Hanif Nurcholis: Siapa Pemilik Tanah Bengkok Desa?

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hampir semua desa mempunyai tanah bengkok yaitu tanah yang sudah ratusan tahun menjadi pengganti gaji kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa dan perangkat desa diberi tanah bengkok karena sejak zaman penjajahan Belanda tidak diberi gaji oleh pemerintah.

Tanah bengkok ini tanah apa? Tanah ulayatkah? Yang jelas bukan tanah ulayat. C. Van Vollenhoven (1901) menjelaskan bahwa masyarakat desa di Jawa tidak mempunyai tanah ulayat. Tanah bengkok itu asalnya tanah kepala keluarga masyarakat desa hasil membuka hutan. Tanah ini disebut tanah yasa. Tanah yasa ini saat kebijakan tanam paksa tahun 1830 dirubah oleh penjajah Belanda menjadi tanah komunal (communaal bezit) yaitu tanah milik bersama.

Dengan menjadi tanah komunal maka penjajah mudah menggunakan tanah ini untuk ditanami tanaman ekspor. Kalau masih dimiliki oleh kepala2 keluarga, pemerintah sulit menggarap tanah ini karena harus bernego satu per satu pemiliknya. Setelah dirubah menjadi tanah komunal, pemerintah cukup ngomong dengan kepala desanya bahwa tanah di desamu saya pakai untuk tanaman tebu, kopi, nila, atau teh.

Penjajah lalu mengatur tanah komunal tsb begini: 20% dijadikan tanah bengkok sebagai gaji lurah dan pembantunya karena lurah diangkat sebagai mandor kebun tanam paksa, 10% dijadikan tanah kas desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa, dan sisanya (70%) diberikan secara rata kepada kepala keluarga warga desa dengan hak garap (bukan hak yasa/hak milik). Tanah yang diberikan kepada warga desa dg hak garap ini kemudian disebut dg hak gogolan atau tanah norowito.

Kebijakan tersebut menciptakan kesengsaraan dan kematian massal pada masyarakat desa. Penduduk desa di Purwodadi dan Demak tinggal seperempat karena mati kelaparan dan wabah penyakit. Mengapa? Karena mereka tidak punya tanah lagi. Tanah yasa/miliknya telah dirampas oleh negara. Tanah gogol/norowito dengan seenaknya “disewa” oleh pemerintah untuk ditanami tebu, kopi, nilai, jati, atau teh dengan waktu yang tidak jelas kapan berakhirnya. Uang sewanya ditilep oleh lurahnya. Orang desa yang semula menggarap tanah yasanya sendiri kali ini dijadikan kuli di tanah bekas miliknya. Dan lurah telah berubah menjadi mandor penindas rakyatnya atas nama pemerintah/negara.

Setelah merdeka, diundangkan UU No. 5/1960 tentang Agraria. Tanah komunal yang digarap rakyat desa dikembalikan kepada pemilik aslinya yaitu warga desa melalui proses konversi. Tapi tanah bengkok dan tanah kas desa tetap status quo karena pemerintah desa juga dalam status quo yaitu masih sebagai pemerintahan palsu sebagaimana pengaturannya di bawah IGO 1906 Jo. PP No. 83/1906 jo. PP No. 212/1907. Di bawah UU No. 5/1979 tanah bengkok dan tanah kas desa tetap status quo karena pemerintah tak mau menggaji lurah dan pembantunya.

Di bawah UU No. 6/2014 kades dan pembantunya sudah mendapat “gaji” dari pemerintah. Mestinya tanah bengkok ya dikembalikan kepada pemilik aslinya yaitu rakyat desa. Apa argumennya? Ya, karena tanah bengkok itu aslinya tanah yasa/milik rakyat desa yang dirampas penguasa yang diberikan kepada lurah dan perangkatnya sebagai upahnya mengawasi rakyatnya yang dijadikan kuli kebun tebu, teh, kopi, jati, dan nila.

Tapi dasar para lurah di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini pewaris budaya penindas rakyatnya sendiri zaman kolonial maka mereka ngotot untuk terus menerus menguasai tanah bengkok hasil rampasan dari rakyatnya sendiri. Bagaimana rakyat desa bisa sejahtera kalau mental lurah dan perangkat desanya penindas begini.

Oleh: Prof. Hanif Nurcholis / Guru Besar UT

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027