Saudaraku, ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras.
Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih, dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran.
Biji emas yang belum diolah sama dgn debu di tempatnya. Maka ketika org berangkat dan bekerja, dia akan mulia seperti bernilainya emas.” Demikian Imam Syafi’i memberi nasihat ttg pentingnya etos kerja.
Karena etos kerja itu erat kaitannya dgn situasi kerohanian, pantaslah dipertanyakan apa yang terjadi dgn jiwa keagamaan kita.
Mengapa dalam masyarakat yang dilukiskan bercorak religius, produktivitas rendah, etika sosial lembek, sedang korupsi merajalela?
Ajaran moral Al-Qur’an sesungguhnya memancarkan etos kerja positif. Tak kurang dr 50 kali Qur’an memuat kata kerja aqala (akal-pikiran).
Diingatkan pula, ”tiadalah sesuatu bg manusia, melainkan sesuai dgn apa yang dikerjakannya” (QS 52: 36-42). ”Setiap orang bekerja sesuai dgn bakatnya” (QS 17: 84). ”Dan jika engkau berwaktu luang, maka bekerjalah” (QS 94: 7).
Hubungan positif antara jiwa keagamaan dgn etos kerja perekonomian jg bisa dilihat jejaknya dalam Islam klasik Nusantara. Islam masuk kepulauan ini melalui jalur dagang.