Australia Update 2021 dan Teropong Strategis Hubungan Australia Indonesia

Soft launching Pusat Studi Australia UNAS - CFAS

Oleh: Harry Darmawan (Kepala Pusat Studi Australia UNAS/CFAS UNAS)

Pusat Studi Australia UNAS (CFAS UNAS), pada tanggal 12 dan 13 Oktober lalu berkesempatan menyelenggarakan Australia Update 2021 dengan menghadirkan pembicara-pembicara dari beragam universitas yang ada di Australia dan Indonesia, serta Diaspora Indonesia yang sukses berkarir dan membangun usaha di Australia. Perhelatan ini sangat pas terutama dilihat dalam konteks regional terkini, dan pertemuan negara-negara G20 di Italia.

Beberapa pekan terakhir, dunia internasional, khususnya wilayah Asia Tenggara diramaikan dengan munculnya aliansi pertahanan antara Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang tren dengan sebutan AUKUS. Aliansi pertahanan ini sontak mengundang pertanyaan dari berbagai pihak, termasuk Indonesia.

Presiden Joko Widodo pada akhir bulan Oktober 2021 memberikan pernyataan mengenai kekhawatiran Indonesia terkait keberadaan pengembangan tekhnologi nuklir dalam aliansi pertahanan tersebut (pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT ASEAN ke 38 dan 39). Presiden Joko Widodo berharap kehadiran AUKUS tidak meningkatkan persaingan di wilayah Asia Tenggara yang dapat mengancam stabilitas kawasan.

Bacaan Lainnya

Sangat mudah untuk dipahami bahwa kehadiran AUKUS secara tidak langsung merupakan “pagar hidup” dalam membendung perkembangan massive Tiongkok pada sepuluh tahun terakhir, termasuk perdebatan yang tak kunjung usai di wilayaah laut antara Asia Tenggara dan Tiongkok (seringkali disebut sebagai Konflik Laut China Selatan).

Pada satu sisi, Indonesia sebagai kekuatan tradisional di ASEAN berharap Australia di bawah pemerintahan perdana Menteri Scott Morrison dapat lebih terbuka terhadap ASEAN, terutama dalam kaitan dibentuknya AUKUS yang tentu berkait langsung dengan kondisi geopolitik di Asia Tenggara. Harapan ini secara lugas dijawab oleh PM Morrison dengan komitmen dan konsistensi terhadap stabilitas ASEAN.

PM Morrison meyakinkan bahwa kehadiran AUKUS akan berdampak positif bagi ASEAN dan Australia akan selalu menghargai kesepakatan-kesepakatan dengan institusi ASEAN. Bila dikaji, Australia di bawah kepemimpinan PM Morrison yang berasal dari Partai Liberal Australia ini cukup berhasil dalam membangun komunikasi dan hubungan dengan ASEAN, termasuk Indonesia.

Pasca ramai pembahasan isu AUKUS ini, PM Morrison meyakinkan ASEAN dengan memberikan komitmen pendanaan baru sebesar 124 juta dollar AS yang disalurkan melalui Australia for ASEAN Future Initiative. Hal ini tentu harus memberikan pengaruh yang baik, terutama dalam membangun kesiapan ASEAN menghadapi Pandemi Covid 19 dan ancaman-ancaman kesehatan yang dapat muncul kapanpun.

Kembali ke Australia Update 2021, kehadiran pembahasan pada bidang politik, ekonomi, sosial dan diaspora tentu merupakan “paket lengkap” dalam menganalisa hubungan Australia-Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Dr. Richard Chauvel dari Melbourne University, sebagai salah satu narasumber pada sesi politik menyatakan bahwa satu tahun terakhir hubungan Australia-Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dinamika internasional, khususnya persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Periset yang pernah tinggal lama di Indonesia ini meyakini bahwa Australia dan Indonesia harus sama-sama cermat agar tidak terjebak dalam persaingan global Amerika Serikat dan Tiongkok, serta berani memberikan kritik terhadap dua negara besar tersebut agar stabilitas kawasan di Asia Tenggara dan Pasifik tetap terjaga.

Hal ini diamini oleh Dr. Hendra Maujana Saragih dari Universitas Nasional. Dr. Hendra secara sangat cermat mendetailkan berbagai kronologis peristiwa sejak masa lalu dan terkini yang menggaambarkan “hubungan saling dukung-mendukung” antara Australia dan Indonesia. Riak-riak kecil oleh Dr. Hendra dikatakan pasti selalu ada, namun bukan berarti menghapus tinta emas dalam hubungan itu, dimana dalam masa-masa sulit Australia selalu hadir untuk Indonesia, dan Indonesia selalu siap bagi Australia.

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Prof Evi Fitriani menambahkan bahwa sebagai dua kekuatan terbesar di kawasan, Ausatralia dan Indonesia selalu dihadapkan pada pengaruh kondisi global yang semakin cepat berubah. Persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok merupakan salah satu fase yang harus dilewati oleh Australia dan Indonesia. Prof Evi meyakini bahwa hal tersebut akan lebih efektif untuk disikapi jika Australia dan Indonesia mampu meyakini organisasi regional masing-masing untuk tetap netral dan objektif.

Pembahasan dalam sesi ekonomi juga tidak kalah menarik dengan pemaparan oleh Dekan FEB UNAS, Kumba Digdoweseiso P.hD dan Ronald Mizen (The Australia Financial Review). Kedua belah pembicara samaa-sama menekankan perlunya inisiasi-inisiasi lanjutan yang aplikatif dalam mempercepat implementasi kehadiran Indonesia-Australia Comprehensive Economy Partnership Agreement (IA-CEPA), yang sudah disepakati.

Diperlukan program-program yang menyentuh usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat kedua negara. Selain itu IA-CEPA membutuhkan kehadiran “penyuluh” yang paham dan mengerti karaktersitik bisnis dari masing-masing negara. Hal tersebut terjawab dengan kehadiran IA-CEPA Katalis, sebuah lembaga yang diharapkan mampu menjadi “penjemput bola” dalam implementasi IA-CEPA ini. Sangat sayang jika kesepakatan IA-CEPA tidak dimaksimalkan dalam bentuk realisasi potensi ekonomi Australia dan Indonesia. Saya percaya bahwa hubungan ekonomi Australia-Indonesia harus selalu dalam posisi istimewa, dan tidak boleh nyaman dengan keadaan yang “biasa-biasa saja.

Australia Update 2021 juga menghadirkan sesi sosio kultural dan diaspora, dan sesi ini menjadi sesi yang banyak melibatkan publik, Dr. Sharyn Graham Davies dari Monash University memaparkan begitu banyak potensi program kerjasama dan beasiswa yang dapat diikuti oleh masyarakat Australia-Indonesia. Sharyn yang juga merupakan direkur di Herbfeith Monash percaya bahwa kerjasama Pendidikan akan menjaga level persaudaraan Australia-Indonesia.

Begitu banyak potensi penelitian dan kerjasama tingkat universitas yang dapat dijalankan dengan berkelanjutan, salah satunya menyangkut pemahaman budaya kedua negara, yang tentu akan memberikan pemahaman terhadap perbedaan yang ada antara Australia dan Indonesia. Paparan oleh Sharyn ini dipertajam oleh Dr. Erna Ermawati Chotim dengan mengusulkan kerjasama menyeluruh di bidang lingkungan dan kesehatan, yang disertai dengan penelitian publikasi dari hulu ke hilir. Ide ini tentu sangat relevan sebagai jawaban terhadap kebutuhan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang diperlukan dalam rangka mencegah perluasan Pandemi Covid 19.

Sesi diaspora merupakan sesi yang baru hadir dalam perhelatan Australia Update kali ke 3 ini. Dibuka oleh Prof David Reeve (UNSW), Sesi ini menjadi sesi narasi dan diskusi dari orang-orang Indonesia yang berkiprah di Australia. Tentu menjadi kebanggaan tersendiri melihat sosok-sosok seperti Ivan Tandyo (Novanti Holding), Alicia Martino (Sendok Garpu Resto), Sulistyawan Wibisono (consultant), dan Tita K. Widya (nurse), yang mampu menaklukan proses panjang dalam kiprah usaha dan karirnya di Australia. Jumlah diaspora Indonesia di Australia tercatat cukup besar, dan tersebar di seluruh wilayah Australia.

Kehadiran diaspora merupakan aset bangsa yang tentu mampu menjadi “diplomat bangsa” dalam meningkatkan peran serta Indonesia di dunia internasional. Dalam analisanya, Professor Reeve menilai saat ini diaspora Indonesia tumbuh menjadi komunitas yang lebih terstruktur dan terorganisisr, terutama setelah periode 2000an. Hal ini menjadikan komunitas diaspora Indonesia menjadi magnet bagi berbagai kekuatan strategis di Indonesia.

Professor Reeve yang juga banyak meneliti dan membahas tentang Indonesia berharap dispora Indonesia mampu berdiri secara objektif dan tidak menjadi alat kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Harapan Professor yang sering saya sapa dengan panggilan “opa” ini tentu merepresentasikan keinginan dari banyak masyarakat Indonesia.

Perhelatan Australia Update 2021 sendiri merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh KBRI di Canberra serta mendapat dukungan dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan tahun ini merupakan tahun ke 3 penyelenggaraan acara tersebut. Penunjukan Pusat Studi Australia UNAS (CFAS UNAS), menjadi host merupakan kepercayaan yang membanggakan bagi CFAS UNAS yang baru berdiri selama beberapa bulan ini. Kejelian rekan-rekan di KBRI Canberra di bawah komando Bapak Kristiarto Soeryo Legowo patut untuk diacungi jempol.

Kehadiran Australia Update saya rasa merupakan keberhasilan diplomasi Pak Dubes dan teman-teman KBRI guna merealisasikan hubungan Australia-Indonesia yang lebih baik. Pada sisi lain, kegiatan yang melibatkan kampus di Indonesia sebagai tuan rumah ini tentu sangat potensial gunan melahirkan pusat-pusat studi Australia di kampus-kampus Indonesia. Tentu saja kehadiran pusat studi Australia di Indonesia sangatlah penting, apalagi jika dibandingkan dengan banyaknya studi tentang Indonesia di Australia, jadi sungguh sangat baik apabila ada keseimbangan pusat studi Australia dan pusat studi Indonesia di masing-masing negara ini.

Bagaimana Karakteristik Hubungan Australia-Indonesia Ke Depan?

Pandemi Covid 19 pada tahun 2022 diperkirakan masih mendominasi isu internasional, selain tentunya isu-isu hangat yang terus berdinamika seperti persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok. Isu-isu kawasan regional di bidang ekonomi, politik, pertahanan keamanan juga tampak terus bergejolak, baik itu di kawasan Asia Tenggara, Eropa, Afrika, dan Amerika Tengah. Secara tidak langsung ini akan memberikan dampak bagi hubungan Australia-Indonesia. Namun di tengah itu semua, saya yakin bahwa kedewasaan kenegaraan akan mampu menjembatani Australia-Indonesia untuk menjadi penyejuk terhadap berbagai konstelasi internasional yang terjadi.

Pertemuan antara PM Scott Morrison dan Presiden Joko Widodo di sela KTT G20 di Italia melahirkan dorongan agar di tahun 2022 intensitas bilateral Australia dan Indonesia dapat meningkat. PM Scott Morrison mendukung pembahasan mendalam tentang energi dan perubahan iklim, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Australia berkomitmen untuk mendukung pendanaan dan investasi terkait transisi energi dan peningkatan tekhnologi yang ramah iklim.

Australia dan Indonesia juga sepakat untuk membuka kembali pintu kedatangan masing-masing warga negara untuk mengunjungi Australia dan Indonesia. Khusus Indonesia, Australia akan kembali membuka pintu di wilayah New South Wales dan Victoria. Selain itu Australia juga berharap pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Australia dapat segera datang dan melakukan pertemuan tatap muka kembali.

Dalam KTT G20 di Italia, tidak semua pemimpin pemerintahan atau pemimpin negara yang diajak oleh Presiden Jokowi untuk melakukan pertemuan bilateral. Pertemuan  khusus dengan PM Scott Morrison kembali mempertegas komitmen kedua belah pimpinan untuk selalu menjaga dan meningkatkan intensitas yang tinggi. Apalagi di tahun 2022 Indonesia resmi menjadi tuan rumah pertemuan G20, tentu kesempatan ini dapat digunakan Indonesia untuk mengajak Australia dalam memaksimalkan realisasi berbagai kebijakan negara-negara G20 terutama untuk kawasan Asia Tenggara dan Oceania.

Dalam tahun-tahun terakhir, kesepakatan IA-CEPA dapat dikatakan sebagai sebuah pencapaian yang luar biasa yang disepakati Australia-Indonesia. Setidaknya butuh bertahun-tahun sebelum kerjasama ini disetujui dan dijalankan oleh kedua negara. Namun secara jujur harus diakui bahwa setelah satu tahun pelaksanaan IA-CEPA, pemanfaatan yang lahir dapat dikatakan belum terealisasi secara maksimal.

Keberadaan Pandemi Covid 19 tidak terbatahkan menjadi faktor penghambat yang paling mendominasi, karena secara langsung membatasi berbagai potensi penjajakan yang bisa dilakukan. Menurut keterangan Pers Direktur Perundingan Bilateral, Ni Made Marthini, dalam Joint Committee satu tahun evaluasi IA-CEPA (29/8), angka perdagangan Australia-Indonesia turun sekitar 8,8%  jika dibandingkan pada tahun 2020 yang mencapai angka 7,1 miliar US Dollar. Penurunan juga terjadi di bidang jasa dan pariwisata sebagai akibat pintu perbatasan masing-masing negara yang masih ditutup.

Penurunan pada bidang perdagangan di sisi lain berbanding terbalik dengan angka investasi Australia di Indonesia, pada bidang bidang ini mulai terlihat pengaruh positif keberadaan IA-CEPA yang berhasil mendorong angka investasi dengan nilai 348,5 juta US Dollar dengan 1.562 pekerjaan di beragam sektor seperti pertambangan, industr mesin, elektronik, tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Bidang-bidang yang tak kalah diminati oleh investor-investor Australia ada di sektor Pendidikan dan kesehatan.

Realisasi di bidang Pendidikan ditandai dengan pembukaan Monash University Indonesia, yang menjadi cabang universitas Australia pertama di Indonesia. Ni Made Marthini selanjutnya mengemukakan bahwa ke depan implementasi IA-CEPA akan semakin intensif terutama setelah dibentuk IA-CEPA Katalis, yang akan menghimpun berbagai aspek potensial dalam kesepakatan tersebut.

Potensi baik di bidang perekonomian antara Australia-Indonesia ini diharapkan akan memberikan efek positif bagi bidang-bidang yang lain, termasuk politik kawasan dan pertahanan keamanan. Politik kawasan harus mendapatkan perhatian dalam hubungan Australia-Indonesia. Beberapa riak kecil yang ada tentu dapat membesar apabila tidak disikapi secara bijak. Contoh-contoh diantaranya adalah apa yang sedang terjadi di Myanmar pasca kudeta militer, konflik laut China Selatan, beberapa sikap negara pasifik terhadap kedaulatan Indonesia, serta politik diplomasi vaksin yang harus menggambarkan keadilan global.

Pada sisi lain, bidang pertahanan keamanan yang sebetulnya turut beririsan dengan isu politik juga harus dilihat sebagai sebuah potensi bersama dan bukan ancaman. Potensi bersama tersebut sungguh akan tercipta jika Australia dan Indonesia saling menghormati kerangka kedaulatan masing-masing negara, dan dapat bertindak objektif dalam menilai serta menyelesaikan permasalah yang sedang terjadi di dunia internasional. Pada titik ini, kehadiran AUKUS sudah sepatutnya mampu memberikan aroma perdamaian dan stabilitas, dan tidak menjadi kekuatan yang akan melahirkan persaingan pada perebutan kawasan maupun ideologi serta kepentingan-kepentingan yang menyertainya. Jika hal tersebut mampu Australia lakukan, saya yakin Indonesia dengan tangan terbuka akan dengan senang hati menjadi mitra strategis untuk AUKUS.

Sebagai individu yang dalam lebih dari 10 tahun terakhir menekuni konteks hubungan Australia-Indonesia, saya yakin dan optimis ke depan adalah era bagi Australia dan Indonesia untuk bertindak sebagai penyeimbang kekuatan dunia, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Australia dan Indonesia memiliki modal kuat untuk itu, dan hal tersebut harus dirangkai dalam kebijakan-kebijakan yang bersifat objektif dan membangun.

Belajar dari apa yang sudah disampaikan oleh mentor-mentor saya seperti Kresno Brahmantyo, David Reeve, Richard Chauvel, dan Wardinigsih, yang selalu humanis dalam menyampaikan hubungan Australia-Indonesia, maka pada titik ini pembangunan hubungan antar masyarakat kedua negara menjadi kunci yang sangat penting dan tidak boleh terabaikan. Pengenalan mengenai Australia dan Indonesia oleh pengampu masing-masing negara akan mempercepat rasa saling mengerti dan memahami antara masyarakat Australia-Indonesia.

Tingkat perguruan tinggi seharunya merupakan tingkat lanjutan dalam memberikan tataran pemahaman tersebut, dan pengenalan lebih awal dapat dilakukan di tingkat pendidikan dasar dan menengah melalui program bahasa, pertukaran pelajar, pertukaran mahasiswa, pertukaran dosen, yang ditambah dengan ketersambungan pada konsep penelitian dan publikasi yang dilakukan secara menyeluruh oleh unsur-unsur yang berasal dari Australia dan Indonesia. Hal ini harus terus dilakukan, ditingkatkan, dan tidak boleh terputus. Penyebaran pun sedapat mungkin menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan semua wilayah Australia.

Pendekatan humanis tidak akan cukup apabila disepakati dan dilakukan hanya pada tataran pemerintahan. Peran serta publik diyakini akan mampu mengangkat beragam potensi kedua negara yang sungguh sangat besar dan strategis. Pemahaman yang mendalam antara masyarakat Australia dan Indonesia akan menjadi tembok penghalang kesalahpahaman Australia-Indonesia yang bisa saja terjadi di masa-masa mendatang. Sebagai penutup, saya teringat sebuah diskusi dengan Kevin Evans (Indonesia Director/Australia-Indonesia Centre) di pertengahan tahun ini.

Ketika momen tersebut Kevin bertanya mengapa harus ada pusat studi Australia di Indonesia? Disertai dengan percakapan persahabatan, saya menjawab.. “ mari kita balik pertanyaan tersebut, dengan berbagai macam potensi, sebagai dua negara terbesar di kawasan, sebagai dua negara yang saling berbatasan langsung darat, laut, dan udara, bukankah hubungan baik Australia-Indonesia akan menjadi jaminan bagi stabilitas kawasan yang lebih besar? So, tidak ada bantahan yang dapat diiyakan untuk tidak melahirkan pusat studi Australia di kampus-kampus di Indonesia.. dan Kevin pun tersenyum…”

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang IklanCalon Bupati Luwu 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *