Penulis: Tamsil Linrung/Senator DPD RI
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah fenomena paradoks dalam demokrasi Indonesia. Dibuat sebagai alat kontrol negara terhadap sistem informasi dan transaksi elektronik, nyatanya UU ITE berkamuflase menjadi alat gebuk bagi mereka yang kritis terhadap pemerintah.
UU ITE tak jarang dimanfaatkan juga oleh mereka yang punya relasi kuat dengan sumbu kekuasaan. Pikiran kritis diberangus, suara-suara protes dipidanakan. Kenyataan ini meruntuhkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sekalgus merontokkan keakraban kehidupan berdemokrasi.
Faktanya, kebebasan sipil dan budaya politik demokrasi Indonesia terindikasi buruk. Kedua ranah ini memperoleh nilai terendah dari 5 bidang penilaian The Economist Intelligence Unit (EIU) 2021. Dalam laporan “Democracy Index 2020: in Sickness and in Health?” poin kebebasan sipil Indonesia hanya 5,59 dari skala 10. Angka ini jauh dari pencapaian Timor Leste yang mencetak skor 7,65.
Sementara itu, budaya politik demokrasi kita menjadi terendah kedua. Angkanya hanya 5,63 dari skala 10. Total keseluruhan skor hanya bisa menempatkan Indonesia pada urutan ke-64 indeks demokrasi dunia. Ini sebuah pencapaian terburuk selama 14 tahun terakhir.
Cara pandang dunia pada kehidupan demokrasi Indonesia barangkali telah menggedor rasa prihatin Presiden Jokowi. Atau, mungkin saja presiden mulai menyadari keresahan rakatnya. Pasalnya, tetiba saja Presiden meminta DPR merevisi UU ITE, beberapa saat lalu. “Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-Undang ITE ini,” begitu kata presiden.
Gayung bersambut. Mayoritas fraksi di DPR menyatakan mendukung niat presiden. Media cetak dan elektronik gegap gempita, sejumlah menteri sibuk menyusun konsep, sementara pengamat mengulas tajam pada bidangnya masing-masing. Sebagian di antaranya memuji setinggi langit.
Tapi, semua menjadi layu sebelum berkembang. Kasak-kusuk itu tak memperlihatkan tanda-tanda dalam rapat jadwal pembahasan revisi undang-undang Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, beberapa hari lalu. Akibatnya, daftar program legislasi nasional (prolegnas) 2021 dirumuskan tanpa kehadiran UU ITE.
Pemerintah berdalih, saat ini sedang menggelar diskusi dan kajian soal UU tersebut sehingga belum mengusulkan adanya revisi. Tapi dalih ini absurd. Sebab diskusi dan kajian yang sama bisa dilakukan bersama legislatif dan tim pakar selama pembahasan revisi di DPR RI.
Disikapi Berbeda
Sejak awal, keinginan Presiden Jokowi merevisi UU ITE telah menimbulkan kontroversi. Kali ini, bukan karena penuturan harapan presiden, tetapi respon berbeda dari beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, misalnya, menganggap yang diperlukan adalah interpretasi terhadap aturan dalam UU ITE yang dianggap pasal karet.
Pemerintah sepertinya tidak kompak, tidak satu suara. Publik pun spontan bingung. Omongan siapa yang harus dipegang? Semakin membingungkan karena kaidah interpretasi tidak dikenal dalam hierarki perundang-undangan kita.
Dalam perjalanannya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membentuk tim kajian UU ITE pada 22 Februari 2021. Katanya, tugas tim yang terdiri atas Tim 1 dan Tim 2 tersebut mengidentifikasi pasal karet UU ITE.
Itu berarti pemerintah menyadari bahwa beberapa pasal dalam UU ITE multitafsir. Anehnya, getah dari pasal multitafsir tersebut seolah hanya satu tafsir, yakni nyaris hanya pada mereka yang kritis kepada pemerintah.
Tak heran, korban UU ITE kebanyakan masyarakat biasa yang geram dengan situasi ekonomi dan sosial politik bangsa. Sebanyak 50 orang kalangan masyarakat biasa (ibu rumah tangga dan lain-lain), 15 aktivis, 4 buruh, dan beberapa orang dari kalangan lainnya. Total keseluruhan kasus sebanyak 84.
Sayangnya, meski pasal-pasal krusial UU ITE telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun MK menolak semua uji materi. Harapan rakyat kini berpulang kepada Tim 1 dan Tim 2 yang digawangi Menkopolhukam Mahfud MD dan Menkominfo Johnny G Plate. Tim ini dibentuk guna menindaklanjuti arahan presiden.
Namun, rasanya sulit berharap banyak kepada tim tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Menkopolhukam sendiri menyatakan bahwa masalah yang muncul bukan karena UU ITE-nya, tetapi pada penafsiran terhadap pasal-pasal UU ITE. Bila benar demikian, apakah Presiden Jokowi dan Tim Presiden keliru saat mendorong upaya revisi?
Logikanya, multitafsir terjadi karena pasal krusial UU ITE memungkinkan untuk itu.Bila dibuat lebih rigid, detail, dan fokus, ceritanya mungkin berbeda. Maka revisi adalah mutlak dan dibuat meluas, tidak terbatas pada teks tetapi juga konteks. Bila tidak, interpretasi berbeda akan terus terjadi dan korban UU ITE akan terus bertambah.
Kalau mau efektif, efesien dan serius, pemerintah harusnya tidak perlu bekerja sendiri. Akan lebih baik bila tempo hari revisi UU ITE diajukan pada rapat jadwal pembahasan revisi UU Baleg DPR RI. Pembentukan tim oleh Menkopolhukam seolah-olah memberi kesan bahwa tidak akan ada revisi terhadap UU ITE. Bila benar, maka gaduh revisi UU ITE tak lebih dari sekadar basa-basi politik.
Filosofi UU ITE
Filosofi dan tujuan dibuatnya UU ITE perlu dikembalikan pada niat awal pembentukannya. Kita tahu, UU ITE lahir guna memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik.
Dengan pertimbangan itu, ³terbuka jalan alternatif yang dapat ditempuh demi menegakkan demokrasi yang lebih sehat. Selain revisi UU ITE, alternatifnya lain adalah mengkhususkan penerapan UU ITE hanya buat memantau kegiatan bisnis yang dilakukan secara digital, serta menjaga dan melindungi hak-hak konsumen.
Ruang digital kita memang harus dibuat sehat, bersih, dan beretika. Tetapi cara-cara mendisiplinkan umat digital juga harus sehat, bersih, dan beretika pula. Tentu saja, wajib pula berkeadilan hukum.
Yang dibutuhkan bukan melulu pendekatan sanksi pidana karena langkah ini hanya menimbulkan dendam dan sakit hati masyarakat. Yang dibutuhkan adalah kampanye yang lebih sehat dan teladan yang lebih baik. Selama buzzer politik masih ada, selama itu ruang digital akan terus gaduh.
Komitmen menjaga dan merawat media sosial seharusnya mengutamakan pendekatan persuasif-preventif. Komitmen ini akan terlihat kesungguhannya bila pemerintah membenahi netizen atau para penghuni dunia maya. Ini adalah hulu persoalan, sementara pelanggaran UU ITE hanya dampak.
Untuk memperbaiki hulu persoalan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, tertibkan netizen. Pemerintah dapat bekerjasama dengan patrol cyber crime dan pihak pengelola media sosial untuk menertibkan akun-akun anonim yang tidak jelas pemiliknya, tetapi menyebar kekacauan secara dramatis.
Bersamaan dengan itu, pemerintah merumuskan aturan yang mewajibkan identias pemilik akun menjadi jelas. Bila perlu, ada koneksi yang dibuat tersembunyi antara pemilik akun dengan Nomor Identitas Kependudukan (NIK) mereka. Ini penting, karena secara psikologis akan mempengaruhi cara berargumentasi netizen menjadi lebih bertanggungjawab.
Kedua, hentikan penggunaaan buzzer politik. Kehadiran pasukan dunia maya yang didesain untuk tujuan tertentu ini memang tidak melanggar UU. Tetapi tindakan ini merapuhkan kehidupan demokrasi dan kohesivitas sosial. Efek buruknya telah kita rasakan bersama.
Penggunaan pasukan siber dunia maya guna memengaruhi opini publik dan menyudutkan lawan politik memang telah menjadi fenomena global. Itu terlihat dari laporan Universitas of Oxford bertajuk ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.”
Laporan itu menyebut, penggunaan pasukan siber untuk kegiatan memanipulasi telah meningkat sebesar 150% dalam dua tahun terakhir. Tujuannya, menciptakan disinformasi, menekan hak dasar manusia, mendiskreditkan oposisi politik dan membenamkan pendapat yang berlawanan.
Ketiga, tegakkan hukum yang berkeadilan. Faktanya, banyak laporan masyarakat terhadap cuitan-cuitan netizen pro pemerintah yang proses hukumnya tidak berlanjut. Sementara itu, proses hukum pada netizen yang kritis terhadap pemerintah terjadi sebaliknya, begitu cepat dan menghasilkan sanksi hukum.
Pada akhirnya, penegakan hukum dan demokrasi adalah soal komitmen. Komitmen tak bisa dipoles hanya dengan kata-kata. Komitmen tak perlu buzzer, sebab dengan sendirinya akan terlihat dalam sikap dan perbuatan.
Bila rencana revisi UU ITE tak juga melahirkan keputusan kongkrit, sekali lagi, harapan manis Presiden Jokowi berbuah kekecewaan publik. Dan Presiden akan dicatat, kembali melakukan langkah berbeda dengan apa yang diucapkannya. Ini sekaligus menambah daftar panjang pembenaran “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia,” buku karya Benjamin Bland itu. Semoga tidak.