SUARAPANTAU.COM, MAKASSAR – Program Studi (Prodi) Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Makassar (UNM) melaksanakan kegiatan edufair tahun 2024, selama tiga hari yakni tanggal 27-29 Mei 2024, di Pelataran Phinisi UNM.
Salah satu rangkaian dari kegiatan itu adalah pelaksanaan Seminar Nasional dengan tema “Learning for The Future; Critical Thingking and Problem Solving, communication, colaboration, creativity anda Inovation” digelar di Ballroom Teater, Menara Phinisi, UNM.
Adapun pemateri yang dihadirkan antara lain, Pandu Digital Indonesia Kominfo, Hani Purwanti, M.M., Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Universitas Islam Bandung, Dr. Rita Gani, M.Si., Ketua Prodi Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Dr. Cecep Kustandi, M.Pd., dan Musical Story Teller Sekolah Bahasa Bolasugi, Arif Rahman.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr Hasnawi Haris, M.Hum yang mewakili Rektor UNM, Prof. Dr. Karta Jayadi, M.Sn., mengaku jika tema yang diangkat dalam seminar sangat menarik.
Prof Hasnawi mengaku jika pembelajaran masa depan tidak akan lepas dari perkembangan teknologi informasi. Karena itu, kata dia, tidak salah kemudian peserta seminar sangat banyak yakni mencapai 500 lebih pendaftar dan tidak dapat diakomodir seluruhnya.
“Saya kira tema yang diangkat ini sangat sesuai dengan perkembangan pembelajaran saat ini yang mengintegrasikan pembelajaran dengan teknologi. Ini sesuatu yang tidak dapat kita hindari,” kata Prof. Hasnawi, Senin (27/5).
Akademisi asal Soppeng ini bahkan mengaku jika dirinya saat ini juga mulai terbuka dengan perkembangan teknologi dan digital, terutama dalam pemanfaatannya dalam pembelajaran.
“Saya baru-baru ini juga mulai aktif menggunakan teknologi ini dalam berbagai kesempatan dan kegiatan. Seperti penggunaan sosial media dalam penyampaian pesan pembelajaran. Saya kira, hal-hal yang seperti ini sudah seperti tuntutan zaman,” jelasnya.
Dalam materinya, Hani Purwanti mengaku ada beberapa hal yang penting tantangan generasi Gen z di masa depan. Diantaranya, kata dia, masalah keuangan, lingkungan, politik, teknologi, dan sosial media.
“Lima hal ini akan sangat krusial yang akan dihadapi oleh para gen Z. Karena itu, diperlukan keterbukaan dan kesadaran untuk belajar dan beradaptasi,” kata Hani.
Hal senada juga disampaikan oleh Rita Gani. Kata Rita, selain lima soal ini, para Gen Z juga harus berhadapan dengan tantangan lain yang lebih berbahaya yakni penyebaran informasi yang salah atau hoax.
Karena itu, kata Rita, Gen Z perlu memiliki peran dalam melawan penyebaran hoax. “Potensi Gen Z di Indonesia itu sangat besar yakni berada pada angka 64 juta lebih. Jika potensi dimaksimalkan makan akan sangat berdampak positif,” kata Rita.
Sementara itu, Cecep Kustandi memberikan penjelasan lebih teknis bagaimana teknologi dan pembelajaran sudah tidak dapat dipisahkan saat ini. Kang Cecep–sapaan akrab Cecep Kustandi bahkan memberikan sejumlah bentuk teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran.
“Dengan perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat hari ini, teknologi ini tidak bisa lagi dipisahkan dalam pembelajaran. Malah sebaliknya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Kang Cecep.
Bahkan, Kang Cecep mengaku jika dirinya telah menulis sekitar 10 buku tapi tidak akan sebanding dengan media teknologi yang disediakan oleh youtube dalam pembagian royalti tiap tahun.
“Saya sudah menulis 10 buku dan ini tidak sebanding dengan royalti yang saya dapatkan dalam akun youtube yang saya buat. Jadi, memang teknologi tidak lagi bisa diabaikan tapi harus dimanfaatkan,” jelasnya.
Perspektif berbeda disampaikan oleh Arif Rahman dalam materinya. Arif mengaku jika dalam perkembangan teknologi digital yang sangat cepat harus diimbangi dengan penguasaan bahasa dan budaya.
Menurutnya, bahasa menjadi faktor penting dalam memberikan kesadaran dan keterbukaan informasi dari berbagai perspektif yang berbeda. Penguasaan bahasa, kata dia, akan memberikan pengetahuan yang luas.
“Bahasa ini penting sebagai penerjemah informasi dari berbagai latar belakang, budaya dan pengetahuan. Sehingga informasi yang beragam dan memperkaya ilmu pengetahuan,” kata Arif.
Selain itu, kata dia, budaya akan menjadi dasar yang kuat untuk menerjemahkan identitas. “Saya pernah memakai baju adat dan berjalan ke lingkungan masyarakat, tapi itu seperti dipandang salah, padahal itu adalah identitas kita. Dan, saya kira ini yang perlu dilestarikan,” pungkasnya. (rls/*)