KLB Partai Demokrat (PD) cukup mencengankan. Terendusnya rencana mengudeta PD tak juga mampu mengoyak rasa malu penyelenggara. Banyak yang menghujat, tidak sedikit yang mengecam. Tapi ujung dari rencana itu tetap membuahkan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Yang lebih mencengankan, tokoh utamanya adalah pejabat negara yang juga elit istana. Moeldoko, kita tahu, menjabat Kepala Staf Presiden (KSP) yang mengomandoi seluruh tenaga profesional di Kantor Staf Presiden. Kantor ini adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Sejak awal, Presiden Joko Widodo bukannya tidak tahu perihal kudeta tersebut. Juga bukan tidak paham keterlibatan anak buahnya. Jauh sebelumnya, rencana kudeta Partai Demokrat telah disampaikan Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui surat.
Bukannya menanggapi, Presiden Jokowi malah membisu dengan alasan urusan internal PD. Padahal, Jokowi punya beban moral mengklarifikasi. Sebab, sejumlah elit PD mengatakan ada kader yang mendengar lontaran kalimat direstui presiden. Barangkali saja nama presiden dicatut. Tetapi itu tak mengurangi beban moral tersebut.
Beberapa menteri disebut-sebut ikut merestui pula, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD. Mahfud telah mengklarifikasi. Mengapa Presiden cuek?
Maka, menjadi sulit menepis berkembangnya aneka dugaan. Termasuk dugaan sejumlah pihak bahwa Istana merestui gerakan ini dengan cara melakukan pembiaran. Fakta yang mendukung dan tidak dapat diingkari adalah keterlibatan salah satu elit istana secara intens dalam kasus KLB PD.
Tudingan miring itu kian mendapat pembenaran ketika aparat keamanan seolah kehilangan dalil untuk menindak kegiatan ilegal yang tidak berizin tersebut. Terlebih, kegiatan di Sumut memunculkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19 yang –dalam beberapa kasus sebelumnya— ditindak dengan sangat tegas.
Moral Politik
Di kalangan elit politik, rencana kudeta PD agaknya telah meluas sebelum isu ini menjadi konsumsi publik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku sempat diajak terlibat penggulingan itu. Tetapi Gatot menolak dengan pertimbangan moralitas, etika, dan jasa Soesilo Bambang Yudhoyono.
“Terima kasih Jendral Gatot. Anda mengenal budi. Sementara Moeldoko agaknya hanya mengenal Jokowie, tidak mengenal budi,” usai seorang jurnalis mewawancarai Gatot. Cuitan menohok ini sepertinya didorong rasa kesal melihat perjalanan isu kudeta hingga KLB di Sumut.
KLB Sumut memang menjadi preseden buruk yang merusak nalar demokrasi kita. KLB tanpa dihadiri pemilik suara tidak hanya kering legalitas, tetapi juga miskin etika. Bagaimana mungkin kumpul-kumpul beberapa mantan pengurus PD lalu membuat KLB atas nama PD dan mengesahkan Moeldoko yang nyata-nyata tidak memiliki sejarah dengan PD?
Ini bukan tentang PD saja. Ini tentang demokrasi yang susah payah kita bangun bersama. KLB Sumut bukan hanya membunuh masa depan PD, tetapi juga menebas masa depan demokrasi kita. Kita tahu, partai politik adalah tiang utama penyangga demokrasi. Maka perlakuan di luar batas terhadaap PD menjadi urusan semua pihak yang merasa kemerdekaan demokrasi terancam.
Tentu kita tidak ingin wajah demokrasi Indonesia menjadi barbar. Demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai dan moral politik.
Demokrasi salah satunya dibangun atas ketundukan kita bersama kepada hukum. Secara hukum, PD memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang telah disahkan oleh negara melalui Kemenkumhan. Negara tentu tidak sekadar mengakui keberadaan partai, tetapi juga mendukung dan melindunginya agar berkembang dengan sehat sebagai piranti demokrasi.
Pembiaran negara berpotensi memunculkan kegelisahan dan kegoncangan. Pimpinan partai politik lain tidak akan pernah merasa aman, sebab hal yang sama bisa saja terjadi pada mereka suatu saat nanti.
Indikasinya mulai terlihat. Tiada angin tiada hujan, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan membuat surat terbuka kepada seluruh kader Partai Amanat Nasional untuk saling rangkul, saling bimbing, dan mempererat kebersamaan. Sementara Ketua Umum Partai Nasdem juga tetiba menyuarakan hal senada.
Independensi KEMENKUMHAN
Kini, bola panas kembali lagi kepada pemerintah, menyusul pendaftaran PD versi KLB Sumut ke Kemenkumhan.
Kita berharap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dapat menjaga independensi dan integritasnya untuk menilai secara jernih pelaksanaan KLB Sumut. Netralitas Pemerintahan Presiden Jokowie diuji dalam kasus PD ini. Dan sejarah tidak akan pernah luput mencatat.
Kita berharap pendekatan pemerintah menjauh dari kepentingan politik. Paradigma hukum yang berkeadilan adalah satu-satunya solusi mengurai persoalan. Konflik organisasi tidak begitu rumit bila diselesaikan dengan kacamata hukum. Sebab hukum dapat dengan mudah mendeteksi antara yang legal dan yang ilegal.
Meski demikian, untuk organisasi politik sekelas partai politik, faktanya seringkali tidak sesederhana itu. Modal hukum acapkali tidak cukup untuk mempertegas legalitas partai. Karena itu, rencana AHY menyambangi Kemenkumhan untuk menyerahkan surat penolakan terhadap penyelenggaraan KLB, cukup taktis-strategis. Penyerahaan berkas adalah hal biasa. Yang istimewa adalah membawa 34 DPD seluruh Indonesia saat penyerahan berkas tersebut. Ini sebuah penegasan tentang legitimasi.
Bila melihat reaksi pengurus daerah, agaknya kepemimpinan AHY masih cukup kuat. Menjadi lebih kuat lagi bila AHY melakukan konsolidasi melalui zoom, membuat pernyataan sikap bersama seluruh pemilik suara PD, baik DPD maupun DPC, secara terbuka dan disaksikan masyarakat luas.
Itu penting, karena menurut Deputi Bappilu DPP PD Kamhar Lakumani, saat ini kelompok KLB Sumut sedang menghubungi dan menekan para Ketua DPD dan Ketua DPC agar balik badan mendukung KLB Sumut. Mereka mengklaim akan mendapatkan pengesahan dari Kemenkumhan.
Pada akhirnya, semua tergantung presiden. Seperti diungkap Hendri Satrio, kemungkinan SK Kemenkumhan tidak akan turun jika Moeldoko tidak direstui Presiden. Artinya, jika direstui, kemugkinan sebaliknya tentu dapat berlaku. Maka kita tak henti bertanya-tanya tentang sikap diam presiden di sepanjang perjalananan kasus ini.
Keterlibatan langsung elit istana dan diamnya Presiden Jokowidodo dapat memantik praduga awal tentang ketidaknetralan pemerintah. Bila ini betul, maka PD bisa saja dikerangkeng dalam konflik yang berkepanjangan melalui dualisme kepemimpinan. Akibatnya, PD akan kehilangan fokus, kehilangan pemilih, dan kehilangan kesempatan mengikuti pemilu yang akan datang.
Siapa yang diuntungkan? Jawabannya barangkali terbayang dalam benak masing-masing.
Siapa yang dirugikan? Kita semua, anak bangsa yang cinta demokrasi.
* Penulis adalah Senator DPD RI