Menurut Holcombe (2002) , hakikat kewirausahaan politik dalam sistem demokrasi menggambarkan sekelompok perwakilan yang bekerja bersama-sama untuk secara sistematis dan sistemik mentransfer sumber daya dan manfaat atau nilai yang dihasilkan dari beberapa kelompok warga negara kepada kelompok lain.
Oleh karena itu, strategi pemaksaan hanya efektif digunakan oleh aktor yang memiliki kekuasaan dan pengaruh kuat dalam organisasi untuk mendesak penerapan inovasi. Konsekuensi penggunaan strategi pemaksaan kekuasaan adalah cenderung memunculkan permusuhan atau konflik konseptual manajemen pengetahuan (Akib, 2014) di antara sesama warga negara atau anggota organisasi.
Strategi pemaksaan kekuasaan merupakan satu-satunya cara mewujudkan perubahan yang tidak popular.
Apapun strategi pembelajaran karakter political entrepreneur yang dipilih, jelas bahwa kita semua berada dalam era MEA, era revolusi industri 4.0, atau era masyarakat 5.0. Menurut Karinov (2019) , jika perkembangan teknologi sudah sebegitu majunya, lalu apalagi yang harus diperbaharui? Jawabannya ada di dalam pikiran sebagian orang, termasuk di pikiran political entrepreneur.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat, termasuk adanya peran-peran manusia yang tergantikan oleh kehadiran robot-robot cerdas, dianggap dapat mendegradasi peran manusia. Hal ini yang melatar belakangi lahirnya Society 5.0 yang diperkenalkan di Kantor Perdana Menteri Jepang pada hari Senin, 21 Januari 2019.
Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan mentransformasi big data pada segala sendi kehidupan serta the Internet of Things akan menjadi suatu kearifan baru yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan. Transformasi ini membantu manusia menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan demikian, semakin jelas fokus dan lokus pengembangan kecerdasan artifisial dan internet of things sebagai ciri revolusi industri 4.0 yang tentu . saja perlu disinergikan dengan kecerdasan alamiah (natural . intelligence/ NI) yang terfokus pada re-aktualisasi dan apresiasi terhadap hakikat penciptaan, harkat dan martabat manusia (human centered) kreatif, inovatif dan bernilai (bermartabat) sebagai jatidiri manusia pada era masyarakat 5.0.
Setiap warga negara, termasuk kita selaku pemimpin diri sendiri, pemimpin kelompok atau pemimpin publik, maka perlu mengaplikasikan model pemberdayaan kreasi pengetahuan, atau yang disebut model SEKI ( Nonaka & Takeuchi, 1995) dengan cara mensosialisasikan, mengeksternalisasikan, mengkombinasikan dan menginternalisasikan karakter political entrepreneur ke dalam diri kita masing-masing.
Artikel ini disampaikan dalam orasi ilmiah dengan judul; Political Entrepreneur: Apa, Mengapa dan Bagaimana di Era Masyarakat 5.0