Imam Nawawi: Masa Depan Pondok Pesantren

Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah 2020-2023

Penulis: Mas Imam Nawawi, Alumni Pesantren Hidayatullah Kutai Kartanegara

ULASAN mengenai pondok pesantren terus hangat dan menyala. Terbaru, Menteri Agama Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan akan memperjuangkan terbentuknya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pondok Pesantren.

Catatan Kementerian Agama (Agustus 2024) menyebutkan saat ini ada 41.220 pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Pertama, kita bisa melihat bahwa ada upaya serius dari pemerintah untuk memberi fokus dan perhatian yang lebih besar kepada pesantren. Idealnya itu telah lama dijalankan, kalau memperhatikan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kedua, upaya tersebut sangat mungkin mendorong upaya peningkatan kualitas pendidikan. Hanya saja PR yang sesungguhnya adalah apakah kebijakan yang keluar nanti lebih menguatkan kultur pesantren yang kaya nilai spiritual dan intelektual atau pesantren menjadi lembaga Islam bergaya pendidikan “modern” sekarang.

Ketiga, kita bisa memandang bahwa upaya adanya Ditjen Pondok Pesantren guna memastikan koordinasi dan sinergi yang lebih baik. Secara prinsip pemerintah harus membuat regulasi yang menjadikan pesantren lebih bebas dan kontributif dalam menyiapkan generasi hebat bangsa ke depan.

Pertanyaan

Mengingat upaya itu masih tahap wacana, tentu pro-kontra akan segera tiba. Tetapi kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan mendasar.

Sejauh mana Ditjen Pesantren ini efektif bagi masa depan lembaga tempat belajar santri itu?

Kemudian, apa sebenarnya yang mendesak sekaligus tantangan terbesar sehingga pemerintah perlu membuat Ditjen Pesantren?

Pertanyaan lebih mendasar lagi, bagaimana cara memastikan Ditjen Pesantren tidak hanya menjadi birokrasi tambahan.

Peluang

Terlepas dari isu yang berkembang tentang pesantren, ada sederet peluang yang pesantren harus tangkap dan maksimalkan.

Pertama, penguatan moral anak bangsa. Pendidikan hari ini, pada umumnya belum berhasil melahirkan generasi yang punya moral baik. Akibatnya etos ilmu dan etos kerjanya belum bagus.

Pesantren yang kaya dan berkebutuhan melakukan transformasi nilai-nilai Islam tentu harus semakin terampil menemukan metode pendidikan yang relevan untuk santri tampil sebagai generasi yang berani, cerdas dan bertanggung jawab.

Kedua, seiring dengan banyaknya orang menilai pesantren positif, maka sudah semestinya upaya meningkatkan brand positif pesantren terus diperjuangkan. Tentu melalui prestasi santri, kontribusi pesantren, hingga temuan-temuan bermanfaat dalam banyak aspek kehidupan.

Ketiga, saatnya pesantren go internasional. Menarik ungkapan Menag RI mengutip pandangan Nurcholis Madjid, bahwa sekiranya tidak ada penjajahan Belanda, maka kita akan mengenal Universitas Tebu Ireng, Universitas Lirboyo dan seterusnya.

Metode pendidikan pesantren seperti sorogan, bandongan (wetonan), musyawarah (mudzakarah), hafalan, dan lalaran, penting ditingkatkan sebagai tawaran model pendidikan yang terbukti dan teruji melahirkan manusia unggul. Dalam konteks kontemporer kita bisa melihat bagaimana Gus Baha menjadi murid KH Maimu Zubair.

Pemahaman itu harus mendorong pesantren bisa go internasional. Kemampuan pesantren menghadirkan lingkungan bahasa Arab dan bahasa Inggris, tentu bisa menjadi gerbang pembuka agar anak-anak muda dari berbagai negara bisa belajar ke pesantren.

Jika narasi ini kita korelasikan dengan Indonesia Emas 2045, saya kira Pondok Pesantren memiliki peluang sangat terbuka untuk terdepan melahirkan generasi yang siap membawa kejayaan bangsa Indonesia untuk dunia yang lebih cerah, adil dan sejahtera.

Jakarta, 15/11/2024

(***)

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang IklanCalon Bupati Luwu 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *