SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) menggelar diskusi publik dampak hukum dan sosial hadirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kegiatan bekerjasama dengan Barisan Nusantara diselenggarakan di Jakarta Timur, Rabu 14 September 2022.
Hadir sebagai narasumber Andi Warnerin Syaputra yang juga merupakan advokat dan aktivis senior.
Andi Warnerin Syaputra membedah sejumlah pasal UU ITE berpotensi menjadi pasal karet yang memiliki konsekuensi hukum terhadap aktivitas publik di era digital saat ini.
“Sejumlah pasal di UU ITE dapat menjerat pengguna internet atau piranti online,” tuturnya.
Pasal 27 ayat (3) di Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebut sebagai ‘pasal karet’.
Lebih lanjut, Andi Warnerin menyampaikan, Pasal 27 ayat (3) UU ITE didalamnya melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Menurutnya, UU ITE banyak menjerat masyarakat atau netizen dalam menggunakan media sosial.
Namun, hal berbeda dengan jurnalis melansir berita untuk kepentingan umum melalui jaringan internet.
Meskipun demikian, kata Andi, jurnalis dituntut harus profesional dan bertugas sesuai dengan kode etik.
” Masuk internet banyak kriminal yang kita ketahui banyak transaksi bebas. Kalau dulu ada yang meminta pulsa sekian. Bertapa masif-nya internet, perlu dilakukan regulasi UU ITE kehadirannya terkesan terburu-buru seperti KUHP,” jelas Andi yang bergelut di bidang hukum, Rabu (14/9/2022).
Turut di paparkan oleh Andi tentang perbedaan UU ITE dengan KUHP disela-sela diskusi dengan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) dan Barisan Nusantara (BN) di Jakarta.
Ia menambahkan, Pasal penghinaan kepala negara telah melalui proses moratorium di Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 134 terkait penghinaan kepala negara dibatalkan di MK. Berbeda dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, justru menyasar terhadap para aktivis.
Pasal ini berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Selain itu, internet saat ini banyak dimanfaatkan untuk komersial yakni dalam bentuk bisnis online.
Kini, para produsen memanfaatkan sarana elektronik untuk memasarkan produk dan langkah tersebut dianggap lebih efektif. Apalagi, transaksi apapun saat ini menggunakan sistem online.
Untuk saat ini, mulai dari pemasaran hingga jasa ojek online semua melalui sarana elektronik. Andi mengungkapkan perkembangan teknologi dan informasi melalui internet dinilai sangat dahsyat.
“Setelah diterbitkan Undang-Undang ITE Pasal 27, 28 menyoal pelaku usaha sengaja tanpa hak memberitakan bohong kerugian konsumen melalui elektronik. Kita dulu belanja di supermarket harga sama dengan di barcode,” kata Andi sebagai narasumber.
Beberapa penanggap, peserta dari Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) dalam kesempatan tersebut, berharap agar dimasa depan keberadaan UU ITE ini tidak lagi diterapkan dengan semena-mena, apalagi untuk membungkam lawan-lawan politik yang bersebrangan.
(*/red)