SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta jajaran TNI-Polri menjunjung tinggi rasa keadilan kepada masyarakat ketika ingin melakukan penindakan hukum. Jokowi menegaskan, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat.
Pernyataan tersebut, menuai kritik tajam dari Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI MPO, Affandi Ismail menyebut statement Jokowi bahwa Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi secara normatif perlu diapresiasi.
“Statement ini secara normatif tentunya adalah suatu komitmen kepemimpinan yang sangat baik, perlu didukung dan diberikan apresiasi. Namun ketika kita melihat fenomena yang terjadi khususnya pada aspek sosial dan politik serta penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, rasanya pernyataan Jokowi tersebut sangat jauh panggang dari api atau bertentangan dengan kenyataan,” tegas Affandi, Rabu (17/2/2021).
Affandi melanjutkan, Iklim demokrasi yang tidak sehat dimana kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik kepada pemerintah justru tidak sedikit dipandang atau dinilai sebagai pelanggaran hukum.
“Berlindung atas nama undang-undang yang diinterpretasikan berdasarkan selera penguasa, pemerintah atau kelompok tertentu yang menjadi bahagian dari kepentingan penguasa atas nama demokrasi untuk kemudian mempidanakan lawan-lawan politiknya atau para oposan,” lanjutnya.
Lanjut Affandi, pihak pemerintah kerap menggunakan demokrasi sebagai dalih untuk menghantam atau memukul lawan-lawan politik baik lawan politik itu berupa organisasi ataupun personal.
“Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang semakin mempertegas bahwa pemerintah atau penguasa tidak memahami demokrasi. Contoh yang paling jelas adalah dengan dibubarkannya ormas Islam FPI karena posisi FPI yang cenderung oposisi atas kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo,” tegasnya.
Kritik Penegakan Hukum
Selanjutnya pada aspek penegakan hukum dan HAM yang tercatat selama kepemimpinan Joko Widodo khususnya pada periode ke duanya ini.
Dinilai masih belum mampu memberikan rasa keadilan kepada sebahagian rakyat Indonesia terutama bila orang atau kelompok yang bersangkutan dengan masalah hukum itu adalah lawan politik kepentingan penguasa.
Affandi menilai hukum yang sejatinya sebagai panglima justru menjadi alat pembungkam kelompok-kelompok kritis.
Ia mencontohkan, penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab, almarhum Ustadz Maher dan beberapa orang lainnya yang notabenenya oposisi kritis pemerintah.
Padahal disisi yang lain, ada orang-orang yang justru akan berpotensi memunculkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat seperti Abu Janda seolah-olah kebal dari jeratan hukum.
Kemudian soal penembakan enam orang laskar FPI beberapa bulan lalu yang penanganannya secara hukum atas pelaku dan/atau otak di balik penembakan itu yang sampai hari ini masih belum mampu memberikan rasa keadilan khususnya bagi pihak korban.
“Ini adalah beberapa contoh kecil dari sekian banyak persoalan penegakan hukum dan HAM yang masih bermasalah dan belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hukum masih tumpul ke atas namun sebaliknya selalu tajam ke bawah atau sederhananya aparat penegak hukum masih tebang pilih,” tandasnya.
Padahal pemerintah selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi Demokrasi serta nilai luhur Pancasila, namun realitasnya masih sangat jauh dari harapan.
Ia melanjutkan, padahal untuk menjadi Negara kuat, Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia harus bersatu padu menjamin Iklim Demokrasi yang sehat, penegakan hukum yang berkeadilan dan perlindungan atas HAM.
“Olehnya itu jika kembali mengutip arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat pimpinan TNI – Polri pada Senin 15 Februari 2021 ada dua point penting yang harus terus dikawal dan dipastikan oleh seluruh rakyat Indonesia khususnya kader-kader HMI,” tandasnya.
Pertama, kebebasan berpendapat harus dihormati. Kedua, menghormati HAM, menjunjung tinggi demokrasi dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
“Kita semuanya berkepentingan untuk memastikan komitmen presiden tersebut agar dapat dijalankan dengan benar dan sebai-baiknyaoleh seluruh jajaran pemerintahan di bawah Komando Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia,” imbuhnya.
Ia berpesan secara khusus kepada aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polri sebagai salah satu lembaga yang paling sering bersentuhan dengan masyakarat dan juga sejatinya adalah bahagian dari masyarakat.
Eksistensi Polri sebagai aparat penegak hukum yang seadil-adilnya dan mengayomi masyarakat dengan keteguhan Polri diatas prinsip independensinya.
Komitmen ini harus dikawal jangan sampai hanya menjadi satu narasi semata dan jauh dari implementasi.
Terkait rencana usulan atau permintaan Presiden Jokowi kepada DPR RI untuk merevisi UU ITE khususnya pada pasal-pasal karet yang terdapat di dalam UU tersebut tentu perlu diapresiasi selama benar-benar mampu dipastikan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Sehingga kedepan menutup ruang UU ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
“Bahkan arahan Jokowi kepada Polri untuk membuat pedoman implementasi UU ITE agar tidak terjadi kesalahan di dalam penerapannya adalah hal baik atas dasar spirit penegakan hukum yang seadil-adilnya,” tutupnya.(*/red)