BPI Ungkap Tanda-tanda Kejatuhan Rezim!

Mahasiswa duduki Gedung DPR/MPR tahun 1998 - SUARAPANTAU.COM/Int

SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Direktur Ekskekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha mengemukakan sejumlah tanda-tanda pergantian rezim dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Panji menggarisbawahi ada dua pergantian rezim yang cukup fenomenal dalam perjalanan bangsa ini.

“Berakhirnya kepemimpinan Orde Lama oleh Soekarno dan runtuhnya Orde Baru adalah dua persitiwa sejarah pergantian rezim yang sangat mewarnai perjalanan bangsa Indonesia,” ungkap Panji.

Pertama, detik-detik berakhirnya kepemimpinan Ir Soekarno karena kekuatan politik begitu mendominasi, berbagai perseteruan dan adu pengaruh tokoh politik hingga berbagai peristiwa pemberontakan.

Panji menyebutkan, konsentrasi pembangunan ekonomi Ir Soekarno dinilai tidak begitu menggembirakan bagi kesejahteraan ekonomi rakyat.

Sementara itu, lanjut Panji, pergantian kepemimpinan ditangan Soeharto merupakan antitesa dari kepemimpinan rezim sebelumnya yakni fokus pada pembangunan ekonomi.

“Meskipun diakhir periode Pak Harto ekonomi terpuruk, akan tetapi setidaknya era Orde Baru Indonesia sempat menunjukkan geliatnya di bidang ekonomi Indonesia di level Asia,” tutur Panji.

Hal tersebut, terlihat dari pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.

Kedua, kendati pemerintahan Soeharto sempat memiliki geliat yang bagus. Akan tetapi, hal tersebut berubah drastis dimasa-masa jelang berakhirnya Orde Baru.

Dimana perekenomian negara jatuh hingga membengkaknya utang luar negeri, memanasnya situasi politik, dan berkurangnya simpati rakyat akibat praktik korupsi.

Sejarah Berulang 

Panji menyebutkan sejumlah persitiwa lampau seolah berulang kembali, khususnya sikap Pemerintahan Jokowi yang diduga menghidupkan kembali otoritarianisme yang dimotori Menkopolhukam dan mudahnya hak berbicara direnggut oleh Pasal-Pasal Karet khususnya senjata yang paling mematikan demokrasi adalah UU ITE yang membatasi hak rakyat bersuara apa adanya. Hingga menimbulkan distrust dari ketidak adilan yang saat ini dianggap menjadi masalah utama rakyat.

Ia menyoroti melemahnya situasi perekonomian nasional seperti melemahnya Rupiah atas Dollar AS, dan bertambahnya utang luar negeri, instabilitas politik pasca Pilpres disusul tragedi kemanusiaan korban Pemilu 2019, menyetujui proyek OBOR Tiongkok serta meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan merupakan sejumlah alasan yang bisa membuat rezim kehilangan kepercayaan publik juga.

Panji mengingatkan pemerintah untuk tidak terlalu jauh memaksakan kehendak politiknya. Ia menambahkan, akumulasi kekecewaan rakyat harus direspon secara sabar, bijaksana dan jika perlu dipertimbangkan untuk dilaksanakan oleh pemerintah karena pada dasarnya kedaulatan rakyat adalah pondasi utama sebuah negara.

“Banyak contoh pergolakan di dunia maupun contoh historis yang negara ini alami, Jika Penguasa memaksakan kehendak politiknya, maka tidak ada yang dapat bertahan lama,” tegasnya.

“Seharusnya kita mampu sebagai bangsa menhindari peristiwa berulang secara legawa, karena pemimpin di negara khususnya yang menganut sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang sah kekuasaan penuh atas negara dan penguasa adalah perpanjangan yang mampu mengemban tugas-tugas rakyat sebagai kepala negara. Jika pemimpin tersebut dianggap gagal oleh rakyat apa yang terjadi ?. realistis mereka berpikir tak mau kembali dipimpin yang bersangkutan “, tutup Panji.(*)

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Pos terkait