Beberapa waktu lalu, Bapak saya di kampung menelfon. Seperti biasanya, Bapak memang begitu. Tiap hari rasanya berbeda jika tidak berdikusi dengan Bapak. Jika bukan Bapak yang menelfon; saya yang akan menelfon. Begitu seterusnya. Banyak hal yang menjadi topik diskusi. Mulai dari kondisi cuaca, hingga kondisi genting negara. Kadang-kadang, ketika diskusi, saya menjadi seorang yang begitu paham politik. Kadang pula sebagai seorang aktifis.
Bapak juga sama. Kadang-kadang, Bapak sebagai seorang Bapak. Kadang pula menjadi seorang pentani yang handal. Atau juga menjadi seorang kritikus yang begitu menakutkan. Maka dari itu, akan hambar rasanya jika dalam satu hari tidak berbicara. Begitu juga dengan Ibu. Walau pembahasan sangatlah berbeda. Jika berbicara dengan Ibu, lebih kepada keintiman saya sebagai seorang anak dan Ibu sebagai semesta kehidupan.
Ketika saya mengangkat telfon itu, Bapak bertanya hal pertama; kamu dimana? Spontan saya menjawab di toko buku. Saya menjelaskan bahwa baru saja saya menghabiskan beberapa lembar uang merah untuk membeli beberapa buku. Rupanya, penjelasan itu membuat Bapak kaget. Katanya; untuk apa buku itu. Lalu, Bapak mencecar saya dengan beberapa penjelasan yang amat mengerutkan kening. Saya hanya mendengar seksama.
Termasuk diantaranya, Bapak protes mengenai buku-buku yang menumpuk di rumah. Katanya lagi, untuk apa buku itu jika hanya disimpan; juga tidak diajarkan. Apalagi, tambahnya, saya juga tidak (baca: belum) mengajar. Setelah selesai memberikan argumentasi. Seperti biasanya, Bapak mempersilahkan saya untuk memberikan jawaban atau argumentasi terkait penjelasannya itu. Katanya, giliranmu di ujung telefon.
Mendengar itu, saya memberi penjelasan. Kata saya, buku bukan hanya untuk saya. Buku itu juga untuk orang-orang yang bersilaturahmi ke rumah. Juga untuk para keluarga; saudara, sepupu, keponakan, tante/om, bahkan juga untuk Bapak dan Ibu. Mendengar itu, Bapak tertawa. Katanya, buku itu tidak pantas untuknya yang hanya seorang petani. Kata dia, buku baiknya untuk para koruptor yang mengambil hak rakyat.
Kata Bapak, itu bertujuan agar mereka; para koruptor, sadar. Kata Bapak sambil tertawa getir. Mendengar itu, saya ikut tertawa. Saya kemudian melanjutkan penjelasan. Buku itu bukan juga untuk memberikan pengetahuan. “Buku adalah jendela dunia” kata saya mengutip kalimat orang-orang bijak. Walau begitu, Bapak tetap bersikeras. Menurutnya, dari buku juga orang-orang belajar bagaimana mengakali hukum dan memanipulasi orang-orang.
Sejujurnya, jika saya ingin menilai. Apa yang disampaikan Bapak itu adalah jawaban paling jujur. Barangkali, itu adalah bagian dari proses Bapak memaknai situasi dan kondisi hari ini. Bagaimana para pemimpin tidak berani menderita. Seperti kata Haji Agus Salim, “Leiden is lijden; memimpin adalah menderita”. Karena itu, curiga saya, penjelasan Bapak adalah akumulasi seluruh peristiwa yang pernah terjadi dan dilihatnya.
Bagi saya, argumentasi Bapak adalah hal biasa. Mungkin juga karena keterbatasan informasi yang didapatnya. Karena itu, saya sedikit memaklumi sikapnya yang seperti menjustifikasi. Tapi bagaimana jika itu dilontarkan oleh seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Jika ada yang demikian maka itu sungguh kebablasan. Seperti seorang kawan yang pernah sedikit menyindir terkait buku-buku yang saya beli.
Kata kawan ini, buku yang saya beli adalah buku-buku bacaan mahasiswa. Terus terang saja, saya kaget mendengar kalimat itu. Dipikiran saya, sejak kapan buku dikanalisasi; buku ini untuk mahasiswa atau bukan. Saya kalem saja, kemudian sedikit mengomentari. Bahwa saya membeli buku itu hanya untuk menambah pengetahuan. Oh iya, buku yang saya beli itu lahir dari pemikir fenomenal negara ini; Tan Malaka.
Pada dasarnya, bagi saya, buku dilahirkan dari kumpulan-kumpulan pemikiran sang penulis dengan tujuan menyampaikan kebebasan, kejujuran dan keadilan. Karenanya, tidak tepat jika buku dipersempit atau dikanalisasi. Bagi Maman Suherman, buku itu lebih radikal lagi. Katanya, aku menulis maka aku ada. Begitulah judul buku dari penulis yang lebih akrab disapa Kang Maman itu.
Sementara itu, Mohammad Hatta pernah mengatakan jika dirinya rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas. Penulis dunia seperti Milan Kundera juga tidak pernah sekalipun memandang buku sebagai bentuk kanalisasi. Bahkan, penulis The Unbearable Lightness of Being itu memberikan peringatan yang menakutkan tentang buku. “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya. Maka pastilah bangsa itu akan musnah,” katanya.
Karena itu, sungguh sangat disayangkan jika pandangan orang tentang buku masih dipersempit sedemikian rupa. Terutama bagi mereka yang masih antipati terhadap perkembangan literasi. Buku harusnya menjadi bagian penting terutama dalam pengembangan peradaban negara, terutama dalam bidang pendidikan. Sebab dari banyak buku, orang akan terbuka memandang, menilai dan mengenali diri sendiri, alam semesta dan Tuhan sekalipun.
Stigma juga wajib kita hilangkan kepada mereka yang menyukai buku-buku. Apalagi, akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar buku dijadikan sebagai barang bukti untuk memenjarakan orang-orang. Tentu saja, itu sangatlah kita sayangkan. Stigma negatif yang demikian ini perlu diklarifikasi. Penerimaan perbedaan seharusnya menjadi acuan untuk menekan angka stigma hingga pemenjaraan karena buku itu.
Bahkan, sang republik sejati seperti Tan Malaka pernah menyampaikan jika perlu pakaian dan makanan dikurangi demi menjadikan toko buku tetap ada. Barangkali, apa yang disampaikan Tan Malaka itu sebagai bentuk penyadaran tentang manusia agar tidak rakus. Sebab keharmonisan pikiran dan perasaan dapat menyebabkan manusia menjadi beradab. Sedangkan perut yang terus-terusan lapar atau telah kenyang sekalipun jika tanpa harmonisasi pikiran dan perasaan akan menyebabkan kehancuran. Maka dari itu, aku menceburkan diri ke dalam buku-buku.
Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.
**Penulis adalah Ketua Harian Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi