SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengapresiasi keputusan pemerintah mencabut sejumlah izin pertambangan.
Diktetahu, pemerintah mencabut 2078 izin pertambangan, 192 izin di sektor kehutanan dan 137 izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Namun, menurut WALHI hal yang paling penting selanjutnya adalah bagaimana proses ini menjadi momentum untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi antara rakyat dan perusahaan baik milik negara maupun swasta.
Agar pencabutan izin ini dapat menjadi resolusi konflik, maka yang pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah membuka informasi terkait perusahaan-perusahaan apa serta di mana saja yang telah dicabut.
Untuk mengetahui mana-mana saja perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat, sehingga selanjutnya tanah-tanah tersebut dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai bentuk Pemulihan terhadap hak Rakyat yang selama ini dirampas oleh Negara melalui skema Perizinan.
Selain langkah untuk menyelesaikan konflik agraria, pencabutan ini tidak boleh serta merta menghilangkan tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkannya, merujuk pada pertanggungjawaban mutlak, baik terhadap kerugian kerusakan lingkungan hidup yang timbul ataupun upaya pemulihan lingkungan hidup.
“Izin-izin di sektor kehutanan misalnya, pemerintah harus memastikan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemulihan ekosistem hutan dengan mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Jika perusahaan sektor kehutanan tersebut selama ini berkonflik dengan rakyat, maka negara harus memastikan pengakuan serta pengembalian wilayah Kelola rakyat tersebut kepada rakyat” tutur Uli, pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI.
Dia juga menambahkan, selain izin-izin di sektor kehutanan, izin HGU perkebunan yang telah dicabut, jika izin tersebut adalah izin yang selama ini berkonflik dengan rakyat harus dikembalikan kepada rakyat. Jika konsesi izin tersebut berada di Kawasan penting dan genting maka harus dipulihkan.
Tri Jambore, Pengkampanye Tambang dan Energi, menyampaikan terkait pencabutan izin tambang yang tidak pernah menyampaikan rencana kerja, di mana izin yang sudah bertahun-tahun telah diberikan tetapi tidak dikerjakan.
Hal ini sebenarnya hal yang telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2020. Sebagai langkah perbaikan secara administratif, ini adalah langkah baik awal untuk menata pertambangan mineral dan batubara.
Tanpa sikap tegas seperti ini, justru pemerintah akan dihadapkan pada pengelolaan tambang yang bahkan belum tentu akan memberikan manfaat optimal sesuai amanah undang-undang.
“Pemerintah seharusnya juga menegakkan regulasi secara komprehensif. Kewajiban pemegang izin pertambangan di antaranya juga adalah menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan juga menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah,” ungkapnya.
Sehingga selanjutnya, evaluasi terhadap izin pertambangan yang ada juga diharapkan menyasar kepatuhan pemegang izin terhadap kewajiban terhadap lingkungan ini, karena jika tidak ada jaminan, maka perbaikan lingkungan wilayah operasi pertambangan akan terabaikan.
Lebih lanjut, pemerintah juga tidak hanya melakukan evaluasi izin usaha pertambangan berbasis pada aspek administratif semata.
“Namun juga mempertimbangkan kapasitas daya dukung dan daya tampung wilayah selaras dengan kesesuaian tata ruang serta kerawanan bencana akibat aktivitas pengubahan bentang lahan dalam pertambangan” kata Tri Jambore.
Parid Ridwan, Pengkampanye Pesisir dan Pulau-Pulau kecil Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, Pemerintah harus memastikan telah mencabut seluruh IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini telah terbukti melanggengkan krisis sosial-ekologis serta memicu konflik dengan masyarakat.
Berdasarkan data tahun 2018 lalu, tercatat sebanyak 1895 IUP berada di kawasan pesisir yang tersebar di 23 Provinsi di Indonesia dan berdampak pada lebih dari 35 ribu keluarga nelayan serta 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya tercemar limbah pertambangan. Lalu pada tahun 2019, tercatat 164 konsesi pertambangan mineral dan batu bara yang terdapat di di 55 pulau kecil.
“Keberadaan tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akan mempercepat krisis ekologis dan kehancuran kehidupan masyarakat di dua kawasan penting ini, setelah sebelumnya hancur oleh dampak buruk krisis iklim.”
Sebagai penutup, Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif WALHI mengatakan, mengingat pencabutan izin sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden pada hari ini (06/01) adalah langkah Pemerintah untuk terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam.
Sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap perizinan pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan maka, Presiden sebaiknya melakukan kegiatan evaluasi dan pencabutan izin ini dapat dilakukan secara terus menerus dan berkala dengan indikator tidak hanya sebatas karena wilayah izin yang tidak aktif atau tidak dikelola oleh pemilik izin.
Namun juga izin yang berkonflik dengan masyarakat dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup serta bencana Ekologis. Presiden juga harus memastikan kepada Kementerian yang terkait untuk tidak menerbitkan dan melelang izin baru di wilayah izin yang telah dicabut.
“Sehingga tujuan untuk memperbaiki tata kelola terkait Sumber daya alam dan lingkungan hidup yang baik dapat terwujud,” tutupnya.
(*/rls)