Artinya, masih ada pendahuluan yang nalar siapapun harus berupaya paham, agar tidak salah dalam memandang Islam, kemudian mengatakan apa pun yang tak sesuai selera dan kepentingannya sebagai politik identitas.
Analisis Satrio Wahono
Saya melihat ada analisis perlu kita cermati dari seorang Satrio Wahono. Ia adalah sosiolog dan magister filsafat UI yang menulis artikel opini di Tempo (18/4/23).
Ia menegaskan bahwa politik identitas, termasuk yang berbasis identitas keagamaan, sebenarnya juga memiliki hak yang sama dengan aspirasi politik sekularis dalam berkontribusi pada masalah-masalah publik dan politik.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana pihak yang disebut pelaku politik identitas terampil dalam mengartikulasikan aspirasi terbaiknya dalam bahasa publik yang mudah untuk semua pihak memahami.
Jadi, tidak mutlak bahwa politik identitas pasti buruk. Sebaliknya politik sekuler pasti terbaik.
Saya tegaskan sebelum ini bahwa politik harus kita lihat sebagai medan para pemimpin memberi bukti atas janji-janji. Bukan argumentasi atas ketidakmampuan dan kemalasan.
Konsentrasi
Memperhatikan hal tersebut maka umat Islam, utamanya kaum muda harus memasang konsentrasi tinggi.
Bagaimana aspirasi Islam dapat kita tampilkan sebagai solusi yang itu kita rasakan dalam hati, sehingga cara berpikir dan interaksi kita memang mengarah pada maslahat.
Ketika kaum muda Islam, memahami politik sebagaimana kaum sekuler, maka ini yang menjadikan poltiik tampak sebagai wajah jahat dalam pandangan masyarakat.
Karena ternyata semua politisi dan partai sama saja. Mereka sama-sama berburu uang dan jabatan.
Memang tidak bisa kita pungkiri, politik atau partai politik pasti memerlukan itu semua, tetapi setidaknya cara yang jadi pilihan tidak mengesampingkan ilmu, nurani, apalagi iman.