*Oleh: Sofyan Basri
HARI ini, 23 Desember 2020, Sandiaga Uno resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama Kusubandio. Pelantikan itu dilaksanakan di Istana Negara, Jakarta. Selain sebagai politisi Gerindra, Sandi juga sering disapa sebagai Bapak Online dari para netizen itu adalah seorang yang profesional; giat mengkampanyekan ekonomi kreatif.
Tapi, pada tulisan kali ini. Penulis tidak ingin menyorot hal itu. Penulis ingin mundur sedikit ke tahun 2019. Kita tahu bagaimana sepak terjang Sandiaga Uno dalam percaturan politik secara nasional. Ketika itu, Sandi berpasangan dengan Prabowo Subianto maju di gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres). Dan kita tahu bersama bagaimana ending dari drama politik itu; Prabowo-Sandi kalah dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2019 pada tengah malam di tanggal 21 Mei 2019. Seketika itu muncul berbagai praduga-praduga; bahwa kenapa pengumuman itu dilakukan pada tengah malam, dll. Sikap skeptis semacam itu adalah hal biasa dalam sebuah negara menganut sistem demokrasi. Sikap itu kemudian merebak dengan cepat. Apalagi, ketika itu, pasangan Prabowo-Sandi akan mengajukan gugatan ke MK.
Massa mulai berdatangan entah dari mana. Mereka berbondong-bondong menuju KPU dan Bawaslu. Kerusuhan pun tak bisa dihindari. Pada awalnya di Jalan Thamrin. Tepatnya di seberang gedung Bawaslu dan di Tanah Abang. Sejumlah orang di wilayah itu berkumpul hingga larut malam. Kemudian mengarah ke Asrama Brimob di Petamburan. Kejadian begitu cepat dan menjalar ke berbagai wilayah.
Sementara itu, di wilayah Slipi, diduga terjadi penembakan oleh oknum kepolisian. Itu kemudian dilempar batu oleh sejumlah massa. Kebakaran terjadi dimana-mana. Tidak berselang lama, terdengar kabar bahwa ada korban meninggal. Peristiwa itu pun berubah menjadi gejolak berdarah. Pihak kepolisian mengaku menggunakan peluru karet. Tapi, massa menemukan peluru tajam pada salah satu korban yang meninggal.
Akibatnya, pada dua hari itu. Ada 9 korban meninggal, ratusan mengalami luka, dan 52 ditahan. Sungguh itu adalah pilu yang amat membekas pada akhir dari babak Pilpres 2019. Belum lagi, korban lain; Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dalam menjalankan tugas. Tercatat, ada 527 orang yang meninggal dan 11.239 orang yang mengalami sakit. Tidak salah jika Pilpres 2019 banyak kalangan menilai sebagai Pilpres berdarah dalam sejarah.
Karena itu, ketika Sandi menyusul Prabowo untuk masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju di bawah kendali rivalnya di Pilpres lalu; Jokowi-Ma’ruf, dicibir sejumlah pihak. Terutama pada media sosial. “Oh ternyata hanya mau jadi menteri”, “happy ending”. Atau ada yang lebih menohok lagi; salah satu akun twitter @FaizahQalby mentwit “Paket hemat, beli sepasang dapat sepasang,”.
Paling kritis datang dari politisi Partai Demokrat; Umar Hasibuan. Dalam akun twiter pribadinya, ulama NU itu mentwit “Kalau akhirnya keduanya bergabung jadi menteri Jokowi. Ngapain harus Pilpres yang menghabiskan trilyunan duit rakyat dan ada korban meninggal. Lebih baik kemarin ngobrol-ngobrol saja tentukan jabatan menteri. Politik emang gak masuk akal”.
Yang menarik dari akun twiter @iksalradhit. Dalam twitnya, akun itu mengutip sebuah kalimat dari Han Ji Pyeong; adalah sosok fiktif dalam drama berjudul Start Up. Drama asal Korea Selatan itu bercerita tentang perjuangan karier di dunia bisnis Start Up. Kalimatnya begini “Kalau tidak bisa mengalahkan lawanmu, maka bergabunglah”. Twit itu telah diretweet 107 kali dan disukai 1500 kali. Anak-anak drakor banget kayaknya ini. Huakaka.
Kupikir, sindiran-sindiran semacam ini adalah hal yang biasa saja. Apalagi, negara ini memberikan kebebasan dalam menyampaikan ekspresi. Terpenting adalah bagaimana menyampaikan ekspresi berdasarkan koridor hukum yang ada. Sebab demokrasi memang memberikan kebebasan tapi bukan juga kebebasan yang semaunya. Ada norma dan hukum disitu yang menjadi pamongnya.
Masuknya Sandi dalam lingkaran istana juga patut diapresiasi dan hargai. Itu adalah pilihan politik jujur; tergoda jabatan. Setiap orang berhak atas itu di negara ini. Sama halnya dengan hak setiap orang memberikan cibiran, sindiran atau bahkan kritik. Kita harus saling menghargai. Atas apa yang terjadi di Pilpres; penghamburan uang trilyunan, korban jiwa KPPS, korban meninggal kerusuhan 21-22 Mei itu adalah bagian dari proses politik.
Apa yang terjadi hari ini, jauh hari telah diperingatkan oleh seorang pimpinan militer dan negarawan Perancis (1890-1970), Charles de Gaulle. Tipikalnya selalu berbicara tuntas dan blak-blakan tanpa basa-basi pernah menyampaikan sebuah kalimat yang hingga kini diingat oleh warga dunia; “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya”.
Rekonsiliasi Cebong dan Kampret?
Masih ingat kata dari masing-masing kubu di Pilpres 2019? Jika sudah mulai lupa, saya akan mengingatkan; cebong dan kampret. Dua kata ini membanjiri media sosial twitter sejak 2018 hingga 2019. Cebong sendiri direpresentasikan sebagai cibiran kepada para pendukung Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan Kampret mengarah kepada para pendukung pasangan Prabowo-Sandi. Perdebatan dua istilah itu sangat masif jelang Pilpres 2019 lalu.
Lalu, pasca bergabung Prabowo dan Sandi dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf, bagaimana kini dua seteru itu. Apakah masih akan menjadi bahan sindirian. Atau kini kedua kubu dalam media sosial itu juga akan berakhir happy ending? Tentu kita akan sangat menantikan. Dalam sebuah wawancara di JPNN, Politisi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago menanggapinya dengan tertawa.
Walau begitu, Ketua DPP Partai NasDem itu menilai jika masuknya Sandi dilingkaran istana membuat Pilpres 2019 seakan tidak ada artinya. Apalagi, Pilpres 2019 masyarakat terlanjur menimbulkan keterbelahan masyarakat sampai saat ini. “Ngapain ya kemarin sampai ada cebong dan kampret? Ngapain juga pakai ada Pilpres? Toh akhirnya semua bergabung lagi. Sayang masyarakat juga sudah terbelah sampai sekarang,” kata Irma.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno meyakini jika masuknya Sandi sebagai menteri akan melengkapi rekonsiliasi politik sesungguhnya antara cebong dan kampret. Karenanya, Adi mengatakan bahwa reshuffle ini adalah rekonsiliatif. Hal yang sama baru-baru ini juga disampaikan oleh Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo. Permintaan itu disampaikan langsung melalui video di instagram.
Sejujurnya, pembelahan dua kubu di Pilpres lalu memang sangat merugikan. Terutama terkait dengan penerimaan informasi kepada publik. Pasalnya, dua kubu; cebong dan kampret, menyempitkan cara berpikir kritis dan kreatif. Hal ini disampaikan begitu apik oleh Guru Besar Institute Teknologi Bandung, Iwan Pranoto dalam sebuah kolom opini harian Kompas edisi tanggal 19 Desember; Mendekonstruksi Keterbelahan.
Dalam tulisannya itu, Iwan Pranoto mengkritik cara berpikir “atau” yang eksklusif. Karena, cara berpikir yang demikian dapat dengan mudah membelah sebuah populasi menjadi dua kelompok. Mirisnya, itu kemudian masif terjadi sekarang ini. Data mutakhir, katanya, menunjukkan bahwa dua pilihan “atau’ yang eksklusif itu adalah keliru. Karenanya, kesesatan dikotomi ini akan menjerumuskan pada kerangkeng miskin pilihan.
Pencengkraman Kekuasaan
Sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo pada jajaran Kabinet Indonesia Maju pada dasarnya penuh dengan teka teki. Atau bisa juga penuh dengan perhatian. Atau lebih ekstrim lagi penuh dengan loncatan-loncatan sejarah. Sebab, langkah politik yang diambilnya sangatlah unik. Mungkin, beginilah apa yang sering diasumsikan oleh Rocky Gerung; hanya ikan yang mati yang ikut arus.
Atau jangan-jangan inilah sindiran Presiden Jokowi kepada Rocky yang selama ini sering menyindirnya; lihatlah saya bisa melakukan sedangkan Anda hanya bisa mengucapkan. Dimulai ketika merekrut Prabowo Subianto untuk diplot sebagai Menteri Pertahanan. Jabatan yang tentu selaras dengan latar belakang Prabowo dari kalangan militer. Pun hari ini, menarik Sandi ke posisi yang juga dikuasai Sandi selama ini.
Apa terjadi dilingkaran istana dan Presiden Jokowi tentu menarik untuk ditelisik lebih dalam. Mari kita lihat bagaimana posisi parlemen pasca ditariknya Prabowo; tidak ada saingan. Sebagai bukti, parlemen sudah seperti perpanjangan eksekutif. Hilir mudik informasi antara legislatif dan eksekutif hampir seragam. Seperti tidak ada lagi dinamikan di Gedung Kura-kura itu.
Hal ini dapat kita lihat bagaimana sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU) kontroversial yang lolos menjadi undang undang. Salah satunya yang paling kontroversial adalah Undang Undang Cipta Lapangan Kerja (CILAKA). Kita semua tentu tahu bagaimana undang undang itu berawal dan berakhir; yah semua penuh tanda tanya. Mulai dari pembahasan hingga penetapannya. Bahkan hingga kini masih menimbulkan kecurigaan.
Mayoritas dukungan partai pendukung pemerintah yang tidak sebanding dengan partai oposisi seperti PKS membuat suara rakyat seperti diabaikan. Eh bukan sepertinya tapi sesungguhnya. Karena, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat; kalangan buruh, para petani, mahasiswa dan pelajar diabaikan begitu saja. DPR dan pemerintah tidak bergeming. Malah dibalas dengan tindakan represif yang menyebabkan jatuhnya korban.
Karenanya, dengan masuknya Sandi dilingkaran istana ini semakin membuat posisi kekuasaan di bawah Presiden Jokowi semakin di atas angin. Dengan merangkul Prabowo-Sandi yang tidak lain adalah rivalnya di Pilpres 2019 lalu menunjukkan Presiden Jokowi ingin menunjukkan citra yang positif; lawan politik bisa jadi kawan berpikir demi bangsa dan negara. Ini sekaligus ingin menunjukkan bahwa Presiden Jokowi ingin dicintai oleh rakyat.
Tapi, dibalik itu, ada tafsiran lain yang bisa jadi alternatif. Presiden Jokowi ingin menunjukan kelasnya dalam berpolitik. Dengan kekuatan besar di legislatif dan eksekutif seperti sekarang, kekuatan politik apa yang tidak takut? Apakah FPI berani? Atau Amin Rais yang kini sedang merancang Partai Ummat? Penulis menilai, Presiden Jokowi ingin mencitrakan dirinya dicintai; merangkul Prabowo-Sandi, sekaligus ditakuti; kekuatan parlemen dan eksekutif yang kuat.
“Fondasi utama dari sebuah negara; negara baru maupun lama, adalah undang undang yang bagus dan pasukan yang kuat. Karena undang undang yang bagus tidak akan terbentuk apabila tidak terdapat pasukan yang kuat, sebab dimana ada pasukan yang kuat maka akan ada undang undang yang bagus” Niccolo Machiavelli, Sang Pangeran; Buku Pedoman Para Doktator.
Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.
**Penulis adalah Ketua Harian Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi