Sejarah dan Eksistensi Angkutan Dokar Tergilas Oleh Zaman

Sejarah dan Eksistensi Angkutan Dokar Tergilas Oleh Zaman

SUARAPANTAU.COM – Sejarah dan Eksistensi Angkutan Dokar di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah memiliki banyak pergeseran seiring dengan perjalanan waktu.

Ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, banyak sekali perubahan yang dirasakan dalam setiap lini kehidupan termasuk dari sisi budaya.

Perubahan ini membawa kita kedalam lingkar garis perkembangan yang semakin modern. Hal ini tentu semakin memudahkan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Leluhur Orang Kalang di Kendal

Namun, dengan adannya perkembangan ilmu pengetahuan dan juga teknologi terkadang juga kurang menguntungkan bagi sebagian kelompok masyarakat yang masih menggeluti produk masa lampau.

Salah satunya yang dialami oleh para kusir dokar di Kecamatan Boja. Mereka harus tetap bertahan ditengah gempuran alat transportasi modern yang kian hari semakin canggih.

Alasan mereka masih menggeluti profesi ini salah satunya karena merupakan profesi turun temurun dari keluarganya. Sehingga sudah seperti tanggung jawab tersendiri bagi mereka untuk melestarikan moda transportasi tradisional ini.

Jika ditinjau dari segi sejarah, memang moda transportasi dengan memanfaatkan tenaga kuda ini cukup eksis dan menjadi primadona dikalangan masyarakat sebelum posisinya didesak oleh alat transportasi yang lebih modern.

Peran Angkutan Dokar Sebelum Era 1970-an

Pada masa sebelum tahun 1970 an, sebenarnya komunitas dokar sudah mulai dikenal oleh masyarakat Kecamatan Boja, lebih tepatnya. Dalam ruang lingkup Desa Bebengan sebagai sarana transportasi pengangkut barang maupun sebagai moda transportasi pengakses dari desa satu ke desa yang lain.

Hal ini tidak terlepas dari peran Bangsa Eropa dalam pengenalan moda transportasi dengan pemanfaatan tenaga hewan sebagai penggerak utamanya.

Pada masa sebelum tahun 1970 an komunitas dokar masih dianggap sebagai sarana transportasi yang belum diperhatikan keberadaannya dan tak jarang masih dianggap sebagai alat transportasi dengan peminat yang rendah.

Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang berada di Desa Bebengan masih terlampau sedikit dan masih memiliki kecenderungan untuk menanggung semuanya sendiri, dalam artian lebih memilih berjalan kaki atau mengangkut barang sendiri secara sedikit demi sedikit.

Hal ini dilakukan karena pada masa itu pendapatan perkapita yang dimiliki oleh masyarakat Desa Bebengan yang masih relatif rendah. Sehingga menurut pandangan mereka sangat disayangkan jika uang tersebut dialokasikan untuk menyewa dokar, lebih baik uang tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari.

Namun, kondisi ini sangatlah berbeda jika kita gambarkan pada awal tahun 1975 an. Dimana pada tahun tersebut telah terjadi peningkatan angka mobilitas penduduk di Kecamatan Boja.

Hal ini disebabkan oleh masuknya para pendatang baru yang bekerja di sektor perkebunan karet atau hanya sekadar mengaduh nasib di Boja.

Sehingga dengan peningkatan jumlah penduduk ini juga akan mempengaruhi jumlah pengguna moda transportasi dan penyedia jasa transportasi yang semakin meningkat pada masa itu.

Dokar Makin Populer Era 1970-1990

Pada tahun 1975, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kecamatan Boja. Profesi Dokar sangat banyak diminati oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Boja.

Hal ini dikarenakan transportasi dokar masih menjadi transportasi yang mudah diakses dan masih minimnya jenis transportasi lain yang berada di Kecamatan Boja.

“Pas tahun 1975an itu dulu enak jadi kusir dokar. Tiap hari minimal saya dapat 20 penumpang dengan jarak yang berbeda-beda, mbak.” ujar Bapak Kholib selaku kusir dokar tertua dan masih menggeluti profesi ini sampai sekarang.

Pernyataan dari Bapak Kholib ini didukung dengan tuntutan masyarakat yang semakin meningkat dan fungsi dari transportasi dokar yang tidak hanya mengangkut barang – barang saja melainkan juga sebagai transportasi umum bagi masyarakat sekitar.

Sehingga tidak menutup kemungkinan jika minat terhadap penggunaan dokar kian hari semakin meningkat.

“Waktu jaman ada Belanda nya dulu itu jam operasionalnya mulai dari pukul 10.00 sampai 15.00. Tapi pas jayanya itu udah beda jam operasionalnya. Saya dulu bisa mulai pukul 05.00 sampai tengah malam, mbak.” Ujarnya.

Pernyataan ini didukung dengan tuntutan masyarakat yang semakin meningkat dan juga tuntutan penunjang profesi lainnya. Misalnya pada pengangkutan barang – barang pedagang yang ingin berdagang di Pasar Boja yang dilakukan pada waktu pagi buta agar seawal mungkin mereka siap melayani pembeli.

Satu kusir dokar dapat menerima tumpangan sebanyak 20 tumpangan dengan berbagai varian jarak yang ditempuh. Tarif yang dipasang pada masa itu sekitar 10 rupiah.

Tarif tersebut masih dikatakan lumayan pada masa itu, sebab harga kebutuhan pokok pada tahun tersebut juga masih masih relatif murah.

Selain itu, dalam pengoperasiannya tidak ada pembatasan rute jarak yang ditetapkan pada masa itu, bahkan pernah ada yang mengantarkan penumpang sampai ke Desa Kaliwesi yang merupakan Desa diluar Kecamatan Boja.

Dengan pendapatan yang cukup menjanjikan pada masa itu, menjadikan profesi kusir dokar banyak digandrungi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Bebengan, Kecamatan Boja.

Sehingga dengan bertambahnya jumlah para kusir dokar ini menjadikan mereka terkelompok menjadi satu komunitas dokar di Kecamatan Boja.

“Saya bisa nyekolahin anak saya sampai SMEA ya berkat jadi kusir kuda ini, mbak. Apalagi dulu jarang ada yang mampu nyekolahin anaknya sampai SMEA. Tapi alhamdulillah saya mampu, mbak” Ujarnya.

Menurutnya, selain mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, keberhasilan beliau dalam menyekolahkan anaknya sampai bangku SMEA merupakan bukti nyata bahwa profesi dokar cukup menjanjikan pada kisaran tahun 1970an sampai 1990 an.

Pasa era tersebut, sebelum mulai merebaknya jenis moda transportasi modern yang saat ini cukup berhasil menggantikan posisi alat transportasi tradisional.

Penyebab Dokar Mulai Terpinggirkan

Peralihan jenis transportasi ini juga memberikan dampak yang kurang mengenakkan bagi komunitas dokar di Kecamatan Boja.

Pasalnya masyarakat kini sudah mulai beralih dengan menggunakan kendaraan pribadi dan tentunya merupakan jenis transportasi dengan tenaga mesin. Keberadaan Dokar di Kecamatan Boja juga semakin terdesak oleh angkutan modern seperti Bojek (Boja Ojek), Grabb, dan angkutan umum lainnya.

Hal ini dikarenakan anggapan masyarakat yang memandang transportasi dokar sudak tidak efektif lagi, khususnya dalam segi ketepatan waktu.

Bau polusi yang dihasilkan dari kotoran kuda juga menganggu masyarakat juga pemandangan lingkungan, serta bau polusi kandang kuda sangat menyengat sehingga akan mengganggu linkungan.

Hal ini diperparah oleh kondisi lahan kandang yang sempit karena desakan oleh pengembangan perumahan warga sekitar.

“Sekarang udah sepi mbak. Banyak yang punya motor jadi mereka sudah jarang pakai dokar kalau mau pergi kemana-mana. Omsetnya sekarang juga sudah turun.”ujarnya.

Namun, terlepas dari maraknya jenis transportasi komersial, para kusir kuda yang tergabung dalam komunitas dokar di Kecamatan Boja masih eksis hingga sekarang.

Walau peminatnya tidak seramai dulu, tak jarang masyarakat yang memanfaatkan keberadaan dokar tersebut untuk dijadikan sebagai transportasi jalan-jalan mengelilingi indahnya Kecamatan Boja.

Biasanya mereka menunggu penumpang di depan kantor eks kawedanan Boja.

Penulis: : Tiara Fitrianingrum
*Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *