Refleksi HUT RI Ke-79 Meraih Kemerdekaan Seutuhnya. Penulis: Dr. Kodrat Pramudho, Dosen pada Pasca Sarjana Universitas Indonesia Maju (UIMA) Jakarta.
NEGARA Kesatuan Republik Indonesia tahun 2024 menginjak usia 79 tahun, dan bila dibandingkan dengan manusia sudah termasuk kakek atau nenek, banyak anak dan cucu bahkan cicitnya.
Sejak merdeka tahun 1945 kita telah memiliki Presiden sebanyak 7 (tujuh) orang mulai dari Bung Karno, pak Harto, Prof. BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, SBY dan Joko Widodo.
Sebenarnya kita memiliki satu lagi presiden yaitu Mr. Syafruddin Prawiranegara yang pernah menjabat sebagai pemimpin dalam kondisi daararurat selama Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, tetapi statusnya sebagai presiden tidak dimasukkan ke dalam daftar presiden resmi Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Pilih Yakinkan Rakyat Dibanding Berdamai Elit yang Tidak Nasionalis
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk setelah Soekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda dalam Agresi Militer Belanda II. PDRI bertujuan untuk memastikan keberlangsungan pemerintahan Republik Indonesia selama periode darurat tersebut.
Indonesia Belum Merdeka Seutuhnya
Meskipun telah berusia 79 tahun, masih banyak rakyat kita yang termasuk dalam kubang kemiskinan, derajat kesehatan yang belum optimal, kelas menengah turun angka persentasenya, dan jurang kaya dan miskin makin melebar.
Apakah ada yang salah dalam pengelolaan negara dan bangsa Indonesia?
Dari segi kekayaan sumber daya alam cukup melimpah tetapi dikelola dengan cara yang jauh dari cita-cita founding father kita.
Sementara ini kita masih dihadapkan dengan korupsi makin merajalela, lembaga Negara belum opotimal menjalankan tupoksinya karena tersandera satu sama lainnya, nepotisme tumbuh subur, penguatan ekonomi yang semu kurang berdampak bagi masyarakat, kriminalitas meningkat, dan PHK bertambah banyak.
Meskipun ada upaya untuk mengurangi kemiskinan, kesenjangan ekonomi di Indonesia tetap menjadi masalah serius. Indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin masih tinggi.
Sementara sebagian kecil masyarakat menikmati peningkatan kekayaan yang pesat, terutama mereka yang terlibat dalam sektor-sektor seperti properti, pertambangan, dan industri digital, sebagian besar masyarakat miskin tetap terperangkap dalam siklus kemiskinan.
Hari ini Jumat tanggal 16 Agustus 2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang MPR-RI, DPD-RI dan DPR-RI.
Lebih banyak ketercapaian hasil yang diperoleh ketimbang kegagalan dihadapi dalam mengelola bangsa dan Negara ini.
Kita maklumi dan pastilah esok hari banyak pengamat dan kritikus yang akan bersuara dalam berbagai media.
Beberapa ketidak berhasilan yang dicapai pemerintahan lima tahun terakhir ini dapat dikemukakan seperti kesenjangan sosial dan ekonomi.
Meskipun banyak program perlindungan sosial yang telah dilaksanakan, Presiden mengakui bahwa masih ada tantangan dalam memastikan pembangunan yang merata di seluruh daerah dan dalam mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi yang masih ada.
Beberapa kebijakan tidak berjalan dengan optimal karena kendala birokrasi dan resistensi dari pihak-pihak tertentu, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri yang menentang kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.
Meskipun ada peningkatan dalam cakupan internet dan elektrifikasi, Presiden mengakui bahwa masih ada wilayah-wilayah terpencil yang belum sepenuhnya terjangkau oleh infrastruktur digital yang memadai.
Tantangan besar masih ada, terutama dalam hal kebebasan sipil dan ketimpangan sosial. Kebebasan berpendapat, pers, dan aktivitas masyarakat sipil menghadapi tekanan yang semakin besar, mengindikasikan kemunduran dalam kehidupan demokrasi Indonesia.
Di sisi lain, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tetap menjadi masalah utama, yang sebagian besar disebabkan oleh struktur ekonomi dan politik yang masih didominasi oleh kepentingan oligarki.
Upaya yang lebih serius dan menyeluruh diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah ini agar kesejahteraan dan keadilan sosial dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa kelompok menyoroti adanya pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kasus-kasus hukum yang menimpa aktivis, jurnalis, dan masyarakat yang dianggap mengkritik pemerintah sering kali menjadi bukti yang dikemukakan oleh para pengkritik.
Ada kekhawatiran bahwa penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering kali digunakan untuk membungkam suara kritis.
Pemerintah dinilai semakin sentralistik dalam pengambilan keputusan, dengan pengaruh kuat Presiden dalam berbagai kebijakan. Sentralisasi ini dianggap memperlemah peran lembaga-lembaga demokrasi seperti DPR dan lembaga peradilan.
Kasus korupsi, meskipun ada upaya penegakan hukum terhadap korupsi, masyarakat masih menyoroti adanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, serta dugaan adanya perlindungan terhadap pihak-pihak tertentu. Persepsi terhadap KKN meningkat seiring dengan penurunan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca revisi UU KPK pada 2019.
Kritik juga muncul terkait dengan dugaan nepotisme dalam pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun BUMN.
Hal ini menambah persepsi publik bahwa KKN masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi.
Meskipun ada berbagai pencapaian dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, perkembangan demokrasi di era Jokowi tetap menjadi sorotan kritis.
Persepsi kemunduran demokrasi dan tumbuhnya KKN mencerminkan kekhawatiran masyarakat bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan integritas institusi pemerintahan perlu diperkuat untuk menghadapi tantangan ke depan.
Refleksi Hari Kemerdekaan ke-79 harus menjadi momentum bagi para pemimpin bangsa untuk merenungkan kembali tujuan mulia kemerdekaan, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat.
Tugas besar ini tidak dapat dicapai tanpa kepemimpinan yang kuat, integritas yang teguh, dan komitmen yang berkelanjutan dari semua elemen bangsa.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia dapat terus maju dan memenuhi janjinya sebagai negara yang besar dan dihormati di dunia.
Presiden dan kabinetnya harus berkomitmen pada kebijakan yang mempromosikan pembangunan yang merata di seluruh daerah, termasuk daerah tertinggal.
Anggaran negara harus dialokasikan dengan adil, dan program-program yang mendukung pengurangan kesenjangan ekonomi antara kota dan desa harus diperluas.
Pemimpin bangsa harus mendorong pengembangan sektor-sektor ekonomi baru melalui investasi dalam teknologi dan inovasi.
Ini mencakup dukungan untuk start-up teknologi, penelitian dan pengembangan, serta pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja masa depan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih kompetitif dan inklusif.
Pemerintah perlu memasukkan pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum nasional sejak dini, mengajarkan siswa tentang pentingnya integritas, etika, dan dampak negatif korupsi. Kampanye kesadaran juga harus dilaksanakan di kalangan dewasa melalui media massa dan program-program pelatihan.
Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan pemerintah. Platform digital dapat digunakan untuk memfasilitasi pelaporan pelanggaran, dan LSM serta organisasi masyarakat harus diberdayakan untuk berperan dalam menjaga akuntabilitas publik.
Pemimpin negara harus memastikan bahwa lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian tidak tunduk pada tekanan politik atau kekuasaan tertentu. Mereka harus diberi kebebasan penuh untuk menjalankan tugasnya secara profesional dan tidak diskriminatif.
Kemandirian ini penting agar hukum dapat ditegakkan dengan adil dan tanpa pandang bulu. Pemerintah harus memperkuat mekanisme pengawasan yang efektif, baik internal maupun eksternal.
Pengawasan oleh masyarakat sipil dan media harus difasilitasi, dan pelaporan penyalahgunaan kekuasaan harus dilindungi.
Transparansi anggaran, audit berkala, dan keterbukaan informasi publik adalah elemen kunci dalam pencegahan korupsi.
Pendidikan politik harus menjadi prioritas, di mana masyarakat diajarkan tentang hak dan kewajibannya sebagai pemilih serta cara kerja demokrasi yang sehat.
Partisipasi publik yang lebih luas dan kritis dalam proses politik dapat mendorong akuntabilitas dan mengurangi praktik korupsi.
Pemerintah harus memperkuat regulasi yang mencegah politik uang, baik dalam pemilihan umum maupun dalam aktivitas sehari-hari partai politik.
Sanksi tegas harus diterapkan pada pelaku politik uang, dan pemilihan pemimpin harus didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak, bukan uang atau kekuasaan.
Pemerintah perlu memasukkan pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum nasional sejak dini, mengajarkan siswa tentang pentingnya integritas, etika, dan dampak negatif korupsi.
Kampanye kesadaran juga harus dilaksanakan di kalangan dewasa melalui media massa dan program-program pelatihan.
Masyarakat harus didorong untuk dilibatkan secara aktif dalam pengawasan pemerintah. Platform digital dapat digunakan untuk memfasilitasi pelaporan pelanggaran, dan LSM serta organisasi masyarakat harus diberdayakan untuk berperan dalam menjaga akuntabilitas publik.
Pemimpin bangsa harus mendorong proses seleksi pemimpin yang didasarkan pada meritokrasi, di mana integritas, kompetensi, dan rekam jejak menjadi kriteria utama.
Hal ini berarti memperbaiki sistem seleksi di partai politik dan menghindari pengaruh oligarki atau kelompok kepentingan yang dapat merusak proses demokrasi.
Pemimpin daerah yang berintegritas harus diberi kesempatan dan dukungan untuk berkembang.
Desentralisasi kekuasaan harus disertai dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan di tingkat lokal, sehingga mereka dapat mengimplementasikan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat mereka.
Para pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan moralitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam interaksi dengan rakyat.
Tokoh agama, budaya, dan pendidikan harus bersatu dalam gerakan nasional yang mempromosikan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kebersamaan.
Etika publik harus menjadi landasan dalam segala bentuk kebijakan dan tindakan pemerintah. Pemimpin harus berani menegakkan nilai-nilai ini meskipun berisiko kehilangan popularitas atau dukungan politik jangka pendek.
Banyak partai politik di Indonesia diduga dikuasai oleh elite ekonomi atau tokoh-tokoh kuat yang memiliki kekayaan dan sumber daya yang besar.
Oligarki ini sering kali mendanai partai politik dan kampanye pemilu, sehingga memiliki kendali besar terhadap kebijakan dan arah partai.
Hal itu, menciptakan ketergantungan partai pada pemodal besar, yang kemudian membentuk kebijakan partai untuk lebih mengakomodasi kepentingan pemodal daripada kepentingan rakyat luas. Pemerintah harus membenahi untuk mengembalikan ke khittah bahwa partai politik berfungsi untuk menampung aspirasi dan memperjuangkan bahwa rakyat yang berdaulat.
Sekarang ini partai politikl lebih tunduk pada para elit yang memiliki modal fiansial. Di banyak partai juga, kepemimpinan terpusat pada satu atau beberapa tokoh yang memiliki pengaruh besar, baik melalui kekayaan pribadi, warisan politik, atau jaringan kekuasaan.
Sehingga mengurangi ruang bagi anggota partai lainnya untuk berkontribusi secara demokratis, dan partai lebih berfungsi sebagai alat bagi kepentingan segelintir orang, bukan sebagai platform untuk representasi kepentingan masyarakat luas.
Pemerintahan sering kali dikritik karena dianggap terlalu dekat dengan para oligarki. Berbagai proyek infrastruktur besar yang diinisiasi oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan ibu kota baru, sering kali melibatkan perusahaan besar yang dimiliki atau dikendalikan oleh para oligarki.
Kolaborasi ini, meskipun secara ekonomi dianggap bermanfaat, juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan negara lebih diarahkan untuk menguntungkan segelintir elite daripada rakyat luas.
Oligarki juga dianggap memiliki pengaruh besar dalam kebijakan publik, termasuk dalam penyusunan undang-undang yang strategis seperti Omnibus Law Cipta Kerja.
Kebijakan-kebijakan ini, meskipun ditujukan untuk meningkatkan iklim investasi, sering kali dianggap menguntungkan para pemilik modal besar dan merugikan pekerja serta lingkungan.
Untuk mengembalikan fungsi partai politik sebagai pilar demokrasi yang sehat, diperlukan reformasi mendalam dalam sistem partai politik.
Reformasi ini termasuk transparansi pendanaan partai, pembatasan pengaruh pemodal besar dalam politik, dan penguatan mekanisme demokrasi internal partai.
Selain itu, perlu ada regulasi yang lebih ketat untuk mencegah konflik kepentingan dan kolusi antara parpol dan elite ekonomi. Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses politik juga menjadi kunci.
Pemilih perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin dan partai politik, serta mendorong akuntabilitas dari para wakilnya.
Media dan LSM juga memiliki peran penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan-dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh oligarki dalam politik.
Peran partai politik di Indonesia, yang seharusnya menjadi penopang demokrasi dan representasi rakyat, telah banyak dipengaruhi oleh oligarki yang berkolaborasi dengan pemerintahan saat ini.
Pengaruh oligarki ini menyebabkan penurunan kualitas demokrasi, dengan kebijakan yang sering kali lebih berpihak kepada kepentingan segelintir elite daripada rakyat banyak.
Reformasi dalam sistem partai politik dan peningkatan partisipasi serta kesadaran masyarakat adalah langkah penting untuk memperbaiki situasi ini dan memastikan bahwa demokrasi di Indonesia dapat berfungsi dengan lebih adil dan merata.
Semoga pada pemerintahan baru nanti, kita semua berharap Indonesia makin baik dan maju. Merdeka!