SUARAPANTAU.COM, MAKASSAR – Pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan (Sulsel) sedang menjerit. Hal ini diperparah atas adanya dampak pandemo covid-19 yang belum terkendali sepenuhnya. Bahkan, sejumlah industri kayu di Sulsel telah terancam mengalami kebangkrutan.
Jurnal Celebes dalam pantauannya mengungkap sejumlah fakta terkait kesemrautan industri kayu di Sulsel. Salah satunya, tidak adanya langkah kongkrit dan strategis dari pemerintah untuk memperhatikan terkait pendampingan dan jaminan pasar lokal.
Hal ini dikuatkan oleh Asmindo Sulsel. Sejumlah proyek pengadaan barang dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Sulsel tidak memprioritaskan bagi industri lokal tapi lebih mengutamakan industri dari luar Sulsel seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Temuan lain Jurnal Celebes yakni adanya sejumlah keluhan dari para pengusaha industri kayu tidak mendapat bantuan pemerintah terkait proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) yang bisa mengeluarkan anggaran yang sangat besar. Bahkan, biaya pengurusan SLVK disamaratakan pada tiap level industri.
“Bantuan untuk sertifikasi SVLK ini penting dilakukan oleh pemerintah. Memang sebelumnya pernah dilakukan secara berkelompok tahun 2018-2019. Tapi ini tidak efektif, apalagi setelah itu tidak ada lagi bantuan dan biaya sertifikasi itu sama semua level industri yakni sekitar Rp.20 juta sampai Rp.30 juta,” kata Direktur Jurnal Celebes, Mustam Arif, Sabtu 19 Juni.
Secara umum, kata Mustam, biaya sertifikasi tidak menjadi masalah dengan catatan mengubah sistem sertifikasi tersebut. Salah satu hal yang bisa dilakukan, kata dia, adalah sistem sertifikasi harus adil berdasarkan level industri kayu. Mustam menilai sertifikasi SLVK ini dapat mengurangi illegal loging dan hasil industri kayu Indonesia dapat diterima secara global.
“Kalau bisa jangan samakan antara industri kayu kelola untuk lokal dan industri kayu untuk tujuan ekspor, jika begini maka ini akan sangat berat. Apalagi informasi terkait sertifikasi ini kadang tidak sampai ke pelaku industri dan ini problem,” ujarnya.
Bahkan, kata Mustam, pelaku industri yang sudah memiliki sertifikasi kadang tidak mau memperpanjang sertifikasinya. Alasannya, hampir tidak ada bedanya antara kayu yang dikelola oleh industri yang bersertifikat dengan yang tidak atau ilegal.
“Dari 25 industri yang dipantu Jurnal Celebes, hanya 6 yang memiliki sertifikat SLVK. Dan 1 dari enam itu sudah tidak berlaku sertifikatnya dan tidak mau melalukan resertifikasi dengan alasan SLVK tidak bermanfaat. Sedangkan yang lain itu, tidak tahu sama sekali mengenai SLVK,” jelasnya.
Phinisi Terancam Punah
Lokakarya yang dilaksanakan Jurnal Celebes bersama pelaku industri kayu di Sulsel membahas industri Perahu Phinisi Kabupaten Bulukumba, 30 Mei di Hotel Grand Town Makassar mengungkap fakta bahwa baham baku pembuatan kapal yang menjadi simbol Suku Bugis Makassar ini mengalami kesulitan.
Salah seorang pelaku industri Kapal Phinisi, Sukardi mengaku beberapa tahun terakhir produk budaya Bugis Makassar ini sudah sangat sulit menemukan bahan baku utama yakni Kayu Bitti (Vitex Covasus). Kata ini, hal ini berbanding terbalik dengan semakin bertambahnya permintaan Kapal Phinisi.
“Bahan baku Kapal Phinisi ini semakin sulit didapatkan sementara permintaan terus naik. Karena itu, para pelaku industri ini akan semakin sulit sehingga kuat dugaan Kapal Phinisi akan hilang dan tinggal nama,” kata Sukardi.
Ia mengaku jika selama ini pasokan bahan baku Kapal Phinisi berasal dari Kabupaten Sinjai, Bulukumba dan Gowa sudah sangat menipis. Kini, kata dia, basis Kayu Bitti yang masih terjaga hanya berada di sekitar Hutan Adat Kajang, Kabupaten Bulukumba.
“Kayu Bitti ini sisa ada di Hutan Adat Kajang dan itu sulit untuk diambil. Makanya kita tergantung pasokan dari luar daerah seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku hingga Papua. Dan ini kita tidak tahu, apakah hasil olah kayu legal atau ilegal,” terangnya.
Sementara itu, Mustam Arif meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel memikirkan keberlanjutan industri Kapal Phinisi di Kabupaten Bulukumba. Apalagi, kata dia, Kapal Phinisi ini adalah simbol dan kebanggaan masyarakat Sulsel.
Ia menilai Kapal Phinisi adalah produk kultural yang bernilai tinggi dan tersohor di dunia bahari yang telah menjelajahi samudera dengan teknologi tradisional berbasis kearifan lokal. Menurutnya, prestasi itu sudah ada sebelum adanya kapal modern dengan teknologi canggih.
“Jangan sampai Kapal Phinisi yang menjadi kebanggaan masyarakat Sulsel itu nanti dibuat dari fiber glass sehingga tidak dapat lagi dibedakan dengan kapal industri dunia. Karena itu, perlu ada perhatian lebih dari pemerintah,” jelasnya.
Ia menjelaskan jika industri Kapal Phinisi tidak boleh tergantung pada ketersediaan Kayu Bitti di hutan alam. Ia mengatakan perlu ada lahan yang disediakan pemerintah untuk dilakukan budidaya dengan ketersediaan teknologi yang memadai.
“Kami mengusulkan pengembangan budidaya kayu Bitti yang bermanfaat ganda yakni keberlanjutan industri Kapal Phinisi sekaligus berfungsi secara ekologis,” pungkasnya.