*Dr. A.M Ajigoena, M.Pd
(Dosen FTIK IAIN Palopo)
KRISIS virus corona di awal tahun 2020 hingga meningkat ekskalasinya pada saat-saat sekarang ini telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia hingga berdampak pada berbagai kecenderungan dan perubahan pola perilaku manusia.
Dalam bidang pendidikan, model pembelajaran daring/online dianggap menjadi solusi terbaik demi sebuah asumsi untuk tidak membiarkandunia pendidikan formal lumpuh total di tengah pandemi.
Namun, bukannya tanpa celah, model pembelajaran daring yang awalnya dianggap sebagai solusi terbaik justru bagi segelintir masyarakat dianggap kontraproduktif terhadap upaya pencegahan virus corona.
Terutama ketika menganggap model pembelajaran ini sebagai penyebab meningkatnya beban belajar melalui peningkatan beban tugas yang memicu timbulnya stres di kalangan peserta didik. Pada gilirannya, stres justru memicu melemahnya sistem ketahanan tubuh terhadap berbagai potensi terjangkitnya penyakit.
Makna Tugas dalam Konteks Pembelajaran
Penting untuk memaknai apa itu tugas dalam pembelajaran sehingga memahami kritik beban tugas yang berlebihan pada pembelajaran daring dapat dilihat konteksnya secara benar.
Berdasarkan teori belajar, tugas diartikan sebagai segala jenis aktivitas belajar yang dibebankan pada peserta didik untuk menguasai suatu kompetensi. Pada termonologi lain, tugas dikenal pula dengan istilah tagihan belajar.
Ragam jenis aktivitas, tugas, dan tagihan belajar sendiri dapat dibedakan berdasarkan
tahapan pembelajarannya. Merujuk pada pendapat yang dikemukan oleh Dick, Carey, and Carey, terdapat lima tahap kegiatan pembelajaran, yakni tahap awal (preinstruction activities), penyajian isi (content presentation), partisipasi peserta didik (learner participation), penilaian (assessment) serta tindak lanjut (follow-through activities).
Masing-masing tahap tersebut dapat beragam aktivitas/tagihan belajar/tugas, misalnya pada tahap awal dapat berupa aktivitas games, menampilkan media, latihan, atau penjelasan singkat. Tahap penyajian isi adalah tahap bimbingan belajar yang dapat berupa penyajian materi, diskusi, dll, Tahap partisipasi dapat berupa aktivitas, latihan, umpan balik, penugasan, pengerjaan proyek, dll.
Sementara, tahap-tahap penilaian dapat berupa tes unjuk kinerja, mengerjakan soal, menampilkan perilaku, dll. Hingga tahap tindak lanjut yang dapat berupa pengayaan pengerjaan tugas tambahan, latihan pada konteks berbeda, dll.
Berbeda dengan pandangan sebagian masyarakat awam, terutama pengkritik pembelajaran daring yang cenderung memaknai tugas secara sempit. Makna sempit tugas yang diperbicangkan hampir setara dengan makna Pekerjaan Rumah (isilah umum PR) atau bahkan jika direduksi lagi maknanya menjadi mengerjakan latihan soal.
Adapun pada tingkat pendidikan tinggi, tugas banyak diartikan sebagai perintah membuat makalah. Pemahaman sempit ini menimbulkan kesan pembelajaran daring adalah model pembelajaran yang di dalamnya berisi tumpukan PR atau latihan soal, termasuk membuat makalah.
Pada intinya, tugas merupakan aktivitas belajar pada banyak jenis dan bentuk. Paradigma pembelajaran kontemporer Student Centered Learning (STL) menganggap pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Dikatakan bermakna jika pembelajaran mampu memberikan ruang bagi keaktifan dan pengalaman langsung peserta didik.
Dengan demikian, tidak ada belajar tanpa aktivitas nyata atau tidak ada belajar tanpa tugas. Semangat yang timbul adalah semangat aktif, mencari, dan mandiri. Itulah yang disebut sebagai pembelajaran. konstruktivisme.
Pada sisi lain, paradigma Teacher Centered Learning (TCL) menganggap bahwa
pembelajaran harus bersumber dari guru dengan menempatkan guru aktif dan peserta didik pasif atau dengan kata lain tidak menuntut ragam aktivitas belajar pada diri peserta didik.
Belajar adalah menerima informasi dan bukan mencari atau menyusun informasi. Semangat yang timbul adalah pasif, menunggu, dan menerima. Itulah yang digambarkan melalui konsep pendidikan bergaya bank/Banking Concept in Education”.
Perlu digarisbawahi adalah paradigma Student Centered Learning dan implikasinya
terhadap ragam aktivitas belajar peserta didik tidak dapat dikaitkan dengan model
pembelajarannya. Apakah model kovensional tatap muka ataukah model daring?.
Artinya, entah itu model konvensional maupun model daring, desain pembelajarannya dipastikan menyiapkan
berbagai aktivitas/tugas/tagihan belajar bagi peserta didik. Tidak dapat dikatakan bahwa model pembelajaran daring menekankan tugas yang lebih berat daripada model tatap muka ataupun sebaliknya.
Menurut teori, berat tidaknya tugas/aktivitas belajar tergantung pada tujuan pembelajaran/kompetensi yang ingin dicapai dan sekali lagi, bukan pada jenis model
pembelajarannya, yakni daring atau tatap muka.
Jika demikian, sebenarnya kritik peningkatan beban belajar/tugas semenjak pemberlakuan pembelajaran daring tidak mendasar. Hal ini dikarenakan toh jika benar Student Centered Learning selama ini betul telah terlaksana dengan baik pada model tatap muka maka beban belajar/tugas pada dasarnya sama saja.
Dari segi desain pembelajaran, yang berbeda hanya teknis pelaksanaan semata. Kecuali bahwa telah terjadi kekikukan di antara sebagian peserta didik karena belum terbiasanya dengan sistem baru ini.
Ataukah kritik ini mengonfirmasi fakta pembelajaran di ruang-ruang kelas selama ini masihcenderung bersifat Teacher Centered Learning. Yang artinya, peserta didik belum terbiasa aktif dalam proses pembelajaran.
Kritik ini menyiratkan kerinduaan peserta didik terhadap model pembelajaran tatap muka dengan metode ceramah satu arah guru dan berharap terjadi reduplikasi
proses pembelajaran serupa pada model pembelajaran daring.
Mereka membayangkan pembelajaran daring itu adalah menonton video live guru berceramah serupa dengan menyimak guru berceramah di depan kelas.
Sekarang, kunci ada di tangan guru, pertama dan utama tantangnnya adalah mengubah pola pikir TCL menjadi SCL. Tantangan berikutnya adalah bagaimana menyusun aktivitas pembelajaran/tugas yang kreatif dan manusiawi. Bagaimanupun, tugas guru sebagai desainer pembelajaran menurut Branch adalah mengorganisasi dan mengurutkan aktivitas pembelajaran.
Perilaku Resistensi
Sejatinya kritik terhadap pelaksanaan pembelajaran daring di tengah pandemi virus corona merupakan hal yang wajar. Merujuk kepada pendapat ahli manajemen perubahan, Dean dan Linda Anderson dalam bukunya Beyond Change Management, resistensi terhadap pembaharuan merupakan hal yang wajar, terlepas dari standar objektif apakah pembaharuan itu baik atau buruk.
Artinya, apapun esensi dan bentuk perubahan itu, secara alamiah, dipastikan terjadi resistensi dalam kadar tertentu di kalangan penerimannya. Dalam kata lain, sebaik apapun suatu perubahan
tidak akan pernah diterima murni tanpa hambatan dan resistensi.
Sebagai suatu hal yang alamiah, akar penyebab resistensi secara sederhananya dapat dijelaskan oleh faktor tingkat keterbukaan masyarakat. Terdapat masyarakat yang cenderung memiliki tingkat keterbukaan tinggi. Sebaliknya, terdapat pula masyarakat dengan tingkat keterbukaan rendah.
Akan tetapi, sekali lagi, setinggi-tingginya tingkat keterbukaan suatu masyarakat tidak menjamin penerimaan pembaharuan tanpa resitensi. Perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain adalah kondisi tingkat keterbukaan yang berbading terbalik dengan tingkat resistensi.
Lebih jauh Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovation menyebut anggota kelompok masyarakat yang cenderung resisten sebagai late majority (pengguna
akhir) dengan karakter dasarnya yang skeptis serta laggrads (tertinggal) yang karakter dasarnya tradisional.
Resistensi terhadap pembelajaran daring terjadi karena dua hal. Pertama, karena
pembelajaran daring dianggap sebagai hal yang baru setidaknya relatif baru dalam sistem pembelajaran di Indonesia yang terbiasa pada model tatap muka.
Kedua, karena pembelajaran daring dengan karakteristik kemandirian belajar yang tinggi mengusung paradigma SCL, paradigma dengan aktivitas belajar/tugas yang dominan dianggap mendobrak kebiasaan
pasif pada model tatap muka dengan paradigma TCL selama ini.
Masa Depan
Perlu untuk disadari bahwa ada tidaknya virus corona, model pembelajaran daring telah menjadi masa depan. Untuk kasus di Indonesia, virus corona hanya menjadi momentum pendorong penerimaan pembelajaran daring secara lebih luas atau massif.
Bagiamana tidak? Model pendidikan tatap muka, bahkan hegemoni sekolah, memonopoli pendidikan akan terkonstruksi ulang oleh pemanfaatan IT dalam dunia pendidikan sehingga yang digambarkan oleh Ivan Illich hampir 50 tahun yang lalu sebagai deschooling society/masyarakat tanpa sekolah sepertinya akan segera terjadi.
Menggunakan pemanfaatan teknologi, akan tercipta ekosistem, yakni masyarakat dapat mengedukasi diri mereka tanpa sekat-sekat institusi pendidikan.
Masyarakat akan mampu belajar sendiri dan memiliki tingkat literasi yang baik. Itulah konsep masyarakat berpengetahuan/knowledge based society pada era yang dikatakan sebagai revolusi Industri 4.0.
Perubahan tidak dapat dielakkan lagi, selain masalah pembiasaan dan adaptasi,
keterbukaan menjadi kunci utama. Pada era disrupsi ini, semua terjadi secara cepat.
Respon adaptasi dan keterbukaan Anda menentukan kesuksesan anda. Sedikit mengingatkan, bahkan pembelajaran daring yang dianggap sebagai inovasi terbaru bagi sebagian masyarakat dunia lainnya ternyata sudah dianggap sebagai hal yang biasa.
Bahkan, mereka telah jauh mengembangkan model pendidikan yang sebut saja pengembangan lingkungan belajar imersif,
yakni suatu lingkungan belajar dengan prinsip Virtual Reality (VR).
Terdapat pula pengembangan penerapan Artificial Intelligent atau kecerdasan buatan yang berfungsi sebagai pemandu belajar menggantikan peran guru serta banyak pengembangan model pembelajaran lainnya.
Lagi-lagi ternyata kita telah tertinggal 2 hingga 3 atau bahkan lebih anak tangga yang akan semakin jauh ketika Anda menolak pembelajaran daring.(*)
Artikel ini telah tayang di Harian Fajar (Kamis, 2/4/2020)