SUARAPANTAU.COM – Pemerintah China tengah menjajaki pentingnya membangun pangkalan militer di Djibouti.
Segala tindakan yang mencakup bidang ekonomi, politik, militer dan lain sebagainya dalam hubungannya dengan negara lain yang dilakukan oleh suatu negara merupakan cerminan dari kebijakan luar negeri sebuah negara.
Urgensi Pangkalan Militer Djibouti Bagi China
Kebijakan luar negeri China dalam membangun pangkalan militer di Djibouti berkaitan dengan kepentingan nasional dari China dengan ambisi World Leader-nya melalui Belt Road & Initiative yang direncanakan pada tahun 2013.
Hal ini disebabkan oleh Djibouti merupakan negara yang dilalui oleh mega proyek dari China. Guna untuk menjaga stabilitas kawasan dan keamanan sehingga dapat berpengaruh pada aspek internasional.
Baca Juga: Geopolitik Makedonia dan Penolakan Yunani Terkait Aksesi Ke Uni Eropa
Pembangunan pangkalan militer China di Djibouti pada dasarnya merupakan bentuk dari implementasi melindungi kepentingan Cina dalam melindungi warga sipil dan akses dagang dari para perompak di wilayah perairan sekitarnya.
Tidak hanya itu, dengan kondisi ekonomi China yang semakin kuat di ranah global, maka akan menjadikan China menjadi negara yang berpotensi untuk menjadi hegemoni.
Sehingga kebijakan ini selaras dengan keinginan Cina untuk menunjukkan eksistensi hegemoninya di berbagai kawasan, terutama di Afrika.
Baca Juga: Menhan Prabowo Ajak Negara ASEAN Bantu Palestina
Dari pendekatan kebijakan luar negeri China, Teori Kekuatan dimaknai sebagai upaya pengembangan sistem kecerdasan yang direalisasikan dalam sebuah kebijakan melalui Road & Belt Initiative dengan membangun pangkalan militer di Djibouti.
Kebijakan ini bersifat luas secara komersial yang menguntungkan bagi China atas perdagangan global dan menawarkan proyeksi pertumbuhan jangka panjang kepada Djibouti.
Seiring dengan semakin intensifnya momentum ekonomi dengan selesainya proyek tersebut (Maxwell Air University, 2021).
Baca Juga: Korwil III PP GMKI Dukung KTT ASEAN ke-43
Keputusan Tiongkok untuk membangun pangkalan angkatan laut Tentara Pemb2035ebasan Rakyat (PLA) di Djibouti sebagai kekuatan militer dan ekonomi oleh Tiongkok ini disetujui oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2013.
Pangkalan ini dibuka pada tahun 2017 dan meningkatkan pengaruh global Tiongkok dan lebih melindungi kepentingan keamanan negara-negara yang jauh dari pantainya, khususnya di Afrika dan Samudera Hindia (East Asia Forum, 2020).
Dimana dalam meningkatkan kekuatannya dalam bidang keamanan, pendirian pangkalan China di Djibouti, dengan dermaga yang dilaporkan mampu menampung kapal induk dan kapal selam nuklir.
Baca Juga: Heru Budi Hartono Promosikan Pembangunan IKN pada Pertemuan Gubernur dan Walikota se ASEAN
Juga sejalan dengan perjalanan Tiongkok dalam mengkonsolidasikan kehadiran keamanan di seluruh benua (ECFR, 2021).
Dalam memandang pentingnya Djoubuti bagi geopolitik China dapat dilihat dari 2 faktor yaitu faktor geografi dan faktor politiknya.
Dalam faktor geografi, negara kecil Djibouti, yang terletak di Tanduk Afrika, berpenduduk kurang dari 1 juta orang.
Amerika Serikat, Perancis, Tiongkok dan Jepang, di antara negara-negara lain, telah mempertahankan pangkalan militer di Djibouti selama beberapa tahun.
Baca Juga: IESR: Indonesia Harus Maksimalkan Kolaborasi Antar CSO di ASEAN Akselerasi Transisi Energi
Saudi dan India Akan Bergabung
Saudi dan India akan segera bergabung dalam barisan mereka. Karena Djibouti terletak di pintu masuk Laut Merah dan menjadi salah satu selat paling sensitif dalam perdagangan global.
Negara kecil ini memainkan peran besar bagi para pemangku kepentingan secara luas.
Letaknya tepat di Selat Bab al-Mandab, siapa pun yang ingin melakukan perjalanan dari Asia ke Eropa atau sebaliknya dengan kapal laut melalui Terusan Suez harus melewati Djibouti.
Lebih dari 10% perdagangan dunia melewati pantai Djibouti. Oleh karena itu, berbagai kekuatan ekonomi dunia mempunyai kepentingan dalam mengamankan barang-barang mereka yang melewati selat tersebut, terutama dengan kehadiran militernya.
Baca Juga: Mobil Listrik China Dongfeng EV EX1 Pro Hanya Dibanderol Rp100 Juta
Dengan ancaman seperti kapal perompak Somalia yang menjadi tantangan terhadap rantai pasokan global, stabilitas Djibouti di kawasan yang dilanda krisis merupakan titik awal yang disambut baik oleh banyak negara besar (DW, 2021).
Dalam faktor politik yang meliputi negara-negara tetangga Djibouti juga mempunyai permasalahan yang sama.
Di Somalia, kelompok teroris al-Shabab terus berperang melawan pemerintah, dan secara rutin melakukan serangan terhadap penduduk sipil. Di Ethiopia, pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmad terlibat konflik dengan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang telah menyebar ke negara tetangga, Eritrea.
Baca Juga: Proyek Besar China Eksplorasi Ruang Angkasa Dalam 5 Tahun
Kemudian, tepat di seberang Selat Bab al-Mandab, di Semenanjung Arab, perang saudara di Yaman telah berkecamuk sejak tahun 2014, dengan banyak pemain dari kawasan Teluk terlibat dalam perang proksi dengan Iran.
Oleh karena itu, Djibouti telah menjadi pusat komunitas internasional karena sebagian besar wilayahnya terhindar dari segala kerusuhan internal.
Meskipun selalu ada bahaya jika menampung tentara asing, kehadiran militer di Djibouti dari berbagai negara membuat hampir tidak ada orang yang berani menyerang negara tersebut.
Baca Juga: Amerika Mengalah dan Minta Bantuan China Atasi Corona
Dalam memahami arah perpolitikan suatu negara, dapat dilihat dari pemimpin yang berperan dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara. Pihak yang menjadikan Djibouti sebagai pusat aktivitas militer internasional adalah Ismail Omar Guelleh.
Para pengamat memperkirakan penguasa otoriter akan memenangkan pemilu lagi.
Menurut Hassan Khannenje, direktur lembaga pemikir regional HORN Institute yang berbasis di Nairobi, arah politik Guelleh belum menghasilkan kemakmuran dan kekayaan bagi Djibouti.
Setidaknya sampai saat ini dan Djibouti masih merupakan salah satu negara termiskin di kawasan ini serta bahwa tidak ada bukti bahwa perekonomiannya melemah dengan situasi menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Khannenje mengatakan bahwa kehadiran Tiongkok dan pemain global lainnya menimbulkan masalah lain.
Dimana kebijakan pembangunan pangkalan militer China di Djibouti, Afrika pada tahun 2016 ini merupakan keputusan politik dari China (DW, 2021).
Kaitannya dengan aktor policy maker, dalam sistem politik China dikenal adanya hubungan vertikal power sebagai struktur kekuasan negara dengan basis ideologi komunis yang geliat dan pengaruhnya kini dapat terukur sebagai aktor skala global.
Tiga vertikal power tersebut ialah keberadaan The Communist Party of China (CPC), The State Council dan The People’s Liberation Army (PLA).
Terlepas dari adanya overlapping atau tumpang tindih dalam aspek fungsi antara CPC dan The State Council karena keduanya memiliki pemimpin yang sama.
Namun kaitannya dengan penyusunan politik luar negeri China, ketiga aktor tersebut merupakan official foreign policy actors di China (Jokobson & Knox, 2010, hal. 4).
Dalam hal ini, djibouti dapat memberikan manfaat dari sisi politik bagi China dalam hal memperkuat kekuasaan China di Djibouti.
Dimana pangkalan militer ini berfungsi sebagai perlindungan bagi elit penguasa karena tentu saja China ini mempunyai kepentingan nasioanal dalam menghasilkan pendapatan untuk mempertahankan jaringan patronase mereka.
Dengan demikian mengamankan kekuasaan mereka di negara tersebut. Dengan demikian, Djibouti memiliki peranan penting bagi arah geopolitik China melalui letak geografis yang dilalui proyek Belt & Road Initiative China.
Sebagai salah satu jalur pelayaran dan perdagangan terpenting di dunia serta perpolitikan di Djibouti yang mencakup adanya hutang, banyaknya kasus perompakan, kemiskinan dan lain sebagainya.
Dari keduanya ini, China menggunakannya sebagai sarana penyebaran pengaruh kekuatan untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Penulis: Khisna Kamalia Zulfa (Mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta)