Penulis: Imam Nawawi (masimamnawawi.com)
Ketika membaca lembaran demi lembaran buku tentang sejarah, bahkan sejarah politik Indonesia, setidaknya pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, yang kemudian menghasilkan diksi politik identitas, kita patut bertanya, apakah itu bentuk kemajuan atau kemalasan berpikir.
Saya menduga itu adalah bentuk dari kemalasan berpikir. Mengapa?
Pertama, diksi politik identitas sebenarnya cukup problematis, mengingat tak ada orang hidup tanpa identitas, sudahlah begitu adanya dalam hal politik.
Kedua, jika spektrum politik identitas adalah Islam, maka ini lebih bersifat tuduhan belaka. Mengignat Islam adalah ajaran, jalan hidup, sekaligus peradaban.
Meletakkan Islam sebagai biang dari kerumitan tatanan sosial masyarakat, bentuk ketidakseriusan seseorang dalam berpikir. Termasuk menuduh Islam melahirkan kelompok intoleran, itu juga sama.
Sebab jika ada orang beragama Islam dan ia intoleran, sesungguhnya orang itulah yang dengan kapasitas berpikirnya belum memadai memahami ajaran Islam, sehingga salah arah dalam memanivestasikannya.
Ketiga, politik memang secara umum berbicara tentang perbedaan bahkan perdebatan. Tinggal sekarang nalar publik mengarah pada satu titik, mana yang bisa memberikan bukti dari janji yang terucap.
Dalam Alquran pun Tuhan menjelaskan bahwa sangat buruk perilaku orang yang mengatakan (mengajak pada kebaikan) sedangkan ia malah meninggalkannya.
“Kaburo maqtan” itu istilah dalam Alquran menyebut orang yang pandai berkata namun gagap dalam perbuatan.