Pemahaman tersebut dikuatkan dengan pandangan pakar (Holcombe, 2002; Nancy Charlotte Roberts & King, 1989; Schneider & Teske, 1992; Wilson & Millman, 2003) bahwa jiwa, sikap dan perilaku political entrepreneur didasarkan pada ciri khusus, selain ciri-ciri umum wirausaha, yakni: 1) penuh rasa percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, mandiri, optimis, disiplin, berkarakter, berkomitmen (dalam semangat persaudaraan) dan bertanggung jawab; 2) memiliki inisiatif, dengan indikator inovatif, penuh energi, aktif dan cekatan dalam bertindak; 3) memiliki motif berprestasi dengan indikator berorientasi hasil dan berwawasan ke depan; 4) memiliki jiwa kepemimpinan dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya dan tangguh dalam bertindak; 5) berani mengambil risiko (moderat) dengan penuh perhitungan; 6) terampil dalam fungsi manajemen – perencanan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian; serta 7) bersikap positif terhadap peluang dan uang. (P. Drucker, 2014; P. F. Drucker, 2002; McClelland, 1987; Nancy Charlotte Roberts & King, 1989).
Ciri atau karakter khusus political entrepreneur yang dirangkum dari pandangan pakar sebagai berikut: 1) mensinergikan beragam kompetensi inti organisasi – struktur, sistem, proses; ganjaran – agar memberi manfaat (nilai) bagi publik; 2) melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) kegiatan secara efisien, efektif, ekonomis, berkelanjutan berbasis management information system (MIS) yang handal; 3) berpikir kreatif dan bertindak inovatif dalam mengubah tantangan dan ancaman menjadi peluang; 4) memimpin perubahan pola pikir, pola zikir dan revolusi mental ke arah yang lebih baik dan bermakna; 5) mengembangkan strategi pemanfaatan SDM organisasi secara LUBER dan JURDIL– langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil; 6) menjadi pioneer bagi aktualisasi dan akulturasi nilai etika, estetika, kinestetika dan etos kerja political entrepreneur; 7) mengembangkan proposisi nilai publik/global yang melokal; 8) mengembangkan jaringan komunikasi global; 9) menghargai keberagaman dan memimpin perubahan budaya; 10) melakukan advokasi internal; 11) membangun komitmen internal-eksternal; 12) mewujudkan nilai etika, estetika, kinestetika dan etos kerja; 13) membudayakan value for public, yaitu aksesibilitas, akseptabilitas, popularitas, kapasitas, responsibilitas, responsivitas, elektabilitas, kapabilitas, produktivitas, efektivitas, akuntabilitas, integritas, responsibilitas dst.
Keenam, how (bagaimana) cara atau strategi yang tepat untuk menanamkan karakter political entrpreneur? Jawabannya adalah banyak cara tepat yang dapat dipilih dalam mensosialisasikan kreativitas dan inovasi sebagai basis karakter political entrepreneur, mulai dari cara yang radikal sampai pada cara halus dan samar.
Pada prinsipnya, apapun strategi yang diterapkan memiliki tujuan yang sama agar perubahan dan pembaruan dapat terjadi dalam diri individu (warga negara), kelompok, organisasi dan di masyarakat. Sejumlah pakar sepakat bahwa terdapat delapan strategi generik (disingkat 8-C) yang sejatinya diaplikasikan oleh individu atau institusi agar tetap eksis, berkembang dan berdaya saing, yaitu culturalization (pembudayaan), communication (komunikasi) dan atau sosialisasi, connection (koneksi/jejaring), coopetition (persaingan yang membuahkan kerjasama), compromise (kompromi), collaboration (kolaborasi), critical (kritis), creativity (kreativitas).
Penguasaan dan penerapan strategi kreatif-inovatif inilah yang sekaligus menguatkan semboyan atau prinsip hidup political entrepreneur di era masyarakat 5.0, yaitu prinsip “kreatif-inovatif atau mati”. Sedangkan menurut pakar lainnya ( Shipton, West, Dawson, Birdi, & Patterson (2006), West (1987) , terdapat empat strategi klasik untuk mengenalkan karakter political entrepreneur, yaitu strategi pengaruh kelompok, strategi partisipatif, strategi eklektik dan strategi pemaksaan kekuasaan.
Strategi pengaruh kelompok (mayoritas, minoritas) efektif diterapkan dalam proses menyampaikan/memberitahukan yang tidak tahu, mengingatkan yang lupa dan mempengaruhi yang sudah tahu (Butler & Collins, 1994; Lilleker & Lees-Marshment, 2005; Wring, 1997) mengenai political entrepreneur.
Selanjutnya, strategi partisipatif, cocok diterapkan apabila kebutuhan inovasi dirasakan oleh warga negara dan tersedia cukup waktu dan sumber daya untuk menggalang partisipasi publik, khususnya bagi kelompok minoritas yang tidak terlibat langsung dalam proses inovasi.
Kemudian, strategi eklektik – yang menurut Daft (1992) merupakan gabungan beberapa metode dalam melakukan inovasi – diterapkan sesuai konteksnya. Strategi pemaksaan kekuasaan biasa digunakan untuk mengubah paradigma yang radikal dan tidak mungkin dilakukan dengan cara lain. Pemaksaan kekuasaan dilakukan terhadap kelompok warga negara memiliki kemampuan berpikir dan berzikir yang timpang, antara kelompok pengarah dengan kelompok yang dikenai inovasi.
Disamping itu, pemaksaan kekuasaan diterapkan jika tidak cukup waktu untuk melakukan konsultasi, komunikasi atau partisipasi dalam berinovasi.