Maraknya Praktik Jual Bayi Akibat Masyarakat Jauh dari Islam. Penulis Syarifah Mughniyah Tahir adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran.
DUA orang bidan di Yogyakarta dengan inisial JE (44) dan DM (77) ditetapkan sebagai tersangka setelah terbukti melakukan tindakan perdagangan bayi.
Keduanya berhasil diringkus (4/12/2024) dan saat ini ditahan dengan jeratan pasal 83 dan pasal 76 F dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang mengancam mereka dengan hukuman pidana penjara paling lama 15 rahun serta denda maksimal Rp 300 juta.
Aksi kedua tersangka tersebut dilakukan selama belasan tahun sejak 2010 dan telah menjual sebanyak 66 bayi.
Tarif yang mereka patok diketahui terakhir sebesar Rp 55 juta untuk perempuan dan untuk bayi laki-laki tarifnya mencapai Rp 60 juta hingga Rp 65 juta. Bahkan ada yang mencapai sebesar Rp 85 juta sebagai tarif paling tinggi.
Para tersangka melakukan transaksi bejatnya tersebut untuk menjual bayi melalui rumah bersalin yang dikelola sendiri, yaitu Rumah Bersalin Sarbini Dewi, Tegalrejo, Kota Yogyakarta.
Tempat mereka tersebut memberikan jasa perawatan bayi sebagai topeng untuk mereka mendapatkan target.
Diketahui orang tua kandung yang menyerahkan anak terhadap tersangka mengetahui bahwa anak mereka akan dijual.
Biasanya kedua tersangka akan memanfaatkan bayi yang lahir dari luar pernikahan melalui modus adopsi ilegal.
Kasus jual beli bayi di Indonesia merupakan peristiwa bejat yang bukan terjadi hanya sekali saja. Kasus serupa juga pernah terjadi di Depok yang ternyata bernaung di bawah sebuah yayasan ilegal berlokasi di Bali.
Terdapat 8 tersangka yang ditangkap (2/9/2024) di Depok atas penjualan 2 bayi dengan tarif Rp 45 juta. Adapun ibu dari sang bayi mendapatkan uang sebesar Rp 10 juta-Rp 15 juta.
Para tersangka sengaja mengincar para ibu muda yang ditelantarkan oleh suami, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Anak hasil di luar nikah, dan para pekerja migran Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual di negara tempat bekerja.
Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2021 ditemukan 11 kasus perdagangan anak dan jumlah meningkat pada tahun 2022 dengan bertambah menjadi 21 kasus.
Terdapat 52% angka perdagangan anak dengan cara menculik yang rata-rata tujuannya adalah eksploitasi ekonomi serta seksual komersial.
Ditambah lagi data terbaru masih dari KPAI menunjukkan jumlah kasus penculikan dan perdagangan anak sebanyak 59 kasus pada tahun 2023.
Maraknya kasus jual beli bayi ataupun anak ini menjadi satu tamparan yang keras, khususnya bagi umat Islam.
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Namun di satu sisi kasus yang sangat bertentangan dengan Islam seperti ini sering terjadi.
Bahkan para sindikatnya mampu membangun yayasan tertentu untuk mencari targetnya. Maka, hal ini menjadi sebuah bukti bahwa penduduk yang mayoritas Islam tidak mampu menjamin kehidupan yang sesuai dengan Islam apabila negara yang juga tidak menerapkan syariat Islam.
Jika diteliti penyebab masalahnya pasti akan kembali pada persoalan kemiskinan dan pergaulan bebas. Kedua masalah itu bukan lagi sekadar persoalan individu, tetapi merupakan persoalan yang seharusnya negara ikut bertanggung jawab.
Ketika membahas masalah kemiskinan, hal ini tidak selalu berarti akibat dari kemalasan individu untuk bekerja. Fakta yang terjadi hari ini adalah kemiskinan struktural yang menyengsarakan rakyat sebagai dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme dalam bernegara.
Rakyat yang bernaung di dalamnya ikut terkena malapetaka karena sistem ekonomi tersebut yang menjadikan akses ataupun ketersediaan lapangan pekerjaan semakin sulit dengan berbagai syarat yang pelik.
Belum lagi sumber daya alam serta energi yang “diobral” oleh negara terhadap para perusahaan swasta atau asing.
Padahal, dalam Islam seharusnya sumber daya alam dan energi tersbeut wajib dikelola oleh negara dan keuntungannya akan diberikan kepada rakyat seperti, layanan pendidikan dan kesehatan yang gratis.
Maka, tidak mengherankan apabila rakyat terjerumus dalam lingkaran setan kemiskinan hingga membuat mereka yang putus asa dengan keterbatasan ekonomi rela menjual bayinya karena tidak sanggup menanggung biaya anak.
Islam juga mewajibkan laki-laki untuk bekerja, terutama ketika mereka telah berkeluarga wajib untuk menafkahi keluarganya.
Peran negara adalah membuka lapangan kerja dan menjamin keselamatan serta keamanan para pekerja.
Dari segi pendidikan, Islam mewajibkan negara untuk membangun sistem pendidikan yang berlandaskan pada akidah Islam.
Dalam Islam setiap materi yang diajarkan harus membentuk ketakwaan dan keimanan peserta didik terhadap Allah swt sehingga muncul rasa takut pada Allah swt untuk mencegah seseorang bermaksiat atau bahkan melakukan tindakan kriminal.
Adapun dari segi pergaulan antar perempuan dan laki-laki, Islam telah tegas mengharamkan perzinahan. Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.” (TQS. Al Isra: 32).
Bagi mereka yang terbukti melakukan perzinahan, Islam memiliki sistem sanksi hukum yang wajib dilaksanakan oleh negara yang akan membuat jera bagi para pelakunya dan mencegah orang lain untuk berbuat hal yang sama. Allah swt berfirman:
“Pezina perempuan dan pezina laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali…” (TQS. An nur: 2)
Maka, bagi pezina yang belum terikat dalam pernikahan, sanksi dari negara untuk mereka adalah dicambuk.
Lain lagi dengan pezina yang sudah terikat dalam pernikahan, Islam memberlakukan hukum rajam, yakni hukuman mati.
Hanya negara yang mampu menerapkan sistem sanksi yang demikian, tetapi saat ini semua hukum tersebut tidak dilaksanakan.
Negara juga bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi informasi yang terbebas dari segala kemaksiatan yang dapat membangkitkan syahwat, seperti pornografi.
Islam begitu lengkap memberikan aturan bagi manusia semata-mata untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, mencegah dari segala perbuatan yang dapat merusak dan merugikan manusia itu sendiri.
Kasus jual-beli bayi sangat bertentangan dengan Islam karena anak merupakan anugerah dari Allah swt untuk dijaga, dibimbing, serta dipelihara.
Kasus demikian tidak bisa hanya ditangani atau dicegah dalam skala individu saja. Oleh karena itu, menjadi sangat mendesak untuk negara juga melaksanakan syariat Islam karena kehidupan individu individu serta masyarakat tergangung bagaimana kebijakan negara.
(***)
**Penulis bernama Syarifah Mughniyah Tahir. Lahir tanggal 30 April 2003. Saat ini berstatus sebagai mahasiswi Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), prodi Kesejahteraan Sosial. Penulis tertarik dengan dunia penulisan terutama yang terkait dengan isu-isu sosial dan politik melalui perspektif Islam.