SAAT berita viral dan manusia sibuk berdebat, hukum kehidupan tidak pernah berubah. Tetap, yang akan abadi hanyalah yang berguna bagi manusia.
Itulah yang Haji Agus Salim ungkapkan dan direkam dengan sangat baik oleh AR Baswedan.
“Buih akhirnya diterbangkan angin, dan hanya orang yang berguna bagi manusia itulah yang akan tinggal abadi.”
Lihatlah dalam Alquran, dari Nabi Adam hingga sekarang. Nama yang dikenal kebaikannya bisa kita hitung dengan jari.
Nabi dan Rasul ada 25 orang. Ulama dan saintis Muslim pun demikian, tidak sampai jutaan orang.
Lalu kemana nama para raja, pengusaha, hartawan. Jika mereka tidak ada berarti mereka tidak banyak berguna bagi kehidupan manusia.
Pesan Alquran
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 17).
Dalam Tafsir Al-Muyassar, buih itu adalah simbol dari kebatilan (ketidakbenaran). Ia akan menjadi sesuatu yang menghebohkan, kemudian megnuap dan orang campakkan. Sama sekali tidak ada manfaat.
Sedangkan kebenaran itu seperti air murni dan logam-logam mulia yang manusia butuhkan. Jadi, kalau ingin hidup yang memiliki manfaat abadi, jadilah orang yang menghadirkan kebaikan-kebaikan bagi seluas umat manusia.
Manusia memang memiliki perut, tetapi saat yang sama manusia juga memiliki akal dan hati nurani. Siapa mengutamakan akal dan hati nurani, perutnya tidak akan kosong bahkan selamat dari makanan haram yang melemahkan akal dan hati nurani.
Cerdas
Bagaimana agar diri menjadi abadi kebaikan dan manfaatnya? Tidak ada jalan lain. Kecuali menjadi manusia yang cerdas.
Seperti kata Nabi SAW, manusia yang cerdas itu yang jangkauan pikirannya bukan sebatas uang dan jabatan atau pengaruh, tetapi lebih jauh adalah masa depannya kala telah meninggalkan dunia.
Oleh karena itu orang cerdas tidak akan terjebak oleh keindahan semu yang membakar hasrat hawa nafsu.
Orang yang cerdas akan mempertimbangkan setiap keputusannya benar-benar secara matang. Bukan semata soal untung hari ini dan esok. Tetapi apakah benar keuntungan yang diperoleh akan membawa berkah atau musibah.
Koruptor mungkin senang dan merasa beruntung kala korupsi. Tetapi apakah ia masih akan merasa demikian kala KPK menyeretnya ke penjara?
Hidup memang bukan sebatas tentang ego, hawa nafsu dan gengsi. Lebih jauh adalah kesadaran diri akan status hakiki setiap manusia, yakni hamba dan khalifah-Nya di muka bumi.(**)