Oleh : Suriadin P (Wartawan Sekaligus Dosen UNIAT)
SUARAPANTAU.COM – Hidup dibawah garis kemiskinan tentu semua orang tidak menginginkannya, apalagi sampai bayang-bayang kemiskinan itu membuat ia sampai putus sekolah. Anco (Sapaan akrabnya) merupakan senior (sahabat) sekaligus panutan dan motivator saya. Ia seorang pemuda yang berasal dari keluarga yang hidup serba berkekurangan. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai Petani yang tinggal dipelosok pedesaan tepatnya di Desa Bonelalo, Kec. Lasalimu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pemuda yang memiliki dua saudara ini, menurut pengamatan saya, adalah sosok pemuda desa bersahaja yang memiliki segudang harapan, penuh optimis dan pekerja keras. Bagi dia, hidup ditengah keluarga dengan kondisi ekonomi yang memiliki banyak keterbatasan bukannlah sebuah alasan yang mendasar untuk melumpuhkan semangatnya dalam mengwujudkan cita-cita demi membahagiakan kedua orang tuanya.
Bahkan bisa saya katakan bahwa saat ini, beliau sudah menjadi tulang punggung bagi keluarganya, betapa tidak, Selain membiayai kehidupan kedua orang tuanya, Saat ini, Anco juga sembari membiayai kehidupan sehari-hari dan kuliah adiknya yang saat ini sedang melanjutkan studi S1-nya disalah satu universitas dijakarta.
Suatu ketika dirinya sempat bercerita kepada saya, tepatnya diwarkop murmer pless gratis wifi dekat kampus UNJ tempat ia melanjutkan Studi Doktor (S3) saat ini, bahwa “ kita ini lahir ditengah keluarga yang miskin, kita hanya seorang anak kampung yang mencoba mengaduh nasip di Ibu Kota, akan tetapi adinda perlu ingat bahwa dengan kondisi keuangan keluarga seperti itu, bukan berarti kita tak bisa melanjutkan studi apalagi sampai putus sekolah, toh sebelum kita banyak senior-senior terdahulu kita dengan nasip yang sama tetapi mereka bisa bertahan disini sampai mereka selesaikan S2 dan S3’nya bahkan sampai sudah ada yang menjabat dipemerintahan di ibu kota. Kita harus optimis dan berikhtiar bahwa selama kita berusaha insyaallah kita bisa wujudkan cita-cita kita. Jangan katakan tidak bisa pada dirimu, adinda harus katakan bisa dan bisa” ucap dia pada saya sembari tersenyum
Bahkan yang mengharuhkan ketika dirinya menceritakan saat dirinya berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk melanjutkan Studi S2 dijakarta. tentu orang tuanya menyambut baik hajat anaknya tersebut, namun takdir berkata lain, orang tua Abanda saya ini hanya menyampaikan padanya bahwa “kami hanya bisa mendukungmu dengan doa karena kami tidak mampu membiayaimu untuk melanjutkan S2.” pada saat mengucapkan itu ibunya memeluk erat dirinya sembari meteskan air mata.
Sebagai seorang senior sekaligus sahabat saya yang sama- sama menempuh pendidikan dikota Jakarta, Bang Anco bisa dibilang salah satu pemuda Buton yang nekat merantau dikota Jakarta untuk mengubah nasip dengan bermodalkan keberanian dan doa orang tuanya, sama halnya dengan semangat mahasiwa lainnya yang merantau di Ibu Kota Jakarta dan kota besar lainnya.
Pemuda ini semangat perjuangan dan konsistensinya selalu dijaga, dia selalu menyampaikan kepada kawan- kawan maupun adik- adiknya dijakarta tentang pentingnya menjaga spirit perjuangan dan konsistensi, salah satu kalimat yang sering diucapkan oleh dia adalah “kita ini orang kampung, anak petani, bukan anaknya pejabat, jadi harus lebih kerja keras dibanding hidup serba berkecukupan, agar cita- cita kita bisa tercapai.’’
Sebagai pemuda yang kedua orang tuanya hanya lulusan SD dan berprofesi sebagai petani dipelosok Indonesia timur ini. Dari kecil dia sudah digembleng dengan kerasnya kehidupan, kondisi keluarganya sangat memprihatinkan, betapa tidak, ayahnya hanya seorang petani sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga. Hasil cocok tanam ayahnya, bisa dikatakan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Pada saat duduk dibangku sekolah Dasar (SD) dia dan orang tuanya tinggal jauh dari perkampungan warga, dia dan kedua orang tuanya bersama kakak dan adiknya tinggal dan menetap di areal perkebunan yang jaraknya kurang lebih enam kilo meter dari perkampungan.
Sementara untuk menuju kesekolah, dia harus berjalan kaki kurang lebih sejauh 7 KM melewati semak-emak dan perkebunan warga, hal itu dia jalani selama 6 tahun. Setelah pulang sekolah dia selalu membantu orang tuanya diladang, kemudian dia membantu orang tuanya untuk menjual hasil cocoktanamnya di pasar. aktivitas itu rutin ia lakukan.
Usai menempuh pendidikan sekolah dasar, dia harus rela berpisah dengan kedua orang tuanya, sebab saat itu dikampunyanya belum ada SMP, kerenanua Ia harus hijrah kekampung lain dan tinggal bersama keluarga orang tuanya disekitar sekolah yang akan ia jadikan sebagai lahan menimbah ilmu.
Yang membuat air mata saya berlinang, ketika dirinya bercerita tentang kondisi keuangan orang tuanya, saat itu kondisi ekonomi orang tuanya benar-benar sulit, pasalnya, untuk membeli seragam sekolah saja, orang tuanya tak mampu. Demi anaknya untuk tetap melanjutkan sekolahnya, orang tuanyapun harus rela meminjam uang pada orang lain sebesar lima puluh ribu rupiah, dari uang pinjaman tersebut ia bisa membeli baju seragam.
Bang Anco melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Ibu Kota Kecamatan Lasalimu (Kamaru), Kab. Buton. Pada saat SMP Pun dia harus berjalan kaki menuju sekolah sejauh tiga kilo meter, setelah selesai di Sekolah Menengah Pertama, dia melanjutkan Pendidikan di Madrasah Aliah Negeri (MAN) Kota Baubau, dikota Baubau dia tinggal dirumah ayah dan ibu angkatnya.
Setelah tamat di Madrasah Aliah Negeri, karena kegigihan dan keinginannya untuk tetap melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi, Ia terpaksa harus hijrah kembali ke Kab. Konawe Selatan (Konsel) Provinsi Sulawesi Tenggara untuk bekerja disalah satu perusahaan, tujuannya satu, yaitu untuk mencari uang Kuliah minimal untuk uang pendaftaran dan pembayaran SPP pertama, sebab orang tuanya tidak mampu membayar uang semester kuliahnya bahkan untuk membayar uang pendaftaran diperguruan tinggipun tidak bisa.
Setelah kembali ke Kota Baubau, Ia mendaftar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) YPIQ Baubau dengan menggunakan uang dari hasil jeripayahnya di perusahaan tempat ia mengais rezeki, akhirnya dia bisa membayar uang pendaftaran serta SPP pertamama di Kampus tersebut. Proses perkuliahanpun ia jalani dan tekuni dengan kesahajaannya, namun lagi-lagi ketika dirinya masuk kesemester selanjutnya dirinya kembali dirundung pilu karena tak mampu membayar SPP semester selanjutnya, akhirnya ibunya terpaksa menjual cincin pernikahannya.
Karena tidak mau terus membebani kedua orang tuanya untuk membiayai kuliah dan kebutuhan hidupnya pada saat kuliah, dia harus menjalani aktivitasnya sebagai tukang ojek, setelah shalat subuh dia ngojek terlebih dahulu sebelum berangkat kekampus. Aktivitas itu dia jalani selama empat tahun lebih.
Tak hanya itu, disaat ia masih kuliahpun, dirinya masi menyempatkan diri untuk membantu kedua orang tuanya dengan mengambil hasil cocotanam hasil jeripayah ayahnya seperti umbi-umbian, jagung dan cabe, kekota lalu ia jual dari rumah kerumah.
Demi menghemat biaya hidup, saat kuliahnyapun dia tinggal disekretariat kampus bersama teman- teman seperjuangannya.
Bang Anco merupakan mahasiswa yang aktif diberbagai organisasi Intra maupun Ekstra kampus, di organisasi intra kampus ia aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI YPIQ Baubau, bahkan pada tahun 2010 dia terpilih menjadi Presiden Mahasiswa Periode 2010- 2011. Pada organisasi Ekstra kampus ia aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Sekalipun ia aktif diberbagai organisasi, tapi yang menjadi skala prioritas adalah prestasi akademik, buktinya dia menjadi lulusan terbaik STAI YPIQ Baubau pada tahun tahun 2012.
Bagi saya, Beliau bukan saja dikenal sebagai sosok pemuda desa yang penuh kesederhanaan, tetapi juga dikenal sebagai seorang yang organisatoris dan Akademis. “ Dia bukan lelaki biasa yang pantang menyerah, dirinya selalu siap menghadapi kenyataan.”
Setelah lulus kuliah di STAI YPIQ Baubau pada tahun 2014, anak petani ini komitmen untuk melanjutkan cita- citannya dan mewujudkan mimpinya dengan melanjutkan studi kejenjang berikutnya dengan modal nekat dan yakin. Dia berani mengambil tanggung jawab itu untuk hijrah ke Jakarta dengan modal satu juta lima ratus ribu rupiah.
Kota Jakarta menjadi pilihannya untuk mewujudkan mimpinya, alasannya cukup sederha, selain melanjutkan studi, menurutnya, Kota Jakarta juga sebagai ibu kota negara yang cukup menjanjikan untuk mengasah kemampuan akademik dan membangun jejaring (Relasi). Dia melanjutkan studi di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prodi Manajemen Pendidikan (MP). Setelah beberapa bulan menjalani perkuliahan dengan serba kekurangan alhamdulillah anak petani tersebut mendapatkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Keunagan (LPDP).
Setelah mendapatkan beasiswa, beban sebagai mahasiswa cukup terbantu, biaya kuliah dibayar oleh pemerintah, anak petani ini fokus kuliah agar bisa menyelesaikan dengan budaya akademik UNJ dan bisa selesai tepat waktu. Demi mepercepat kuliahnya, Bang Anco, tekun belajar dengan harapan agar bisa mengikuti proses pembelajaran dengan efektif, sebab dia merasa berasal dari kampus swasta yang menurut saya, mutu pendidikan dan fasilitasnya jauh dibawa UNJ.
Tapi dia sangat bersyukur sebagai alumni di STAI YPIQ Baubau, justru dia ingin membuktikan bahwa lulusan kampus STAI YPIQ Baubau mempunyai kualitas dan bisa bekompetisi ditingkat nasional maupun internasional, hal itu menjadi salah satu aspek pendorong atau motivasi yang menggerakan tekatnya untuk melanjutkan pendidikan di Kota Jakarta.
Selain fokus kuliah, dia juga aktif diberbagai organisasi Intra maupun Ekstra Kampus untuk membangun akses di Kota Jakarta. Pada organisasi Intra kampus dia pernah menjabat sebagai Sekjen Forum Mahasiswa Forum Pascasarjana (FORUM WACANA) UNJ Periode 2015- 2016. Untuk organisasi Ekstra kampus pernah aktif di Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dan beberapa organisasi ekstra lainnya.
Yang membuat saya kagum dengan sahabat saya ini adalah keyakinan, ketekunan dan ambisius dalam berjuang. Pada tahun 2017 dia berani lanjut kuliah Program doctoral tanpa beasiswa, saya tahu persis waktu itu dia belum mempunyai pekerjaan tetap, saat itu, dia baru menjadi tutor di Univesitas Terbuka (UT).
Saya sempat mengatakan sama dia, nekat juga anda anak muda. Saat itu dia hanya tersenyum dan menjawab bahwa, “Dinda satu hal yang perlu dipahami bahwa Allah tidak pernah membiarkan hambanya berjalan sendiri jika melakukan kebajikan, pendidikan itu adalah jihat, haqul yakin kita bisa menjalani proses ini walaupun terjal dan berliku.” Kata dia
Setahun pertama melanjutkan pendidikan pada program Doktoral di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada tahun 2017, saya menyaksikan betul bagaimana perjuangan dia untuk bisa bertahan hidup dan membiayai uang kuliah yang notabenenya menurut saya SPP S3 UNJ cukup besar. Dengan keyakinan dan ketekunannya dia bisa melewati masa-masa sulit itu, dia pernah menyampaikan kepada saya pada tahun 2017- 2018 adalah tahun yang sangat ktiris bagi dia, dalam sehari kadang hanya sekali makan karena harus hemat. Di akhir tahun 2017 dia mengikuti seleksi beasiswa tapi gagal, berikutnya diawal tahun 2018 dia ikut lagi seleksi beaiswa dan hasilnya tetap sama gagal juga, nanti diakhir tahun 2018 baru dia lulus beasiswa. Dia selalu menyampaikan kepada saya bahwa, setip orang itu punya jatah gagal, selagi masih muda habiskan jatah gagalmu, jika jatah gagalmu sudah habis maka kamu akan memetik kesuksesan.
Kini anak petani yang acap kali diterjang barbagai badai ujian bertubit-tubit itu, tepatnya Pada Hari Rabu tanggal 16 Januari 2020 memberikan angin segar yang membahagiakan buat kami mahasiswa asal Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ada di Jakarta, salah satu senior kami yang akrap disapa Bang Anco ini kini di lantik menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Islam Attahiriyah Jakarta (UNIAT), salah satu universitas di Jakarta.
Saat ini, Bang Anco sedang menempuh Pendidikan Doktoral di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Alhamdulillah belaiu sudah menyusun Disertasi. Bang Anco juga merupakan Dosen tetap di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, selain itu, dia juga mengajar di Universitas Terbuka (UT), Universitas Ibnu Chaldun (UIC) dan Universitas Islam Attahiryah (UNIAT) Jakarta.
Menurut pandangan saya sebagai seorang sahabat anak petani ini inssya allah karirnya akan bagus kedepannya, dia sosok senior yang mengayomi, kepribadiannya santun, kalem, pandai bergaul dan punya kualitas intelektual yang baik.
Sebagai anak petani yang mengadu nasip di Ibu Kota dan berlatar belakang kelurga petani yang besar didaerah tentunya terpilinya menjadi dekan di salah satu univesitas swasta di Ibukota merupakan prestasi yang luar biasa, apalagi diumur yang masih begitu muda. Usianya memang masih muda tapi kemampuan inteletualnya hebat, ditambah lagi dengan metode komunikasinya yang baik.
Salam Hormat Dan Selamat Bertugas Abangda Anco.
Salam Kopi Kaki Lima.