OLEH: LA YUSRIE (PENULIS DAN BUDAYAWAN)
SUARAPANTAU.COM, BAUBAU-DAHULU, 5000 pasukan Gowa ditawan oleh C.J. Speellman, digiring dengan kasar sebagai pesakitan pada sebuah pulau kecil di muka Baubau, dinamai Liwuto pulau kecil itu.
Di Pulau yang disebut Belanda sebagai “Makassar Kerkhoof” atau kuburan orang Makasar itu, 5000 tawanan dengan sebagian besar terluka parah dibiarkan sekarat dan kelaparan, tiada diberi makan dan minum oleh Speellman.
La Simbata Aidil Rakhiim, sultan Buton ke-10 di masa itu (1664–1669) menerima berita yang memiriskan itu.
Ketika Speellman dan Kapitan Jonker meninggalkan Buton, berlayar ke Maluku, segera ia mendatangi pulau kecil yang telah menjadi penjara raksasa itu, tangisnya pecah mendapati penderitaan para tawanan yang adalah musuhnya itu telah dilihatnya tak lagi manusiawi.
Begitu ia pemurahnya bahkan terhadap musuh yang memeranginya, iapun menunjukan respek, empati dan belas kasih. Tidak hanya sebagai manusia, keseimanan sebagai sesama Muslim telah memantiknya untuk juga memberi belas kasih nya.
La Simbata yang pemurah kemudian mengulur tangannya, menggamit juluran tangan-tangan para tawanan yang sebelumnya mengangkat senjata memeranginya, kini bersimpuh lemah tanpa daya, lemas memelas memohon pengampunannya.
Sultan yang mulia itu memerintahkan Sapati Kesultanan Buton La Arafani–Sapati Bhaaluwu agar memberi makan minum dan membebaskan seluruh tawanan dengan tanpa syarat.
La Simbata tak hanya pemurah dan adil dalam gelarnya, ia juga bertabiat serupa dalam lakunya.
Ia telah menunjukan laku perbuatan seorang pemimpin yang benar: bahkan terhadap musuh kita tak boleh kehilangan sikap respek, empati.
Apa yang dilakukannya di pulau yang kemudian sejak itu dinamai pulau Makassar itu begitu melekat dalam ingatan orang-orang Gowa. Sesuatu yang kemudian mengubah banyak hal dalam relasi Gowa–Buton setelahnya.
Stapel mencatat kata-kata pemaafan La Simbata:
“Sudah tiada berdaya semua mereka, sudah tiada kekuatan melawan, atas alasan kemanusiaan dan keseimanan sebagai sesama Muslim, diberi mereka semua pengampunan”
***
KINI, karena Sangkola geger semua orang Buton, lalu dengan gelap mata naik pitamnya, meluapkan amarah dan kedongkolan, sembari melantangkan teriak: terungku secepatnya penghina itu!
Seantero jagad maya hebohnya bukan main, lini masa media sosial dipenuhi semua serapah, menjadi ruang ditumpahkannya sungutan dan omel.
Sabar dulu, orang Buton ini sabar sabar, kuat tabahnya dalam melalui beratnya beban hidup, sejak kapan murah jadi pemarah seperti begini sekarang?
Menjadilah saja pemurah, jangan pemarah. Tabiat dan watak sebenarnya orang Buton adalah pemaaf yang pemurah itu.
Dengan pemurah tidak akan menjadikan kita murahan, sebab bermurah hati pada yang telah dengan sungguh-sungguh mengakui khilafnya itu adalah tanda ketinggian budi dan keluhuran pekerti.
Lagipula anak gadis berkudung itu masih belia umurnya, berpikirnya pendek belaka. Tidak juga ia sampaikan “hinaan” nya itu secara terbuka, tetapi melalui pesan yang kemudian bocor disebar kemana mana.
Mengapa bukan juga pembocornya saja yang menyebarkan itu dilaknat dan dimaki-maki? Penolakan cintanya telah menyebabkannya gelap mata dan lalu membocorkan percakapan yang seharusnya itu menjadi pengetahuan berdua mereka, coba menyeret semua kita orang Buton masuk dalam masalah pelik asmara mereka?
Tapi gadis itu benar-benar harus juga diajari sejarah. Ia tidak tahu, orang-orang Buton telah berdiaspora di negeri-negeri Maluku jauh sebelum lahirnya. Ia tidak tahu telah terjadi marital kawin mawin yang sangat mungkin jangan-jangan dia juga sendiri mengalir darah Buton dalam dagingnya.
Ia tidak tahu begitu dekat pertalian genealogi orang Buton dengan suku-suku pedalaman paling mula di kepulauan Maluku, Sahulau dan negeri gunung sembilan di Pulau Seram, bahkan hingga Salahutu tempat asal marganya sendiri.
Pulau Buton memang lebih banyak batunya daripada tanahnya, batunya juga itu bukan batu biasa, karts keras yang kering dan tandus, kalau kemarau matahari memantul panasnya, hawa menyengat bukan main.
Itulah yang melegamkan kulit kami, ditambahi panas hawa laut, lengkaplah gosongnya. Kami badaki bukan sebab malas mandi, atau tiada bisa menjaga kebersihan, alamlah yang membentuk kami legam begini rupa.
tetapi manusia-manusianya Buton dapat terus hidup dan bertahan, tumbuh tumbuhan terus juga tumbuh
Di sela batu, jagung-jagung kami ditanam dan lalu tumbuh menjadi buah, di cela batu ubi-ubi tumbuh menjalar menjadi umbi, bahan mentah Sangkola yang menjadi makanan pokok kami
Kekerasan alam yang justru membentuk kami dengan kelembutan, mengajari hidup dalam sulitnya hidup, belajar sabar dalam bertahan.
Sebagai orang Buton dikatai Badaki itu tentu saja menghinakan benar-benar, tetapi cara terbaik membalas penghina tidak dengan juga menjadi penghina, bukan dengan juga menghinakannya.
Maafkan, itulah sebenar benar tabiat dan watak orang Buton. Begitu luhurnya leluhur mengajarkan.
Red:Suriadin