Penulis: Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah 2020-2023
PEMIMPIN yang otentik menarik kita jadikan bahan penyelidikan kembali. Pasalnya, demokrasi pada era reformasi sering menampilkan pemimpin yang tidak otentik alias palsu atau imitasi.
Kita sama-sama tahu, jangankan pemimpin, barang saja kalau imitasi atau “KW” istilah sekarang pasti tidak dapat kita andalkan. Apalagi manusia yang jadi pemimpin. Terbayang bukan!
Lebih jauh hanya pemimpin otentik yang sedia menjadi pemimpin sejati, yang siap untuk “Leiden is Lijden” yakni, memimpin itu menderita. Sebab ia punya sistem kesadaran, visi sekaligus kemauan untuk berjuang.
Tetapi, ketika memang ketika jiwanya tidak otentik, maka jangankan aturan, sumpahnya sendiri yang ia ucapkan atas nama Tuhan pun tidak mampu mencegah untuk bertindak destruktif bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpinnya.
Kritik Partai Politik
Sekarang mari kita lihat, dalam demokrasi, katakanlah pemilu, pemimpin disajikan oleh partai politik untuk rakyat memilih jadi presiden. Tetapi, dalam banyak sisi, partai politik justru yang kerap gagal menampilkan kepemimpinan yang otentik.
Belum lagi kalau melihat pada kondisi sebagian partai politik, termasuk sebagian partai politik Islam, soal pemimpin saja mereka masih baku rebut, baku sikut dan baku angkut. Bagaimana dalam kondisi partai politik yang begitu akan lahir pemimpin yang otentik.
Belum lagi kalau melihat pada kondisi sebagian partai politik, termasuk sebagian partai politik Islam, soal pemimpin saja mereka masih baku rebut, baku sikut dan baku angkut. Bagaimana dalam kondisi partai politik yang begitu akan lahir pemimpin yang otentik.
Ibarat orang mau menuju Jakarta dari Bogor, ia bukan menempuh jalan tercepat dan terbaik, malah semakin menjauh dan menjauh.
Nalar Kritis
Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang bisa kita lakukan selain dari benar-benar menghidupkan nalar kritis. Terlebih sekarang banyak ketua umum partai politik mulai cari panggung, tebar pesona dan memoles dirinya yang tidak otentik.
Bahkan tidak cukup itu, ada lembaga-lembaga survey yang mengabarkan hasil risetnya bahwa calon A, baik, calob B, naik, dan seterusnya. Biarlah itu tampil di media, tetapi kita tetap harus menimbangnya dengan nalar kritis.
Bagaimana nalar kritis itu? Kita lakukan dengan cara paling sederhana saja, yakni membandingkan sepak terjangnya selama ini dengan ucapan-ucapannya sekarang.
Kalau memang konsisten, bisa kita cermati lebih jauh. Tetapi kalau inkonsisten, segera abaikan orang yang untuk bisa sama antara kata dan laku saja sulit.
Pemimpin yang otentik tidak lahir dari zona nyaman, enak, tenang dan suka inkonsisten. Pemimpin yang otentik selalu siap bertanggungjawab dan memperjuangkan ide dan gagasan penting untuk kesejahteraan rakyat.
Pemimpin yang otentik biasanya punya kekuatan moral yang andal, cerdas secara intelektual dan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Dalam kata lain, pemimpin otentik ialah seseorang yang mau dan mampu jujur pada dirinya sendiri dan pengikutnya terkait nilai apa yang hendak dibawa agar dapat bekerja sama secara maksimal. Ia tidak tunduk kecuali pada kebenaran, kata Muhammad Iqbal dalam satu bait puisinya.
Adakah pemimpin seperti itu sekarang? Itulah yang harus ktia cari, ktia temukan dan ktia dukung. Agar Indonesia kembali pada keadaan maju dan jaya, progresif-beradab.
(***)