“Ada keinginan menetapkan Anies menjadi tersangka sebelum partai politik mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden 2024”
LAPORAN Koran Tempo tentang manuver Ketua KPK Firli Bahuri menjegal Anies Baswedan bukan perkara sepele. Ini skandal besar. Skandal dimana institusi penegakan negara hukum negara merusak tatanan pelaksanaan demokrasi terbesar di Indonesia.
Ketua KPK tidak hanya menjegal Anies, tetapi menjegal demokrasi Indonesia. Maka Presiden tidak boleh diam, atas tiga pertimbangan utama.
Pertama, diamnya Presiden sama artinya pembiaran terhadap penjegalan demokrasi.
Diamnya Presiden juga berarti pembiaran terhadap lembaga penegak hukum negara yang secara menjijikkan cawe-cawe dalam politik.
Dan diamnya presiden adalah pembiaran terhadap perampasan hak warga negara untuk dipilih dan memilih oleh institusi formal negara.
Kedua, secara hierarkis KPK berada di bawah Presiden. Perubahan UU KPK yang digagas di Rezim Presiden Joko Widodo telah merubah warna KPK.
“KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,” begitu bunyi UU No. 19/2019 tentang KPK.
Bagaimana mungkin KPK independen terhadap kepentingan politik eksekutif bila KPK dinyatakan berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif? Relasi kuasa yang tegak lurus dengan presiden cenderung membuka ruang tunduknya KPK kepada presiden.
Maka, publik mungkin bertanya-tanya, apakah penjegalan Anies atas inisiatif mandiri Ketua KPK? Atau, apakah penjegalan Anies tidak ada kaitannya dengan celah ruang tunduk KPK kepada presiden?
Pertanyaan itu sekaligus menajadi pertimbangan ketiga yang menuntut presiden tidak boleh diam. Masyarakat harus diyakinkan bahwa presiden bekerja ekstra keras mencegah kerusakan di bumi Indonesia.