Akhirnya, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengumumkan, pelaksanaan haji tahun ini ditiadakan untuk jamaah dari luar negeri. Haji tahun ini dikhususkan bagi 60.000 jamaah internal Arab Saudi saja.
Keputusan tersebut sekilas mengonrfirmasi alasan pemerintah membatalkan haji. Tetapi tentu tidak mengendapkan kisruh dana haji yang mengemuka. Gaduh terlanjur menyeruak dan kegelisahan jamaah terhadap dana haji terlanjur terusik.
Jika tidak diselesaikan sekarang, persoalan dana haji menjadi laten dan mudah mengemuka kembali sabang waktu ada masalah dalam tata laksana haji. Jadi, polemik ini harus tetap dituntaskan.
Kebanyakan pertanyaan yang mengemuka memang soal jaminan keamanan dana haji. Turunannya, tentang detail investasi, aliran dana, jenis proyek yang diinjeksi, manfaat investasi, dan seterusnya. Untuk menjawab problem ini, usul yang berkembang adalah audit investigatif.
Merespon usul tersebut, ada baiknya pemerintah menganggukkan kepala demi menjaga kepercayaan rakyat. Pemerintah harus tanggap rasa dan membuka diri, membuktikan seterang-terangnya bahwa dana haji benar-benar aman. Jika tidak, sangat mungkin kekhawatiran masyarakat berubah menjadi kecurigaan.
Pelanggaran UU
Banyak hal yang menjadi tanda tanya khalayak dalam kisruh haji tahun ini. Salah satunya dugaan praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah. Padahal, UU No. 34 tahun 2014 mewajibkan dana haji dikelola secara syar’i.
Pada tulisan yang lain, saya telah menyinggung hukum syubhat dalam pengelolaan dana haji. Tapi rupanya ada yang lebih dahsyat dari itu.
Ada kecendrungan perintah UU untuk mengelola dana haji secara syar’i, diakali dengan embel-embel bernuansa syariah. Padahal, boleh jadi ini hanya topeng yang membungkus prilaku riba. Parahnya lagi, riba yang dimaksud bukan bunga duit biasa, melainkan bunga berbunga. Sinyalemen ini diungkap M. Jasin, mantan Irjen Kemenag dan mantan Komisioner KPK dalam program Hersubeno Point.
Ceritanya begini. Dana haji diinvestasikan dalam sukuk/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sukuk ini pada dasarnya obligasi konvensional yang berganti nama. Sedangkan nilai manfaat atau imbal hasil terindikasi sebagai kamuflase dari bunga. Imbal hasil SBSN sendiri didapatkan di depan, sebesar 5,47 persen.
Kalau bukan riba, lalu nilai manfaat 5,47 persen yang diperoleh di depan itu namanya apa? Kita tahu, investasi dalam islam sifatnya terbuka dan fair. Kalau untung, sama-sama untung, buntung pun demikian. Artinya, imbal hasil yang diperoleh di depan menjadi tidak relevan secara syariah.
Menurut M. Jasin, nilai manfaat secara otomatis menjadi giro di rekening BPKH. Ketika dana telah berkumpul, secara otomatis pula menjadi deposito. Dari imbal hasil sukuk tersebut masuk ke giro lagi dan sebagian menjadi deposito. Imbal hasil atau bunga tersebut tidak hanya dari pokok uangnya tapi juga imbal hasil dari nilai manfaat tadi. Bingung? Singkatnya bunga berbunga.
Jasin juga mengungkap, ada sebagian dana haji mengalir ke bank konvensional, antara lain Bank DKI, Bank Riau Kepri, Bank Jateng, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Jabar, Bank Jatim, dan Bank Kaltim. Agar syar’i secara prosedural, bank-bank tersebut membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Proses ini tentu menimbulkan pertanyaan. Jangankan bank konvensional ini, bank syariah saja masih mengandung unsur-unsur yang debatable secara syariah.
Agar input informasinya berimbang, Komite III DPD RI mengundang BPKH untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin, 14 Juni. Dalam RDP, Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengklarifikasi hoax yang berkembang di tengah-tengan masyarakat. Sebagai lembaga independen yang tidak dibiayai APBN, BPKH menegaskan tidak pernah melakukan penempatan dana haji pada proyek-proyek pemerintah secara langsung.
Adapun sukuk/SBSN yang menjadi belanja APBN, hal tersebut dinyatakan di luar otoritas BPKH. BPKH tidak bisa menjamin apakah dialokasikan pada belanja infrastruktur atau pada belanja lainnya. Meski demikian, BPKH mengaku tidak berlepas tangan. Lagi pula, pemerintah menjamin keamanan dana haji tersebut. Penegasan BPKH ini menjadi sesuatu yang clear dengan Komite III.
BPKH juga membantah pernyataan M. Jasin. Namun ketika saya mengonfirmasi kepada yang bersangkutan melalui aplikasi pesan whatsapp, M. Jasin tetap pada pendapatnya dan menyatakan bersedia hadir memberi keterangan dengan informasi yang lebih kaya, bila Komite III menghendaki. “Kapan saja dan gratis,” tegas Jasin. Tentu menjadi sangat penting bagi Komite III untuk menghadirkan M. Jasin dan tokoh lain yang dipandang memiliki otoritas dalam memberi masukan.
Pansus Haji DPD
Kini, menggelantung banyak pertanyaan. Bila kewenangan BPKH hanya sebatas penempatan atau investasi, lalu siapa yang mengontrol aliran dana jamaah pascainvestasi? Bukankah aspek syariah harus menjadi perhatian sebagaimana amanat UU? Syarat syar’i dalam perspektif agama tentu melekat pada keseluruhan proses, bukan sekadar jenis atau nama investasinya.
Kisruh pembatalan haji yang memanjang, sesungguhnya cara Tuhan mengingatkan kita untuk segera membenahi sistem pengelolaan dana haji. Atas pertimbangan ini, saya dan beberapa sejawat di DPD RI berniat menggagas Pansus Haji DPD RI, agar persoalan pengelolaan dana haji dibenahi secara komprehensif.
Pansus diharapkan dapat pula mengusut alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan haji yang terkesan tergesa-gesa dan mendadak, apakah murni karena covid-19 atau masalah ketersediaan dana sebagaimana desas-desus yang santer terdengar.
Desas-desus itu muncul karena banyak hal. Antara lain, likuiditas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agaknya melemah kronis. Indikatornya terasa ketika pajak mulai menyasar kebutuhan pokok rakyat melalui RUU Perubahan Kelima Atas UU No. 6 Tahun 1983. Dari beras hingga telur, dari buah-buahan hingga sayur-mayur, semua bakal kena rente.
Sementara itu, APBN digerogoti banyak pengeluaran. Yang begitu terasa adalah pembayaran bunga utang. Tahun ini saja, negara harus merogoh kocek Rp373,3 triliun buat membayar bunga utang yang menanjak 10,2 persen. Catat. Itu baru bunganya. Belum pokok utang.
Alhasil, April 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk kesekian kalinya menyatakan APBN defisit hingga Rp138,1 triliun. Ini terjadi lantaran belanja negara mencapai Rp723 triliun, sementara pendapatan negara hanya Rp585 triliun. Besar pasak daripada tiang.
Jadi, sangat wajar bila ada pihak yang menilai APBN tidak aman. Pun, wajar pula bila terbangun logika bahwa jika APBN saja tidak aman, maka investasi yang disirkulasikan dalam APBN tentu tidak dapat dijamin aman. Pada titik itulah pernyataan pemerintah bahwa dana haji aman, sangat layak dipertanyakan. Kita tahu, dana haji masuk dalam keranjang umum APBN melalui mekanisme investasi sukuk.
Sebanyak 69,6 persen dana untuk instrumen investasi atau senilai Rp 99,53 triliun. Sisanya, 30,4 persen atau Rp 43,53 triliun ditempatkan di bank syariah. Penempatan di bank syariah ini pun tidak sepenuhnya dapat dijamin aman, mengingat kondisi bank syariah di Indonesia belakangan ini juga cukup rentan.
Situasi itulah yang mengundang kekhawatiran jamaah haji. sehingga sebagian mereka menuntut penjelasan lebih detail. Usul yang berkembang adalah audit investigasi. Dengan melibatkan para pakar, Pansus Haji DPD RI adalah jalan terbaik mewujudkan itu. Syukur-syukur bila DPR RI juga berniat membentuk pansus, sehingga kita bisa kolaborasi.
Hal lain yang cukup membingungkan, kita seperti kehilangan kepala negara. Presiden Joko Widodo kering argumentasi dalam kisruh dana haji. Ketika polemik pembatalan haji berbuntut kontroversi yang berskala nasional, adalah bijak bila presiden menengahi, menjelaskan dengan baik. Toh di awal-awal BPKH dibentuk, presiden memberi arahan tentang potensi dana haji bagi pembangunan.
Jika baru-baru ini presiden gencar berbicara dalam kasus pungli di Tanjung Priok, lalu mengapa dalam kisruh dana haji yang skalanya relatif lebih besar presiden justru pasif?
*Penulis Adalah Anggota DPD RI