Oleh : Jerry Massie (Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies)
SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Bahasa lockdown tiba-tiba menjadi trending topik, bahkan begitu populer di jagad ini selain smackdown dan shutdown.
Memang cara ini saya nilai cukup efektif dalam mengatasi penyebaran virus Corona (Covid-19) yang merajalela bahkan strategi jitu untuk menghentikan korban jiwa. Selain itu, adapula cara lain yakni karantina, isolasi, social distancing and physical distancing. Ingat, Italia awalnya menggangap remeh dan enteng wabah virus corona.
Berbarengan dengan hal itu harus dibayar mahal oleh Perdana Menteri (PM) Italia, Giuseppe Conte. Bandingkan saat pandemi corona menerjang negeri Azurri ini pada 31 Januari 2020. Kala itu, jumlah korban hanya dihitung dengan jari. Sikap apatis bahkan apiori ditunjukan Conte.
Jika dia cepat melakukan karantina, bisa saja korban tak sebanyak sekarang ini. Sejauh ini, korban wabah Corona di Italia mencapai 10 ribu orang. Per hari saja tercatat 919 korban meninggal sedangkan jika ditotal semuanya mencapai 100 ribu orang. Sebelumnya, yaitu 21 Febuari tercatat hanya 20 korban di Italia dan dalam tempo 18 hari melonjak mencapai angka 9171 namun kini tembus 100 ribu orang.
Di Indonesia, saat dua orang ditemukan terinfeksi Covid-19 di Depok yang diduga dibawa warga Jepang, pemerintah belum mengambil langkah antisipatif. Masih saja berasumsi. Seandainya langsung cepat di cegah maka dipastikan tidak akan menyebar luas seperti sekarang ini.
Saya salut dengan sikap pemerintah Tegal dan Papua dan sejumlah daerah yang menutup akses masuk dan keluar daerah mereka. Padahal Presiden Jokowi menyebutkan untuk urusan lockdown diserahkan ke pemerintah pusat. Walikota Tegal, Deddy Yon Supriyono lebih berani mengambil sikap tegas ketimbang Presiden Jokowi yang masih lambat merespon kasus Covid-19 ini. Kota ini pun ditutup selama 4 bulan ke depan.
Begitu pula Walikota Bontang yang mau mendonasikan gajinya selama 6 bulan terhadap pandemi Corona. Ini layak ditiru oleh pemimpin di negeri ini. Saya yakin jumlah provinsi akan lockdown sekitar 10 hingga 15 provinsi. Apalagi Perppu atau Perpres local lockdown akan diterbitkan oleh pemerintah.
Daerah-daerah yang membuat kebijakan lockdown selain Tegal, Solo (semi lockdown) adapula Provinsi Papua, Bali, Kabupaten Karawang khusus TKA, Maluku dan Bengkulu. Ada juga yang sempat membuat kebijakan ini yakni Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta dan Kalimantan Timur tapi merubah keputusannya.
Sebelum kejadian ini merebak, saya sudah sempat mengusulkan lockdown di awal Maret 2020. Barangkali ini langkah preventif agar korban tak berjatuhan. Sedangkan untuk status darurat Covid-19 saya sudah sampaikan di sejumlah media nasional pada 27 Januari 2020 lalu. Sedangkan pemerintah mengeluarkan status tersebut pada 29 Febuari 2020.
Barangkali menurut saya kebijakan ini agak telat dikeluarkan. Metode karantina yang dari bahasa asli Italia “Quaranta giorni” artinya (40 hari). Istilah ini muncul pada abad ke-14 dengan wabah Bubonic atau maut hitam yang membunuh sepertiga dan dua pertiga penduduk Eropa. Ini sama persis dengan wabah Black Death di Spanyol abad ke-14 silam yang membunuh kurang lebih 70-200 juta penduduk di Eropa.
Selain itu, muncul beberapa wabah penting yang muncul kemudian antara lain Wabah Italia (1629 – 1631), Wabah Besar London (1665 – 1666), Wabah Besar Wina (1679), Wabah Besar Marseille (1720 – 1722), serta wabah pada tahun 1771 di Moskwa. Penyakit ini berhasil dimusnahkan di Eropa pada awal abad ke-19, tetapi masih berlanjut pada bagian lain dunia (Afrika Tengah dan Oriental, Madagaskar, Asia, beberapa bagian Amerika Selatan).
Anggaran lockdown, social distancing dan total karantina.
Memang pertumbuhan ekonomi 0-2 persen melambat utang membengkak. Caranya, setengah anggaran APBN di alokasikan untuk Covid-19. Anggaran 70 Triliun dana desa, Rp120 Triliun dana kesehatan dan Rp131 triliun anggaran PU-PR bisa menutupi soal financial.
Jakarta sendiri setidaknya butuh Rp12,4 triliun untuk lockdown. Khusus lockdown, India menggagarkan Rp353 triliun dari jumlah penduduk yang mencapai 1,3 miliar orang. Negara tetangga kita Malaysia lebih cepat dan tanggap mengatasi wabah corona. Negeri Jiran ini pun mengangarkan stimulus Rp920 triliun untuk cegah corona.
Bukan saja itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump rela berkorban dengan menyumbangkan 3 bulan gaji demi corona, PM dan Menteri Malaysia pun ikut mendukung penanganan Corona dengan memotong 30 persen gaji mereka selama 2 bulan, Presiden AS menyumbangkan gaji 3 bulan untuk membantu Corona.
Singapura memotong gaji pejabat publik untuk tim medis. Berbeda dengan Indonesia, penanganan Corona hanya dianggarkan Rp62 triliun. Anehnya, pemerintah membuka sumbangan dari masyarakat. Sebetulnya, anggaran pemerintah di kas sampai Febuari yang ngangur sampai Rp270 triliun.
Sampai kini, virus Corona telah menyebar ke-200 negara dengan jumlah kasus sebanyak 662.073 dan jumlah korban meninggal mencapai 30.780. Di Indonesia dilaporkan korban meninggal terus bertambah sampai 29 Maret 2020 berjumlah 1.155 kasus, 102 korban meninggal dan 59 orang sembuh.
Amerika Serikat (AS) menggeser Italia dengan jumlah kasus yang dirilis Jhon Hopkins University yakni, 127.131 kasus 2.202 orang meninggal dan 3.321 pasien sembuh.
Menterinya Jokowi pun kehilangan akal bahkan no action and no concept dalam menghadapi situasi genting ini. Seyogianya mereka mencari solusi atau formula yang tepat mengatasi persoalan ini.
Pemerintah diperhadapkan antara nyawa dan krisis, benar pernyataan Presiden Ghana, Nana Addo Danwa Dakufo-Addo, “Kami tahu bagaimana menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang meninggal”.
Saat ini hampir 10 daerah menerapkan local lockdown sebentar lagi bakal ke arah total lockdown. Hari ini dipastikan Kabupten Toli-toli (Sulteng), dan Kabupaten Wajo (Sulsel) serta Kota Bogor akan mengikuti jejak Kota Tegal dan Papua. Saya berharap pak Presiden menerapan total lockdown untuk menyelamatkan bangsa ini. (co)