SUARAPANTAU.COM, MAKASSAR – Sejumlah rumah sakit yang berada di bawah naungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) diduga terlambat mencairkan insentif tenaga kesehatan (nakes) sejak Juni 2020 lalu. Tidak hanya itu, insentif para nakes juga diduga dikenakan pungutan dengan besaran yang berbeda-beda di setiap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Mereka menganggap ini pemotongan insentif. Menyikapi pemotongan itu, sejumlah nakes yang tergabung dalam Barisan Muda Kesehatan Indonesia (BMKI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulsel pada 26 Juni 2021. Dalam orasinya, BMKI menyampaikan empat tuntutan.
Salah satu tuntutan yang disampaikan adalah meminta transparansi anggaran insentif covid-19 di seluruh RSUD yang berada di bawah naungan Pemprov Sulsel. Alasannya, BMKI menerima sejumlah laporan dari sejumlah anggota yang bekerja sebagai nakes di berbagai rumah sakit di Kota Makassar soal keterlambatan pencairan dan potongan insentif nakes.
BMKI kemudian melanjutkan aksinya di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel pada hari yang sama. BMKI pun diterima langsung oleh anggota Komisi E DPRD Sulsel. Di antaranya Sofyan Syam, Andi Muhammad Irfan AB, Syamsuddin Karlos, dan Andi Debbie Purnamasari di Ruang Rapat Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Pada pertemuan itu, Andi Muhammad Irfan AB mengaku baru mengetahui jika ada keterlambatan pencairan insentif nakes. “Kami baru tahu jika ada keterlambatan. Saya kira ini tidak boleh terjadi, karena nakes ini adalah garda terdepan melawan pandemi,” kata Irfan. Karena itu, BMKI dijanjikan akan dilibatkan dalam rapat bersama Komisi E dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel dengan agenda pembahasan mengenai keterlambatan dan dugaan potongan insentif covid-19.
Pada 30 Juni 2021, Komisi E DPRD Sulsel melakukan tindak lanjut dengan menggelar rapat bersama Dinas Kesehatan. Karena rapatnya terbuka untuk media, tim suarapantau.com ikut ambil bagian dalam rapat tersebut. Dalam rapat itu, Kepala Dinas Kesehatan, dr. Muhammad Ichsan Mustari mengakui ada keterlambatan pencairan insentif nakes. Alasannya, data para nakes masih dalam proses verifikasi. “Keterlambatan pencairan insentif ini karena masih dalam tahap verifikasi,” kata dr. Ichsan dalam rapat tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi E DPRD Sulsel, Andi Muhammad Irfan AB menanyakan terkait adanya dugaan potongan insentif nakes covid-19. Ia mengaku mendapat laporan dari masyarakat. “Bagaimana dengan informasi adanya dugaan potongan insentif nakes? tanya Andi Muhammad Irfan AB. Namun, pertanyaan itu tidak dijawab secara detail Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel.
Seusai rapat, Ketua Komisi E DPRD Sulsel, Rusdin Tabi bersama anggota Komisi E, Andi Muhammad Irfan AB dan Haidar Majid memfasilitasi pertemuan kecil dengan Kepala Dinas Kesehatan dan perwakilan BMKI. Pada pertemuan itu, barulah dr. Ichsan mengakui jika dirinya tidak mengetahui adanya potongan insentif nakes.
Pengakuan itu juga didengar langsung oleh Ketua BMKI, Irham Tompo. Irham yang juga nakes di RS Faisal Makassar itu juga menyampaikan jika dirinya mendapat sejumlah data terkait ada potongan insentif nakes di RSUD Haji Makassar. “Saya juga mendapat informasi dan data terkait adanya dugaan potongan insentif nakes di RSUD Haji, karena itu dalam aksi kami yang lalu, kami menuntut agar Plt. Gubernur Sulsel agar transparan soal insentif covid-19,” kata Irham.
Pada 16 Juli 2021, BMKI kembali berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulsel dan DPRD Sulsel. Aksi yang kedua ini merupakan bentuk kekecewaan BMKI karena belum ada solusi yang diberikan Pemprov Sulsel dan DPRD Sulsel atas keterlambatan dan dugaan potongan insentif nakes tersebut. Bahkan, sejumlah nakes yang ikut ambil bagian dari aksi tersebut mengancam akan melakukan mogok kerja di sejumlah RS dan RSUD yang ada di Kota Makassar. “Aksi ini adalah murni untuk menuntut hak kami,” kata Irham.
Dugaan Pungutan Insentif Tenaga Kesehatan RSUD Haji
Pada 12 Juli 2021, tim suarapantau.com bertemu Ketua BMKI, Irham Tompo. Pada pertemuan itu, Irham membenarkan informasi pemotongan insentif di RSUD Haji Makassar. “Soal informasi potongan di RSUD Haji itu, memang benar ada. Salah satu kerabat saya yang bekerja di sana mengakui itu,” kata Irham. Hanya saja, demi keamanan, Irham enggan menyebutkan nama nakes yang dimaksud.
Dari keterangan Irham, tim suarapantau.com lalu bertemu dengan Ryan, bukan nama sebenarnya, pada 22 Juli 2021. Ryan merupakan nakes yang bekerja di RSUD Haji Makassar. Dari keterangan Ryan, ditemukan fakta jika ada potongan insentif nakes pada rumah sakit tempatnya bekerja. Hanya saja, pada pertemuan itu, Ryan masih mengaku secara verbal tanpa memberik bukti yang kuat.
Tapi, pada pertemuan selanjutnya di tanggal 4 Oktober 2021, Ryan berani menunjukkan dan memberikan rekening koran sebagai bukti kepada tim suarapantau.com. Ia bahkan menjelaskan detail terkait modus potongan insentif nakes.
Dari rekening koran itu, Ryan menjelaskan bahwa insentif yang diterima nakes telah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan dengan nomor HK.01.07./MENKES/392/2020 untuk perawat sebesar Rp. 7.500.000 yang mulai berlaku pada 30 Juni 2020. Insentif itu langsung dikirim melalui rekening masing-masing para nakes.
Tapi, kata Ryan, insentif itu dikirim setiap tiga bulan sekali. “Untuk insentif bulan Juni, Juli, Agustus terlambat cair. Begitu juga untuk bulan September, karena baru cair tanggal 12 Desember 2020,” kata Ryan.
Total insentif yang diterima Ryan pada 12 Desember sebesar Rp. 24.107.143. Rinciannya, insentif untuk bulan Juni Rp. 7.500.000, untuk bulan Juli Rp. 7.500.000, untuk bulan Agustus Rp. 7.500.000 dan untuk bulan September hanya Rp. 1.607.143 karena tidak penuh merawat pasien covid-19.
Pungutan muncul usai pencairan pada Desember 2020. Usai para nakes menerima insentif mereka, pada awal Januari 2021, pihak manajemen RSUD Haji diduga mulai menagih pungutan sebesar 20 persen kepada nakes. “Saya diminta membayar sekitar Rp. 4.800.000 dari total jumlah insentif nakes yang saya terima sebesar Rp. 24.107.143,” ungkapnya.
Ia mengklaim tidak sendirian. Teman-temannya sesama tenaga kesehatan juga mengalami hal serupa. Ryan menjelaskan ada sekitar 20 orang nakes yang menolak membayar potongan tersebut. “Itu hak kami, jadi kami sepakat menolak untuk membayar potongan tersebut,” kata Ryan.
Penolakan puluhan nakes itu, kata Ryan, membuat heboh manajemen RSUD Haji Makassar sebab para nakes dinilai melawan perintah manajemen. Para nakes mengklaim menerima intimidasi. Ryan mengatakan manajemen RSUD Haji Makassar diduga menebar intimidasi kepada para nakes tersebut. Salah satunya adalah manajemen disebut akan mempersulit pengurusan administrasi. Selain itu, para tenaga kesehatan yang melawan disebut tidak akan dililbatkan lagi dalam penangan covid-19.
Menurut Ryan, ancaman dan intimidasi itu membuat puluhan nakes yang awalnya menolak kemudian melunak dan siap membayar. Namun, jumlahnya semakin kecil. Jumlah uang potongan yang disepakati yakni sebesar Rp. 1.000.000. Ryan kemudian membayar melalui transfer kepada petinggi Bidang Keperawatan RSUD Haji Makassar melalui nomor rekening 14220100000xxxxx pada tanggal 14 Januari 2021 dengan nomor dokumen transaksi rekening Bank BPD Sulsebar 29xxx.
Ia mengirim bukti transferan itu melalui WhatsApp (WA) tapi tidak dibalas. Pada hari yang sama, kata Ryan, petinggi Bidang Keperawatan RSUD Haji Makassar mentransfer kembali dengan nomor dokumen transaksi rekening Bank BPD Sulsebar 38xxx.
Ryan mengaku dirinya menerima WA dari petinggi di Bidang Keperawatan RSUD Haji Makassar bahwa pengembalian itu dilakukan karena tidak sesuai dengan besaran yang telah ditentukan yakni 20 persen atau sebesar Rp. 4.821.428. Karena tidak punya pilihan lain, pada tanggal 28 Januari 2021, Ryan terpaksa meminjam uang sebesar Rp. 4.000.000 dari seorang kerabatnya. “Ini pilihan terakhir saya, karena seluruh insentif itu sudah saya gunakan untuk membayar DP rumah. Jadi setelah menarik uang itu, saya kemudian membayar tagihan itu secara tunai kepada petinggi Bidang Keperawatan RSUD Haji Makassar. Untuk tanggal pastinya, saya sudah lupa,” ucapnya.
Dikonfirmasi terpisah melalui sambungan telepon pada 20 Oktober 2021, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUD Haji Makassar, dr. Andi Mappatoba, tegas mengatakan jika tidak ada potongan pada insentif nakes. Ia juga mengaku tidak mungkin ada potongan karena insentif nakes langsung dikirim ke rekening masing-masing nakes. “Bagaimana mungkin bisa dipotong kalau insentifnya dikirim langsung ke rekening masing-masing nakes,” kata Andi Mappatoba. Mantan Direktur RSUD Labuang Baji Makassar itu juga membantah pungutan insentif nakes yang dilakukan bawahannya. “Tidak ada itu begitu,” katanya.
Andi Mappatoba tidak bersedia memberikan komentar jika ada potongan sebelum dirinya bertugas sebagai Plt Direktur RSUD Haji Makassar. “Saya ini kan baru bertugas di RSUD Haji pada Mei 2021, jadi mengenai insentif yang dipotong sebelum saya bertugas itu saya tidak tahu. Tapi, nanti akan saya coba cari tahu,” pungkasnya.
Kisruh Insentif Tenaga Kesehatan di RS Wahidin Sudirohusodo
Fakta lain ditemukan di Rumah Sakit (RS) Wahidin Sudirohusodo Makassar. Berdasarkan pengakuan sejumlah nakes, tidak ada potongan terhadap insentif yang mereka terima. Tapi, manajemen di rumah sakit ini menerapkan sistem perhitungan berdasarkan masa tugas setiap nakes. Aturan itu didasarkan pada Juknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan dengan nomor KU.03.07/II/1171/2020. Adapun rumusan pemberian insentif nakes itu yakni jumlah hari masa kerja dibagi dengan total hari masa kerja dalam satu bulan yakni 22 hari lalu dikalikan dengan besaran insentif nakes berdasarkan Keputusan Kementerian Kesehatan (KMK).
Juknis diperkirakan ini tidak dipakai oleh seluruh rumah sakit di Sulsel, termasuk di RSUD Haji Makassar. Keanehan lain dari pengakuan nakes, jika masa tugas mereka dihitung Rp. 500.000 setiap satu kali bertugas tanpa melalui perhitungan rumus dalam Juknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. “Tidak ada ji potongan, tapi insentif yang diberikan kepada kami itu berdasarkan masa tugas,” kata Indah, bukan nama sebenarnya, salah satu nakes di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Menurut Indah, pencairan insentif nakes di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar juga berbeda-beda. Hal itu dikarenakan setiap nakes memiliki masalah yang berbeda seperti masalah administrasi dan verifikasi. “Ada teman insentifnya belum cair Februari, Maret, April tahun 2021 tapi untuk Juni 2021 itu sudah cair. Jadi kami bingung, makanya datang ke bank BRI untuk meminta penjelasan,” katanya.
Sejumlah nakes mendatangi Kantor Cabang BRI Tamalanrea dan Kantor Kas BRI Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada tanggal 20 Agustus 2021. Kedatangan nakes ini untuk meminta kejelasan kepada BRI terkait permasalahan yang dialami para nakes. “Kami ke BRI untuk minta penjelasan kenapa bisa begini cara pembayarannya. Masa yang cair itu bulan Juni tapi tiga bulan sebelumnya belum cair,” kata nakes yang tidak ingin disebutkan namanya ketika ditemui di Kantor Unit BRI Cabang Tamalanrea.
Sementara Asisten Manager Operasional BRI Cabang Tamalanrea, Irfan Syamsul mengaku jika pihaknya tidak mengetahui masalah keterlambatan pembayaran insentif nakes di tempatnya bekerja. Kata dia, BRI hanya ditunjuk sebagai bank pembayar kepada nakes berdasarkan berkas yang telah ditentukan. “Kami dari pihak bank tidak tahu mengenai rincian insentif yang diterima nakes. Kami hanya bertugas untuk membayar saja,” kata Irfan.
Ia mengungkapkan beberapa persyaratan untuk mencairkan insentif nakes antara lain Surat Keputusan dari Manajemen RS tempat nakes bekerja, KTP dan NPWP. “Setelah kelengkapan berkasnya sudah diverifikasi maka akan dibuatkan rekening massal dan yang mengeluarkan itu adalah BRI pusat di Jakarta,” katanya.
Tidak hanya itu, nakes yang sudah memiliki rekening BRI juga tetap dibuatkan rekening. Ketika ditanya apa tidak masalah jika nakes membuka dua rekening BRI dengan satu KTP yang sama. Irfan mengaku jika hal itu tidak menjadi soal. “Iya, bisa buka dua rekening dengan satu KTP yang sama,” ungkapnya.
Rekening massal yang dikeluarkan BRI sendiri memiliki sejumlah keanehan. Salah satunya, rekening massal itu dibuat berdasarkan KTP yang beralamat di Kota Makassar tapi kemudian alamat yang tertera pada buku rekening yang diberikan BRI kepada nakes merupakan alamat Jakarta yakni Jalan Hang Jebat Raya, Jakarta Selatan.
Irfan Syamsul mengaku jika alamat Jakarta yang dipakai itu adalah alamat Kantor Pusat BRI. “Jadi alamat itu dipakai karena merupakan kantor pusat,” katanya. Namun, ketika ditelusuri pada mesin pencarian google, alamat BRI Pusat itu berada di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 44-46 Jakarta.
Sementara Plt. Sumber Daya Manusia, Pendidikan dan Penelitian RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, Ridhayani B., SKM., M.Kes yang ditemui pada 23 Agusutus 2021, mengakui jika memang ada keterlambatan pencairan insentif nakes. Menurutnya, keterlambatan itu terjadi karena proses verifikasi data nakes yang mengalami sejumlah masalah seperti kesalahan NIK pada KTP. “Kita akui memang ada keterlambatan pencairan insentif nakes. Ada beberapa kendala yang sering terjadi, salah satunya terkait NIK,” ungkapnya.
Terkait keterlambatan pencairan insentif, Ridhayani mengaku tidak memiliki kewenangan lagi. Menurutnya, rumah sakit hanya memiliki klaim berdasarkan data, lalu menyerahkan kepada BRI. “Jadi kami itu hanya berikan data. Kalau ada keluhan begini, kami juga sering pertanyakan kepada pihak BRI. Hanya saja memang ada kendala pada administrasi sebab anggaran dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) itu dikirim melalui bank mandiri, lalu dikirim lagi ke bank BRI. Nah, barangkali di situlah titik masalahnya, terkait administrasi itu,” jelasnya.
Sebelumnya, kata Ridhayani, untuk pencairan insentif nakes tahun 2020 berjalan lancar karena anggaran diberikan langsung ke rumah sakit secara gelondongan. “Jadi ketika anggaran sudah ada, kami langsung verifikasi data, lalu kirim ke rekening masing-masing nakes. Hitungannya berdasarkan Juknis yakni berdasarkan jumlah masa tugas,” katanya.
Atas perhitungan ini, setiap nakes memiliki besaran insentif yang berbeda-beda. Jika kurang dari 22 hari, maka besaran berdasarkan KMK itu akan berkurang. “Kalau kurang dari 22 hari bekerja, maka itu akan berkurang. Jika masa tugas lebih, besarannya tetap sama berdasarkan KMK,” pungkasnya.
(*/TIM)