*Heri Afriady Firman S.H
**Sekretaris Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) PC Soppeng
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam urusan pemerintahan seperti yang ditegaskan dalam konstitusi UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi itu berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from people, for people and by people).
Olehnya itu sistem demokrasi harusnya berjalan dalam rangka menjaga keseimbangan bernegara antara pihak pemimpin dan terpimpin, karena tanpa adanya penyeimbang maka akan berpotensi melahirkan kekuasaan yang absolut dalam suatu negara.
Selasa (18/08/2020) lalu, sebuah deklarasi besar oleh sekelompok orang yang dilaksanakan di Tugu Reformasi, Jakarta dengan mengatasnamakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menyebut dirinya sebagai gerakan oposisi kerakyatan guna mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat. Namun tak lama setelah itu direspon dengan terbentuknya gerakan Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) yang berisi kelompok pendukung pemerintah.
Hadirnya koalisi KAMI mengundang pro dan kontra dalam masyarakat karena dianggap dapat menimbulkan kegaduhan serta mengganggu persatuan bangsa, sehingga tak sedikit kelompok yang menyuarakan penolakan serta desakan pembubaran atas koalisi KAMI tersebut.
Namun yang menjadi persoalan adalah munculnya asumsi penolakan serta pembubaran justru menyiratkan bahwa pemerintah itu anti kritik dan tidak mau diawasi, hal ini merupakan sebuah kemunduran demokrasi.
Mengapa segala kritikan terhadap koalisi KAMI malah berujung pada pembubaran atau penolakan keberadaannya dengan alasan kegaduhan, tidak menjaga kamtibmas dan sebagainya. Jangan sampai hal seperti ini menjadi budaya, sehingga mengkritik sedikit malah dianggap gaduh dan tidak tertib.
Bukankah dalam konstitusi negara menjamin kebebasan berpendapat serta berkelompok? Dan kalaupun demikian mengapa suatu kelompok oposisi harus ditolak hanya berdasar pada spekulasi politis semata. Apalagi menyerang person deklarator KAMI yang dianggap sakit hati dan belum move on dari pilpres merupakan tuduhan yang jauh dari substansi.
Wacana pembubaran harus melalui pengkajian yang mendalam sebelum menentukan sikap terhadap keberadaan suatu kelompok, apalagi setiap subjek hukum dilindungi oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Maka dari itu kehadiran KAMI tidak boleh serta merta dianggap sebagai sebuah gerakan yang bermuatan ujaran kebencian meskipun di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang merupakan lawan politik pemerintah pada pilpres 2019 lalu. Kalaupun KAMI harus dibubarkan tentu ada prosedur hukum yang layak kita jalani di negara ini. Semisal apakah KAMI menyebarkan hoax, ujaran kebencian ataukah memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Maka silahkan dilaporkan saja.
Rakyat butuh kaum intelektual yang kritis untuk menyampaikan aspirasinya karna kaum intelektuallah yang mengerti akan kondisi negara saat ini. Apakah itu melalui KAMI ataukah melalui organisasi lainnya, suara kritis tidak seharusnya di bungkam dengan tindakan yang represif.
Tentunya sebagai masyarakat yang menjunjung nilai demokratis harus senantiasa menghargai setiap perbedaan yang ada, karena setiap orang pasti menantikan adanya ide-ide reformis yang dapat menghangatkan kembali kondisi bernegara, bukan malah mendikte setiap golongan yang mengupayakan perubahan, karena menyatu tidak harus sama.
Banyak masyarakat yang bukan bagian dari KAMI ataupun bagian dari KITA, termasuk penulus sendiri. Olehnya itu jangan serta merta dikotakkan. Tapi masih banyak masyarakat yang menghargai suara-suara kritis dari kaum intelektual di negeri ini.(*)