang lain. Tapi Justru untuk menambah bobot dan kualitas pengendalian diri dalam menyikapi dinamika peradaban. Agar tidak terjebak pada gaya hidup yang berlebihan.
Semakin meningkat gaya hidup, maka semakin tinggi risiko ekonominya. Maka literasi gaya hidup, hanya ingin mengajak sikap dan perilaku masyarakat kembali pada realitas bukan harapan.
Literasi gaya hidup, sejatinya bukan sekadar pengetahuan apa dan bagaimana hidup. Tapi soal cara memahami dan memampukan diri dalam hidup. Agar punya kesadaran untuk menjadikan hidup lebih baik, lebih bermanfaat. Karena gaya hidup keren itu adalah “apa adanya” bukan “ada apanya”. Gaya hidup Gaya hidup yang sederhana tapi bermakna.
Literasi gaya hidup. Hanya mengajarkan kita untuk mensyukuri atas apa yang dimiliki. Bukan mengeluhkan apa yang orang lain miliki. Karena apa yang kita miliki saat ini adalah pantas untuk kita. Itulah literasi gaya hidup. Bukan tekor asal kesohor.(*)