Sofyan Basri: Kilometer 50

Sofyan Basri

*Sofyan Basri

SITUASI dan kondisi kekinian, sungguh terlalu mudah kita menemukan kejahatan. Di jalan (jambret, rampok, dll), di kantor swasta (PHK), di kantor pemerintah (korupsi), bahkan di rumah (ibu bunuh anak, suami bakar isteri dll). Pun tidak melihat waktu; malam atau siang hari. Kejahatan seperti menjalar begitu saja. Ia seperti tidak terkendali. Mungkin juga karena dibiarkan terjadi atau bahkan sengaja dibuat terjadi.

Dan dari sudut-sudut yang amat sulit itu. Aku duduk merenungi segala kejahatan itu sendiri. Tidak, barangkali ada orang lain. Tapi aku tidak mengetahuinya. Atau bisa juga mereka itu sengaja diam. Lalu menikmati kejahatan itu berkali-kali terjadi. Seperti akhir-akhir ini. Tentang sebuah jalan tol yang ramai di kilometer 50.

Sebuah peristiwa terjadi di tengah hiruk pikuk ketidakjelasan dan ketidakstabilan ekonomi negeri. Peristiwa itu seakan-akan merasuki seluruh warga. Menjelma sebagai realitas yang harus dan wajib disorot seluruh orang-orang. Bagaimana tidak, atas peristiwa itu kita seoalah-olah dibelah oleh dua kubu yang saling bersitegang.

Bacaan Lainnya

Keduanya seakan-akan memposisikan diri sebagai yang paling benar. Masing-masing memberikan argumentasi yang bernas. Data-data kemudian diungkap. Kamera dimana-mana; menyajikan perdebatan hingga saling cibir. Banyak yang bingung dan mungkin memilih diam. Pun sebagian menceburkan diri dikubangan.

Setelahnya, mereka berkobar seperti lidah api yang menjulur ke udara. Narasi-narasi pembelaan mengalir dari mulut-mulut mereka. Atau menggunakan jari-jarinya yang lincah itu bersosial media. Dialektika seperti dilenyapkan oleh gumpalan kutipan pada media-media. Lalu kita menjadi terkurung pada dua sumbu api itu.

Aku yang sedari awal memilih menepi. Walau mengalami kegelisahan yang hebat. Apa gerangan yang terjadi? Untuk menjawab pertanyaan itu. Aku memilih untuk tidak mengikuti alur keduanya. Aku lebih banyak merenung dan bertanya kepada diri sendiri. Juga aku memilih membuka lembaran-lembaran buku.

Aku memilih jalan itu karena tidak ingin terjebak. Aku merasa ada sesuatu yang ditutupi. Tidak satu tapi sekaligus keduanya. Terbukti, keduanya banyak mengalami perubahan pernyataan. Maka ketika masuk kepada keduanya. Kuat dugaan aku akan ikut arus. Apalagi jika sudah tercebur ke dalam. Dan, aku tidak menginginkan itu.

Maka dengan menuju diri sendiri dan buku-buku, barangkali dapat menemukan jalan tengah. Tidak menjatuhkan satu pihak; sedini mungkin bersikap adil. Sebaik mungkin menenangkan diri untuk bersikap bijak. Tidak responsif yang agresif. Maka setelah sembilan hari ini. Aku mulai menemukan satu patut disuarakan; HAM.

Indonesia sebagai negara hukum menilai HAM sebagai nilai universal dimuat dalam konstitusi negara, baik dalam pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen UUD 1945. Bahkan, di dalam Pancasila sebagai dasar negara juga tersirat tentang HAM.

Karena itu, diharapkan peristiwa di kilometer 50 itu diusut secara tuntas dalam konteks hukum yang universal; HAM. Bahwa kita patut menduga dengan sangat kuat dalam peristiwa itu terjadi pelanggaran HAM. Ini bisa dilihat dari jumlah korban meninggal karena diduga ditembak oleh oknum dari kepolisian.

Sejumlah Non Governmental Organization (NGO) seperti Kontras dan Amnesty International Indonesia juga menduga bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dengan extrajudicial killing atau unlawful killing. Kedua NGO ini bahkan tegas bahwa penggunaan kekuatan, kekerasan, dan senjata api yang melanggar hukum oleh polisi tidak boleh dibenarkan.

Seharusnya penggunaan senjata api wajib memperhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas. Apalagi jika ditelisik berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan untuk membunuh.

Karena itu, Komnas HAM dan Kompolnas sebagai lembaga yang independen harus turun tangan. Dan untuk menguatkan independensi kedua lembaga ini, maka sepatutnya melibatkan NGO terkait seperti KontraS, Amnesty International Indonesia, dan YLBHI. Sebab kita butuh informasi yang yang mencerahkan bukan informasi yang saling tuding.

Selain itu, segala bentuk dugaan pelanggaran hukum juga harus dilakukan secepatnya. Baik yang mungkin dilakukan oleh oknum kepolisian maupun oleh oknum anggota FPI. Kesemuanya harus dibuka kepada publik dan dilakukan pemeriksaan secara transparan. Hukum harus tegak secara jujur dan adil terhadap dan kepada siapa pun.

Dan kepada kita semua, seharusnya dan sewajibnya tidak menceburkan diri ke dalam kubangan ini. Mari menahan diri untuk tidak terprovokasi. Baiknya memperkaya forum diskusi dan materi jika ingin memberikan komentar dan narasi. Itu akan lebih baik daripada hanya mengedepankan emosi karena merasa diri sebagai korban.

Kita juga tidak boleh larut dalam satu persoalan yang kemudian persoalan yang lain ditinggalkan. Kasus korupsi bantuan sosial covid-19 juga wajib dikawal. Kita tentu ingin hukuman mati atau hukuman seumur hidup itu bukan hanya jadi ancaman. Kita tentu tidak ingin dicurangi dengan dipaksa fokus kepada persoalan jalan tol kilometer 50 itu.

Begitu juga dengan kasus-kasus yang lain. Seperti penolakan Undang Undang Omnibus Law yang sangat kontroversial itu. Pembabatan hutan Papua dan Kalimantan serta hutan diseluruh Indonesia yang menyebabkan datangnya bencana yang merugikan rakyat; kabut asap dan banjir. Begitu juga dengan kasus Harun Masiku.

Jangan karena KPK telah menangkap dua menteri Kabinet Indonesia Maju sehingga kita melupakan kasus Harun Masiku yang entah dimana rimbanya. Semua harus dikawal. Kita semua harus mewadahi diri sendiri dengan pengetahuan-pengetahuan terbuka agar tidak mudah dimanipulasi. Apalagi oleh kekuasaan.

Kita semua tahu bagaimana manipulasi oleh oknum penguasa itu begitu nyata di depan mata. Caranya membungkam dengan menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang Undang ITE. Dan itu tidak pernah gagal. “Manusia akan membela orang yang mereka takuti, dibanding yang mereka cintai. Rasa takut tak akan pernah gagal” kata Machiavelli.

Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.

**Penulis adalah Ketua Harian Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang IklanCalon Bupati Luwu 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *