Penulis: Alif we Onggang (Budayawan Sulawesi Selatan)
KARENA minus pahlawan, AS memerlukan pahlawan fiktif seperti superman dan Batman, atau seorang koboi bernama Shane yang tak pernah mati untuk mengglorifikasi diri sebagai bangsa adikuasa. Cerdiknya, AS juga mampu memutihkan sejarahnya dan membikin strotipe, paling tidak lewat film-film action dan western yang dialamatkan kepada Rusia, dan suku Indian,– pribumi Amerika sebagai penjahat, setelah mereka menduduki benua itu. Industri film lalu diekspor seperti juga ideologi demokrasi ke semua penghuni bumi.
Dengan congkaknya pula AS mudah menuduh sebagian negara Islam adalah teroris, kendati Amerika sendiri adalah negara teroris terdepan, seperti tudingan cendekiawan terkemuka AS Noam Chomsky dalam Who Rules The Worl? (2016).
Tapi hanya dengan fiksilah AS membalas rasa sakitnya dan menciptakan superhero bernama Rambo yang membasmi Vietnam seperti kecoak. Seluruh dunia bertepuk tangan menonton imaji AS sebagai pemenang. Padahal realitasnya, AS frustrasi dan keok di Vietnam setelah lebih 50.000 tentaranya tewas dalam bagian perang dingin itu sepanjang 1957-1975.
Di sinilah hebatnya. AS seperti nenek moyangnya Eropa menguasai ilmu pengetahuan, melecut mereka menulis narasi-narasi besar dan menentukan sekehendaknya jalan sejarah. Sementara negara-negara berkembang menelan sejarah mentah-mentah (taken for granted), termasuk soal 350 tahun penjajahan Belanda di Nusantara sehingga secara tak sadar kita terkungkung dalam “mentalitas orang jajahan”. Sampai usia 76 Indonesia sebatas jadi bangsa medioker dan kerap merasa inferior di kawasan.
Beruntung Indonesia selalu surplus pahlawan, bukan karena setiap tahun ditahbiskan pahlawan baru, namun agaknya merupakan kewajiban setiap daerah harus mempunyai taman makam pahlawan.
Keuntungan kedua, ada G.J.Resink, sejarawan turunan Belanda dan ahli hukum internasional yang menelanjangi kebohongan politik kolonial ihwal penjajahan 350 tahun. Cilakanya lagi, pemerintah mendesakkan mitos 350 tahun ini ke dalam kurikulum pendidikan yang hingga kini dianggap sebagai dogma.
Padahal betapa banyak negeri di Indonesia yang belum pernah takluk di bawah cengkeraman Belanda, antaranya sejumlah kerajaan (negara) di Sulawesi Selatan sebagaimana disingkap G.J.Resink dalam Indonesian History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968) yang telah diterjemahkan Bukan 350 Tahun Dijajah (2016).
Berbeda dengan Jawa yang terjajah ratusan tahun, di Kalimantan, Sumatera — Aceh berperang 40 tahun hingga merdeka dan di Bugis Makassar, sejak abad ke-17 hingga tahun 1907 berperang sepanjang waktu. Entah laga antarkerajaan atau perang menantang kolonial. Tak dimungkiri, penelitian sejarah yang kebanyakan dilakukan Belanda dikemukakan dengan orientasi Belandasentris dengan kepentingan Jawasentris pula.
Menurut kajian A. Rahman Rahim, VOC berkali-kali menyerang Gowa hingga benteng Gowa dikuasai kolonial 12 Juni 1667 lalu lahir perjanjian Bungaya 1669. Faktanya Belanda hanya menguasai pesisir dan sedikit pedalaman, sementara kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, tetap menikmati kemerdekaannya meski Belanda bernafsu terus untuk menaklukannya.
Bone, bahkan dibawah raja perempuan I Tenri Awaru Besse Kajuara meletupkan perang hebat melawan Belanda setahun lamanya, pada 1859 dengan korban di kedua belah pihak. (A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, 2011).
Mati satu tumbuh seribu. Pertempuran ini berlanjut pada 1905, dan tersebutlah Panglima Baso Abdul Hamid menyalakan senjata lewat perang gerilya menggempur kolonial di Soppeng, Wajo dan Toraja hingga ia gugur.
Terakhir, raja perempuan dari Enrekang Pancai Tana Bunga Walie bersama panglimanya yang juga seorang wanita menyerah pada 1907 setelah sekian lama bertempur habis-habisan menghadapi Belanda. Buntutnya Sulawesi Selatan hanya takluk 38 tahun, seperti disebutkan A. Zainal Abidin Farid, dalam Siri’ Kearifan Budaya Sulawesi Selatan (2005).
Karena itu Resink menaksir, Hindia Belanda hanya menjajah Nusantara 40 tahun, itupun tidak sepenuhnya seluas Indonesia sekarang. Perang Gowa misalnya berakhir pada 1906, — 39 tahun kemudian Indonesia merebut kemerdekaan.
Dan si pongah AS mungkin terkesiap seketika mengetahui bahwa sebelum mereka merdeka, atau sebelum Jean Jacques Rousseau (1712-1778) sang pengkhotbah demokrasi lahir, roh dan praktik demokrasi sudah berlaku di Wajo dan Bone di mana kedaulatan rakyat adalah yang utama dan dapat memakzulkan rajanya jikalau tak becus memimpin.
Negara Merdeka
Resink secara rinci mencatat, hingga abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dianggap merdeka, baik oleh pejabat kehakiman Belanda setempat maupun di Batavia.
Tahun 1854 Menteri Kolonial menjelaskan di parlemen Belanda bahwa masih banyak negeri merdeka, antara lain Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng, Aceh, Batak, Sambas, Riau, Kerinci dan Timor. Tak kurang, Bali, Jambi, Gunung Tabur di Kalimantan Timur, beberapa negeri di Sulawesi Utara mempunyai pemerintahn sendiri.
Tahun 1871 Mahkamah Agung di Batavia menyebut kemerdekaan kerajaan Gowa. Selebihnya pemerintahan Sulawesi yang berbicara tentang wilayah Gowa merdeka dan Makassar merdeka. Bahkan dalam istilah yang lebih umum, pengadilan itu pada 1875 menyebut kerajaan-kerajaan merdeka Sulawesi.
Kemudian pada 1880 keputusan Pengadilan Tinggi Makassar, berpendapat bahwa Hindia Belanda yang selain wilayah pemerintah terdapat negara-negara dan raja-raja yang merdeka. Gowa adalah kerajaan merdeka yang tidak berdiri di bawah, melainkan di samping Pemerintah Hindia Belanda, dan tidak termasuk dalam wilayah Hindia Belanda. Gowa tak ingin takluk dan menganggap diri setara: berdiri sama tinggi duduk sama rendah.
Smit dalam buku Diplomatieke Geschiedenis van Nederland — Sejarah Diplomatik Belanda (1950), tidak melihat adanya wilayah VOC di Sulawesi Selatan. Ini cukup menyajikan peta dengan beberapa bendera kecil atas garis pantai untuk menunjukkan adanya benteng atau kantor.
Lebih dari itu, Gowa merupakan satu dari 23 negara-negara besar sekutu. Gowa, menurut keputusan peradilan Belanda, 1870-an, sama seperti negara-negara Makassar atau kerajaan-kerajaan di Sulawesi — berulang kali menyatakan sebagai negara merdeka dan tetap dipandang sebagai wilayah asing menurut hukum hingga 1910. Sementara di Binuwang, berdasarkan Pengadilan Tinggi Makassar tahun 1888, daerah-daerah tersebut merupakan wilayah luar Belanda. Jika penduduk Hindia Belanda berada di sana dianggap sebagai orang asing belaka.
Pada 1887 Strait Times mewartakan bahwa negara-negara yang berdekatan seperti Wajo, Mansenrempulu dan Toraja sangat merdeka dan tidak mengakui kekuasaan tertinggi Belanda.
Demikian juga seorang raja kecil di Bone yang merdeka dan mengutus seorang Arab kepada Sultan Turki pada 1905 guna mencari bantuan untuk mendepak Belanda. Tahun itu juga raja Gowa mengirim adik tirinya ke Kaisar Jepang… begitu tulis H.J. Friedericy dalam Ettape (1961).
Tak banyak yang tahu, Gowa dan Makassar telah mempunyai hubungan diplomatik, memiliki hukum internasional dan jauh sebelum Belanda menetap di Makassar, sudah ada warga Inggris dan Portugal lebih awal. Bahkan adalah biasa Makassar mengutus orang Portugis untuk urusan diplomatik (F.W. Stapel, Het Bongaais verdrag: De vestiging der Nederlandersop Makassar, 1922).
Etos Siri’
Dalam pandangan intelektual Yudi Latif, Bugis Makassar nama file daya juang keindonesiaan. Etosnya siri’, berani bertarung demi harga diri. Pola dasar karakter Bugis Makassar tak seperti kode genetik yang otomatis diturunkan. Pandangan dunia dan etos siri’-nya perlu direaktualisasi dan diorientasi. Semangatnya tak sekadar berani berkelahi, tapi juga tegar pertahankan prinsip yang luhur. Daya juangnya bukan sekadar menyerang-menerjang, tapi juga membangun dan menumbuhkan.
Epos kejuangan Bugis Makassar perlu terus menjaga keseimbangan antara keberanian patriorisme reaktif defensif ala Arung Palakka dan Sultan Hasnanuddin dengan ketajaman visi dan patriorisme-progresif ala Karaeng Pattingalloang. Begitu kata Yudi Latif.
Kalau kata kita: Selama ini stigma penjajahan 350 tahun ternyata cuma isapan jempol alias bohong belaka. Inilah mungkin hoaks terbesar selama hayat di kandung badan.(*)
Sumber: Pinisi.com