SUARAPANTAU.COM, MAKASSAR – Beberapa sisi sudut pandang ketika pemberlakuan PSBB di kota Makassar berlangsung, ekonom menganggap bahwa rela dan tidak rela perekonomian akan melemah, sosiolog memandang adanya tali yang renggang, tali silaturahmi. Agamawan memandang PSBB merupakan ajang untuk bermuhasabah, merenungi segala dosa-dosa. Ahli kesehatan menganggap bahwa PSBB merupakan upaya untuk memutus mata rantai penularan virus corona.
Pada sisi yang lain, masyarakat menengah, meresahkan keputusan PSBB ini. Sebab belum adanya solusi yang diberikan oleh pemerintah kalau mereka tetap berdiam di rumah sedangkan anak istri butuh makan. Bantuan bahan makanan juga dianggap tidak mampu mencukupi, bahkan sehari saja. Karena dari sembilan bahan pokok (sembako) biasanya paling banyak hanya ada tiga bahan makanan yang dibagikan, sembakopun berubah arti. Barangkali kita cetuskan saja kalau ada (tibako) tiga bahan pokok.
Lalu, beberapa masyarakat yang tidak mendapat pembagian bahan makanan diberi julukan (sabarko), dan penimbun bahan makanan atau penyunat sumbangan yang kedapatan diberi julukan (ciddakko) dan kalau mendapat hukuman sebagai ganjaran atas perbuatannya diberi julukan (jarrako).
Dalam sastra Makassar (paruntuk kana);
Sappe ri tompokna katingtinga (patah/jatuh di atas duri).
Masyarakat tidak ingin dikatakan berpasrah atas keadaan, tidak mau juga dijuluki OKK (Orang keras kepala). Tapi, tinggal di rumah akan memperparah keadaan ekonominya, keluar rumah mengancam keselamatannya.
Perlahan rakyat akan sappe ri tompokna kantingtinga (jatuh di atas duri), kalau pemerintah tidak berani mengalihkan semua dana pembangunan kepada rakyat, bukankah memperhatikan rakyat juga pembangunan?; pembangunan jiwa.
Source: Galla Nonci