SUARAPANTAU.COM – Proses transisi energi di Indonesia membutuhkan terobosan kebijakan yang sesuai dan mendukung proses transisi energi.
Hal tersebut, ditegaskan dalam keterangan pers Institute for Essential Services Reform (IESR) kepada Suarapantau.com, Jumat 17 Desember 2023.
Dalam keterangannya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai terobosan kebijakan penting untuk transisi energi di 2023 dalam kondisi menggeliat dan dalam persiapan untuk lepas landas, jika pemerintah mampu mendorong penciptaan kondisi pendukungnya.
Baca Juga: IESR Dorong Transformasi Kelistrikan Hentikan Operasional PLTU Batubara
IESR membahas secara komprehensif perkembangan transisi energi dan peluang dalam mempercepat transisi energi di Indonesia pada laporan utamanya Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. Juga mengkaji peluang terobosan kebijakan yang diperlukan kedepan.
Laporan IETO 2024 menemukan bahwa walaupun terdapat target dan komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dan target yang lebih tinggi untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, pasokan energi fossil masih mendominasi.
Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan
Di sektor ketenagalistrikan. jumlah total kapasitas PLTU batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada 2030.
Hal ini akan meningkatkan emisi GRK menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada 2030.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pemerintah harus mau membatasi izin pengembangan PLTU captive setelah 2025.
Baca Juga: IESR: Indonesia Harus Maksimalkan Kolaborasi Antar CSO di ASEAN Akselerasi Transisi Energi
Serta memandatkan pemilik kawasan industri untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan dan menurunkan emisi dari PLTU yang telah beroperasi sesuai dengan target peak emission sektor kelistrikan di 2030 dan net-zero emission di 2060 atau lebih awal..
IETO mencatat tidak terdapat kenaikan yang signifikan untuk kapasitas energi terbarukan dan kontribusi pada bauran energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023 dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.
Fabby menjelaskan agar transisi energi dapat berjalan cepat maka perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh presiden dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal.
Selain itu, ia juga menyoroti lambatnya transisi energi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan politik, kurangnya kapasitas aktor, dan beban kebijakan masa lalu.
Baca Juga: IESR: Indonesia Harus Maksimalkan Kolaborasi Antar CSO di ASEAN Akselerasi Transisi Energi
Untuk itu, ia menekankan perlunya ‘no regret policy’ atau kebijakan yang sudah dipastikan akan memberikan manfaat sosial ekonomi menyeluruh, terlepas dari perubahan yang mungkin terjadi, dan reformasi anggaran publik dan reformasi PLN untuk mempercepat proses transisi energi.
“Indonesia perlu peta jalan yang koheren untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Saat ini baru sektor kelistrikan yang paling banyak kemajuannya, sektor transportasi dan industri masih berada di tahap awal. Pemerintah perlu pula melibatkan masyarakat agar tercipta transisi yang adil. Dengan nilai dan sejarah bangsa Indonesia, transisi energi harusnya dapat dilakukan dengan gotong-royong,” tandasnya.
Komitmen politik pemerintah untuk transisi energi telah mendorong meningkatnya komitmen pendanaan bilateral dan multilateral untuk proyek energi terbarukan. Walaupun demikian, IETO 2024 mencatat target investasi energi terbarukan jauh dari target yang dicanangkan.
Salah satunya dikarenakan rendahnya investasi ini terjadi karena minimnya bankable project dan persepsi risiko investor karena kualitas kebijakan dan regulasi yang belum memenuhi kebutuhan investor dan pelaku usaha.
Baca Juga: IESR Dorong Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia
Namun, ini belum mampu mendongkrak pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023.
Terobosan Kebijakan Dorong Investasi Energi
IESR memandang pelru terobosan kebijakan agar dapat menarik minat investasi, perlu dilakukan tinjauan ulang review atas kebijakan harga tertinggi energi terbarukan di Perpres No. 112/2022 sesuai dengan perkembangan teknologi dan tingkat suku bunga pendanaan.
Selanjutnya, diikuti dan dengan reformasi lainnya untuk mendorong pengembangan proyek energi terbarukan bankable dan menguntungkan bagi investor.
Terobosan kebijakan untuk menarik investor dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur tarif dan memastikan profil risiko-imbalan (risk-reward) yang adil bagi para mitra produsen listrik swasta serta mempertimbangkan skema power wheeling.
Baca Juga: IESR Sambut Baik Terbentuknya Tim Kerja JETP Kembangkan Energi Terbarukan
“Selain kolaborasi yang solid antara PLN, regulator, pengembang proyek, dan pemberi dan, baik itu swasta maupun pemerintah, diperlukan untuk menyiapkan rangkaian proyek yang kokoh dan meningkatkan proyek-proyek yang layak untuk pendanaan,” jelas His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai IESR, yang juga merupakan penulis IETO.
Di sisi transportasi, peningkatan adopsi kendaraan listrik mengalami kenaikan sebesar 2,4 kali lipat untuk sepeda motor listrik pada 2023, dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023.
“Meskipun insentif dan bantuan pemerintah untuk mengadopsi kendaraan listrik bagi publik, akan tetapi ada masalah – masalah lain yang menjadi halangan untuk mengadopsi kendaraan listrik. Misalnya, di sisi kendaraan roda dua ada keterbatasan jarak tempuh, dan keterbatasan performa dibandingkan dengan kendaraan roda dua berbasis BBM,” Faris Adnan Padhilah, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR.
Baca Juga: Mitigasi Risiko Kegagalan Proyek DME dengan Dorong Penggunaan Kompor Listrik Induksi
“Sedangkan di sisi kendaraan roda empat ada harga kendaraan mobil listrik yang lebih tinggi, keterbatasan tipe kendaraan, serta kurang menjamurnya SPKLU,” jelas Faris Adnan Padhilah, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR.
Di lain sisi, pemerintah daerah di Indonesia tengah menghadapi tantangan untuk menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan mengimplementasikannya untuk memenuhi target energi terbarukan.
Adanya peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan.
Namun, salah satu tantangan implementasinya adalah anggaran pemerintah daerah yang terbatas, sehingga perlu diseimbangkan dengan prioritas lainnya.
Selain perluasan kewenangan, pemerintah provinsi juga perlu untuk melakukan perincian peraturan rencana energi daerah ke dalam berbagai instrumen dan skema terukur yang mendukung peningkatan pengembangan energi terbarukan.
“Misalnya prioritas alokasi keuangan daerah untuk energi terbarukan dan aturan spesifik untuk dekarbonisasi berbagai sektor (transportasi dan bangunan) di daerah,” ujar Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.
“Selain itu, dengan sedang berlangsungnya revisi dokumen rencana umum energi nasional (RUEN), pemerintah daerah perlu melakukan pembaruan RUED provinsi ke depannya agar lebih mencerminkan ambisi-ambisi daerah dalam transisi energi dan mengintegrasikan dalam target energi terbarukan yang lebih ambisius,” tutupnya.
(rls)