Oleh: Prof. Dr. Arismunandar
(Ketua ICMI Sulsel)
Kurang lebih tiga minggu terakhir siswa-siswa belajar di rumah akibat wabah Covid-19. Banyak cara dilakukan sekolah dan guru menyiasati supaya siswa tetap belajar di rumah dan paling umum melalui daring (online), sedangkan yang tidak memiliki jaringan internet memilih pola penugasan atau pemberian pekerjaan rumah.
Kemdikbud sendiri baru Senin depan (13/4/2020) meluncurkan program “Belajar dari Rumah” kerja sama dengan TVRI.
Meski begitu pembelajaran yang berpindah dari sekolah ke rumah tidak sepenuhnya berjalan mulus. Pembelajaran daring punya problem karena tidak semua guru menguasai teknologi informasi dan komunikasi.
Masalahnya bertambah dengan keterbatasan jaringan dan kemampuan siswa menyediakan kuota internet. Pembelajaran dengan penugasan atau PR pun punya masalah terutama untuk pembelajaran konsep baru karena tiadanya kesempatan guru membimbing siswa secara langsung. Program “Belajar dari Rumah” juga punya masalah karena durasinya cuma 30 menit setiap mata pelajaran.
Cara pembelajaran apa pun yang dilakukan di rumah tentu hasilnya berbeda dibandingkan pembelajaran tatap muka di sekolah. Kekuatan tatap muka di sekolah adalah faktor spontanitas, dialogis, kolaboratif dan reflektifnya yang ditunjang oleh tiga faktor berikut: peran guru, peran teman sejawat, dan lingkungan pembelajaran.
Ketiga faktor terakhir ini yang membedakan antara sekolah dan rumah. Pertama peran guru yang sangat besar bagi pendidikan siswa. Para pakar seperti Hattie (2003) mengungkapkan kontribusi guru sebesar 30 persen terhadap hasil belajar siswa.
Belajar di rumah seperti sekarang otomatis mengurangi peran guru dan beralih ke orang tua. Pertanyaannya apakah orang tua siap mengambil peran guru tersebut? Sudah banyak pengalaman dan cerita, bahkan yang juga lucu, menunjukkan betapa orang tua kewalahan, bahkan emosional, mengajari anaknya.
Sebagian orang tua menyerah dan berharap Covid-19 segera berlalu. Dalam suasana begitu orang tua amat sadar penting dan beratnya tugas guru.
Faktor kedua adalah teman sekelas atau sebaya. Banyak orang menyepelekan teman sebaya siswa. Padahal fakta menunjukkan bahwa siswa belajar sebagian dari temannya setelah gurunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi teman sebaya terhadap hasil belajar siswa berkisar 10-20 persen.
Mekanisme dukungan ini terjadi karena teman sebangku atau teman diskusi kelompok membantu siswa untuk saling berkonsultasi, konfirmasi, dan mengevaluasi tugas masing-masing. Penelitian yang lain menunjukkan sejawat bisa saling memberi motivasi dan membangkitkan semangat belajar.
Banyak siswa sekarang mulai merindukan kembali ke sekolah untuk bertemu kembali dengan temannya. Peran ini yang yang hilang ketika belajar di rumah dalam suasana social distancing.
Faktor ketiga adalah lingkungan pembelajaran. Lingkungan pembelajaran di rumah berbeda dengan di sekolah. Banyak pengkondisian dan pembiasaan karakter positif yang sudah dipraktikkan lama di sekolah seperti disiplin waktu dan disiplin berpakaian tiba-tiba berubah ketika belajar di rumah.
Siswa bisa bebas tanpa mandi atau memakai baju seadanya dan guru mungkin juga ada yang cuma pakai daster. Pengkondisian pengembangan sikap spritual siswa juga berubah di rumah. Ketika di sekolah siswa diajari disiplin mengikuti kegiatan keagamaan tetapi ketika berada di rumah bisa jadi kedodoran.
Tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir sementara sekolah juga harus tetap berjalan. Karena itu tidak ada jalan kecuali terus mengoptimalkan pembelajaran anak di rumah. Peran guru tetap harus ditingkatkan terutama dalam memberikan bimbingan daring kepada siswa perorangan.
Pemerintah tentu diharapkan memfasilitasi guru dengan kuota internet supaya lebih intensif membimbing siswa dan juga untuk berkomunikasi dengan orang tua. Kelompok belajar maya terus ditingkatkan supaya para siswa tetap berdiskusi dengan sesamanya.
Demikian pula lingkungan belajar yang tertib dan teratur tetap diharapkan diciptakan di lingkungan rumah. Semoga badai Covid-19 cepat berlalu.