Seorang gila berteriak, sembari menangis: “Dimanakah Tuhan?”. “Mari, aku beri tahu, kita telah membunuhnya—kamu dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya.” Percakapan dalam The Gay Science karya Friedrich Nietzsche ini, adalah pekikan terakhir sebuah sekuel panjang dalam drama kultural-intelektual tentang Tuhan.
Sebilah jejak pikiran dalam tradisi filsafat Barat yang mewartakan “kematian” Tuhan. Sejak itu—yang diandaikan sebagai akar muasal segenap bangunan “modernitas”—tradisi filsafat Barat telah memenggal leher keruhaniannya sendiri.
Modernitas, sebab itu, mengandaikan kehidupan spasio-temporal yang anti-misteri, anti-ontologis, nir-transenden, dan anti-magis lalu mengibarkan logiko-positivistik yang “sekularistis” dalam merespons setiap detak napas kehidupan. Ukuran kebenaran ‘autentik’ dalam pendakuan filsafat Barat, sejauh dapat diverifikasi secara empirik-rasional-faktual—selebihnya: nonsense. Sejak itu, diskursus realitas metafisika-transendental sebagai jejak “langit” dan juga tentang Tuhan, tertolak dalam altar pemikiran modernitas.
Sementara agama, yang ikhwalnya diyakini bermula dari yang numinous, Yang Maha Senyap dan Yang Tak Tercakapkan, mengandaikan Tuhan sebagai The Origin, Yang Asali dan Alpha-Omega atau Awal-Akhir seluruh realitas. Dia adalah Yang Maha Unik, mysterium tremendum fascinosum: yang menghadirkan rasa gigil-getir-takut (horor) dan sengatan-rindu-biru (amor) yang bertaut. Tuhan meletakkannya kemudian di dalam ruas batin terdalam setiap ego, “sesuatu” yang—dalam pendakuan genius terbesar Philosophia Perennis, Frithjof Schuon dalam karya monumentalnya, The Transcendent Unity of Religions (1976)—“identik dengan kenyataan Ilahi”.
Dari titik-terdalam kesadaran itu pula—pada sunyata yang mekar—kita bisa menangkap pesan agung dua peristiwa kudus: “Kenaikan Yesus Kristus” dan “Mikraj Nabi Muhammad s.a.w” yang masing-masing diperingati secara hidmat dalam sebuah napas-batin terdalam oleh Umat Kristiani dan Umat Islam sebagai peristiwa “Langit”: Sebilah perjalanan kudus, yang dalam tradisi Alquran dilukiskan melalui “tangga-tangga transendensi milik Allah” (Qs. 70:3). Pada “tangga-tangga transendensi” ini pula malaikat dan Jibril menghadap Tuhannya (Qs.70:4).
Dalam samudera kearifan spiritualisme Islam, Yesus Kristus dan Muhammad s.a.w. adalah sosok pilihan Tuhan: yang pertama adalah Logos Ilahi (“Kalam Allah) sementara yang terakhir adalah Tajallî al-Ilâhi al-kâmilah (“Manifestasi ontologis Allah yang paling Agung”). Mikraj dan Kenaikan, dalam ungkapan seorang penyair, “bukan semata perjalanan naik ke langit, tapi juga peristiwa kembali ke bumi.” Seorang sufi dari Ganggoh pernah bertutur, dalam getar suara diimpit kerinduan akut: “Muhammad telah naik ke langit tertinggi, lalu kembali lagi. Demi Allah, aku bersumpah, bahwa seandainya aku yang mencapai tempat itu, aku tak akan kembali lagi.”
Di sini akar perbedaan Nabi dan mistikus tampak benderang. Dalam pendakuan Mohammad Iqbal yang indah: “Nabi kembali ke bumi untuk menyisipkan dirinya ke kancah zaman, dan bukannya pertopang pada ketentraman langit!”
Penulis: Dr. Mohammad Sabri, M.A/Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila