Sering Terjadi Banjir, Mahasiswa UGM Asal Wajo Surati Pemerintah Daerah

Muhammad Iqbal M, Mahasiswa UGM

SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Mahasiswa manajemen dan kebijakan publik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gadjah Mada menyurati Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo terkait penunggalangan banjir di daerahnya.

Hal tersebut ditulis sebab menurutnya Banjir menjadi problem yang tak kunjung berakhir di Kabupaten Wajo.

Dirinya mengibaratkan sebuah festival, ia pasti datang saat hujan deras tiba. Dalam suratnya, Iqbal menyoroti beberapa hal yang berkaitan dengan banjir Tahunan di Kabupaten Wajo. Ia berharap, Eksekutif dan Legislatif bahu-membahu menangani Banjir di Kabupaten Wajo.

Peraturan Daerah Kabupaten Wajo Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Bencana memberi tugas kepada Pemkab untuk menjadi Penanggung Jawab Utama penanggulangan banjir di Kabupaten Wajo.

Bacaan Lainnya

Perda tersebut menjabarkan dengan jelas tanggung jawab, wewenang, dan fungsi Pemkab dalam penanggulangan bencana di Kabupaten Wajo.

Dimulai dari pengalokasian dana penanggulangan bencana alam, menjamin pemenuhan hak masyarakat terdampak, perlindungan masyarakat, pengurangan resiko bencana, penetapan kebijakan penanggulangan bencana, pembuatan perencanaan, pelaksanaan kebijakan, serta pengaturan dan pencegahan berbasis teknologi.

Namun, Pemkab tidak memiliki arah Penanggulangan Banjir yang jelas hingga banjir merendam 5.607 rumah warga, area persawahan, memutus akses trans Sulawesi, dan membuat Petani gagal panen.

Berikut Surat Keresahan mahasiswa asal Belawa yang ditujukan untuk Bupati Wajo, Wakil Bupati Wajo, Ketua DPRD Wajo, Anggota DPRD Wajo, serta Tim Penerima Aspirasi Masyarakat Kabupaten Wajo.

SURAT KERESAHAN

Kepada Yth
1. Bupati Wajo
2. Wakil Bupati Wajo
3. Ketua DPRD Kab. Wajo
4. Anggota DPRD Kab. Wajo
5. Tim Penerima Aspirasi Masyarakat Kab. Wajo
di Tempat

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat Pagi Bapak/Ibu
Salam Sehat Semuanya

Perkenalkan, saya Muhammad Iqbal M, lahir dan besar di Desa Ongkoe, Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo. Saya TK-MTS di As’adiyah Ongkoe, SMA di Maroangin, Enrekang. Lalu, S1 Administrasi Negara di Universitas Negeri Makassar. Tahun 2018, saya memutuskan untuk hijrah ke DKI Jakarta. Saat ini, saya terdaftar sebagai mahasiswa magister Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Saya stay di Kota Depok, Jawa Barat.

Saya seorang Analis Kebijakan Publik, yang concern pada Lingkungan, Pendidikan, dan Kesehatan. Saya eks Hipermawa Komisariat Belawa dan Hipermawa Koperti UNM, hingga detik ini saya aktif di berbagai organisasi nasional. Meskipun saya tidak sedang berada di Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo. Namun, saya selalu memantau dan mencari informasi mengenai tanah kelahiran saya.

Saat banjir kembali menimpa Kabupaten Wajo, Pemerintah merupakan orang yang paling tepat untuk dimintai pertanggungjawaban. Apakah Pemkab telah merevitalisasi sungai, danau, dan sumber air lainnya sesuai dengan Janji Kampanye dan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Bencana, mengingat Danau Tempe merupakan Danau tektonik terbesar yang mengalami proses sedimentasi dalam beberapa tahun belakangan.

Bagaimana dengan road map penanggulangan banjir. Bagaimana dengan anggaran jaring pengaman sosial yang sangat rendah. Untuk itu, izinkan saya menyampaikan keresahan dan kekhawatiran melihat Kabupaten Wajo akhir-akhir ini, terutama permasalahan banjir yang tiap tahun menimpa kampung saya.

Ada beberapa hal yang harus disoroti bersama, sebagai berikut:

1. Banjir Tahunan. Banjir merupakan musibah yang paling sering melanda Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Hampir tiap tahun, teranyar, hujan dengan intensitas tinggi menjadi pemicu terendamnya 11 Kecamatan, diantaranya: Kecamatan Tanasitolo, Tempe, Sajoanging, Majauleng, Pitumpanua, Gilireng, Keera, Penrang, Maniangpajo, Pammana, dan Sabbangparu. Berdasarkan Laporan BPBD Kabupaten Wajo, banjir kali ini merendam 5.607 rumah warga, area persawahan, serta memutus akses trans Sulawesi. Petani yang sawahnya terendam banjir, terancam gagal panen, bahkan ada yang gagal
panen (Sindo News, 2021).

2. Sedimentasi Danau Tempe. Dalam riset “Sedimentasion rate of upstream Tempe Lake”, yang ditulis oleh Soewaeli dan Sri Mulat Yuningsih, Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Keduanya menyimpulkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae termasuk kawasan yang mempengaruhi sistem danau Tempe. Sekitar 37% luas lahan di daerah tangkapan Danau Tempe memiliki kemiringan lereng lebih dari 45%, dan sekitar 70% lahan peka terhadap erosi tanah. Sedimentasi yang terjadi berdasarkan data debit sedimen selama 20 tahun (1976-1995) adalah 519.000m3/tahun, dengan 74% berasal dari Sungai Walanae (Soewaeli dan S.M. Yuningsih, 2014).

3. Tidak ada road map penanggulangan banjir. Amran Mahmud dan Amran dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Wajo pada Jum’at, 15 Februari 2019, artinya hingga Banjir melanda Kabupaten Wajo pada Jum’at, 28 Agustus 2021. Keduanya telah bekerja selama 1.050 hari atau 35 bulan. Mengacu pada Visi, Misi dan Program Pilbup 2018, “Pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya” menjadi program prioritas di Sektor Lingkungan. Padahal, sejak Desember 2016, Kementerian PUPR telah melakukan Revitalisasi Danau Tempe yang berada di Kabupaten Wajo, Soppeng, dan Sidrap dengan luas 13.000 hektar. Proyek tersebut ditargetkan selesai pada awal 2019 (Wajokab, 2021).

4. Rendahnya anggaran bantuan sosial. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wajo Tahun 2021 yakni sebesar Rp 1.580.069.89.147,-. Yang terdiri atas: Belanja Pegawai Rp 628.584.505.251,-; Belanja Barang dan Jasa Rp 358.717.613.356,-; Belanja Hibah Rp 79.261.565.396,-; Belanja Bantuan Sosial Rp 4.160.120.000,-; dll. Sangat disayangkan belanja bantuan sosial hanya berada di angka Rp 4.1 miliar, lebih rendah dibanding dengan anggaran pembangunan RTH Callaccu yakni sebesar Rp 6.7 miliar.
Dalam menghadapi situasi force majeure, dari aspek penganggaran Pemkab nyatanya tidak siap (APBD, 2021).

5. Lambatnya pengoperasian Bendungan Paselloreng. Bendungan Paselloreng dibangunsejak 2015, menghabiskan anggaran hingga Rp 790 miliar. Bendungan tersebut dibangun oleh Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. dan PT Bumi Karsa. Bendungan ini telah rampung sejak Desember 2020. Namun, belum beroperasi hingga diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 9 September 2021, sehari yang lalu. Padahal Bendungan Paselloreng memiliki daya tampung hingga 138 juta meter kubik, dengan luas genangan sekitar 169 hektare, serta mampu berfungsi sebagai pengendali debit air di Sungai Gilireng hingga 1.000 lpd. Jika Bendungan Paselloreng beroperasi sebelum hujan tiba. Kemungkinan besar debit air bisa di tekan, sehingga mampu mengurangi resiko Banjir di Kecamatan Gilireng, Keera, dan Sajoanging (Bisnis, 2021).

6. DPRD Kabupaten Wajo kehilangan fungsi Pengawasan. Koalisi Pammase menempati 24 kursi di DPRD Kabupaten Wajo, diantaranya: PAN 7 kursi, PDIP 1 kursi, PPP 3 kursi, PKS 3 kursi, PBB 1 kursi, Demokrat 5 kursi, dan Nasdem 4 kursi. Sedangkan, Koalisi Barakka hanya menempati 16 kursi, diantaranya: Golkar 4 kursi, PKB 4 kursi, Hanura 2 kursi, dan Gerindra 6 kursi (KPU Wajo, 2019). Perlu diketahui bahwa Bupati Wajo, Amran Mahmud merupakan Ketua DPD Partai Amanat Nasional Kabupaten Wajo 2021-2026, ia tercatat memimpin Partai Amanat Nasional Wajo sejak 2006. Wakil Bupati Wajo, Amran merupakan kader PDIP Wajo. Sedangkan, Ketua DPRD Kabupaten Wajo, Andi Muhammad Alauddin Palaguna adalah kader Partai Amanat Nasional. Artinya, kendali Eksekutif maupun Legislatif dipegang oleh Koalisi Pammase. Parlemen yang di kuasai oleh koalisi Pemerintah menunjukkan bahwa kepentingan keduanya akan berjalan beriringan. Padahal, Legislatif harusnya mampu menekan Pemerintah untuk fokus pada Penanggulangan Banjir di Kabupaten Wajo. Atau Pemerintah dengan mudahnya bisa mengkoordinir penanggulangan Banjir mengingat kursi DPRD di kuasai oleh Koalisi Pammase sekaligus Kader Partai Amanat Nasional. Faktanya, DPRD Kabupaten Wajo masih berkutat pada kebiasaan lama tanpa mempertimbangkan gebrakan baru.

7. Pembangunan Asrama Mahasiswa Wajo. Hingga detik ini, janji Bupati belum terealisasi. Harusnya Pembangunan Asrama Mahasiswa dimasukkan dalam APBD 2021 agar menjadi program prioritas. Tidak perlu lempar tanggung jawab kepada Pemprov Sulsel, seolah olah mahasiswa mudah percaya. Kami belajar bertahun-tahun, kami bisa menganalisa dengan baik, kami bisa bedain antara Janji Politisi dan Komitmen Kepala Daerah. Belajar dari Pemprov Sulsel, Pemda menghabiskan anggaran sebesar Rp 4,408 miliar untuk membangun Asrama Mahasiswi Anging Mammiri di Yogyakarta. Asrama Mahasiswi Sulsel di Yogyakarta dibangun 3 lantai dengan jumlah 18 kamar tidur. Asrama tersebut dilengkapi dengan 1 kamar asisten rumah tangga, ruang aula, ruang belajar, ruang mushalla, ruang cuci, ruang makan, dan tempat menjemur pakaian. Dana pembangunan Asrama berasal dari APBD Sulsel Tahun 2020. Singkatnya, kalo bapak memang niat, kenapa gak nyontek cara Pemprov Sulsel membangun Asrama Anging Mammiri. It’s simple (IDN Times, 2021).

Saat banjir menimpa Kabupaten Wajo, Pemerintah acap kali menyalahkan kiriman air dari wilayah tetangga, intensitas hujan, serta sekelumit alasan lainnya. Paradoks, mengingat Pemerintah Kabupaten Wajo merupakan Penanggung Jawab Utama penanganan banjir. Banjir di Kabupaten Wajo tidak akan selesai jika pemerintah tidak memiliki ittikad melalui Kebijakan. Masyarakat memilih bapak untuk menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi. Di era industri, kepala daerah yang minim inovasi pada umumnya akan mencari-cari alasan untuk menghindari sorotan publik.

Menanggapi keinginan Pemerintah Kabupaten Wajo dalam Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH Callaccu), yang menelan anggaran sebesar Rp 6,7 miliar. Anggaran proyek tersebut bersumber dari APBD, yang dikerjakan 2 September 2021 hingga 30 Desember 2021 oleh “CV Rily Pratiwi”. CV Rily Pratiwi merupakan Kontraktor yg berdomisili di Lalabata, Soppeng. Dalam laporan LPSE Kabupaten Soppeng, CV Rily Pratiwi tercatat mengerjakan beberapa proyek di Kabupaten Soppeng, seperti: Pembangunan Kawasan Pariwisata (Tempat Ibadah) tahun 2017 sebesar Rp 934,620 juta; Konstruksi Fisik Pasar Rakyat Tajuncu tahun 2019 sebesar Rp 3,652 miliar; Rehabilitasi Ruang Isolasi Rawat Inap (I, II, III) tahun 2020 sebesar Rp 3.652 miliar; serta Pembangunan Pasar Rakyat Batu-Batu tahun 2021 sebesar Rp 5,653 miliar. Berdasarkan rilis Bugiswarta tahun 2017, kontraktor yang ditunjuk Pemerintah (CV Rily Pratiwi) memiliki catatan buruk dalam Proyek Rehabilitasi atap Eks. Kantor DPRD/Dikmudora dan WC Pusper.

Menurut saya, Pemkab seharusnya fokus pada Penanggulangan Banjir di Kabupaten Wajo. Ngurus banjir yang tiap tahun menimpa KAMPUNGTA, jauh lebih penting ketimbang membangun taman di lahan yang berpotensi tenggelam saat banjir tiba. Puluhan hektar lahan persawahan gagal panen akibat banjir melanda. Saya menyaksikan satu dua orang Petani yang mencurahkan isi hatinya melalui Sosial Media. Masyarakat mau makan apa Pak, bagaimana cara menghidupi keluarga mereka ke depan. Kerugian sosial dan ekonomi yang menimpa masyarakat tidak terhitung jumlahnya, bahkan Pemkab tidak pernah melaporkan secara rinci kerugian yang menimpa masyarakat. Jadi, pembangunan RTH Callaccu tidak urgen sama sekali mengingat masalah utama adalah Banjir. Selain itu, dalam situasi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir, Pemkab seharusnya memiliki sense of crisis. Untuk itu, izinkan saya menanyakan beberapa hal:

1. Apa urgensi pembangunan RTH yang menelan anggaran sebesar Rp 6.7 miliar?
2. Bagaimana proses tender proyek RTH Callaccu?
3. Mengapa Pemerintah memilih CV. Rily Pratiwi?
4. Apakah Pemerintah memiliki relasi sosial, politik, dan ekonomi dengan CV. Rily Pratiwi?
5. Kenapa anggaran RTH Callaccu jauh lebih besar dibanding dengan Anggaran Bantuan Sosial (APBD 2021)?
6. Kenapa pengoperasian Bendungan Paselloreng molor?
7. Kenapa Pemerintah tidak memiliki road map penanggulangan banjir?

Pemerintah harus inovatif guna menghadapi kompleksitas tantangan ke depan. Langkah-langkah yang harus di tempuh yaitu: Pertama, Pemerintah perlu menanyakan progres/evaluasi revitalisasi Danau Tempe kepada KSO PT Nindya dan FAF yang telah bekerja sejak Desember 2016, dengan menelan anggaran sebesar Rp 283.98 miliar, yang diproyeksikan selesai pada awal 2019.

Kedua, Pemerintah harus menambah anggaran jaring pengaman sosial guna menghadapi situasi force majeure.

Ketiga, melakukan normalisasi dan naturalisasi Sungai Bila, Sungai Walanae, Sungai Cenranae, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo.

Keempat, melakukan sosialisasi kepada warga mengenai penyebab banjir dan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS).

Kelima, segera fungsikan Bendungan Paselloreng untuk menekan debit air saat hujan tiba, terutama daerah pinggiran Sungai Gilireng.

Keenam, libatkan Ahli dan Masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

Ketujuh, e-government secara menyeluruh, tingkatkan transparansi dan akuntabel.

Demikian, semoga kita semua diberi Kesehatan dalam menjalani rutinitas ke depan.
Belawa, 10 September 2021
Muhammad Iqbal M

(*/rls)

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *