Resiliensi Bisnis di Tengah Eskalasi Global

Lukman Dahlan, S.E., M.Ak, Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar
Lukman Dahlan, S.E., M.Ak, Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar

Perusahaan yang hanya mengejar laba tanpa peduli pada manusia dan planet, akan kehilangan relevansi di mata publik.

Dunia tidak sedang baik-baik saja. Berita tentang perang, krisis kemanusiaan, dan ketegangan antarnegara terus membanjiri layar gawai. Belum ada titik terang dari perang antara Rusia dan Ukraina. Di Timur Tengah, konflik Israel dan Palestina belum menunjukkan tanda mereda, bahkan kini melebar ke Yaman.

Di Asia Selatan, eskalasi dan retaliasi India – Pakistan terus memanas. Apalagi, rivalitas global Amerika Serikat dan Tiongkok dalam bentuk proxy war, perang teknologi, dan dominasi ekonomi, telah menjadi bayang-bayang konstan yang memengaruhi arah dunia.

Di tengah kegentingan itu, dunia usaha dituntut untuk tetap berjalan. Para pelaku bisnis harus mengambil keputusan, membayar gaji, memenuhi pesanan, membayar utang, dan mempertahankan hubungan dengan konsumen. Lalu pertanyaannya: bagaimana bisnis bisa bertahan atau bahkan tumbuh di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini?

Bacaan Lainnya

Sebagai seorang akademisi di bidang akuntansi, saya melihat bahwa resiliensi bisnis bukan sekadar kemampuan untuk bertahan hidup, tetapi juga soal bagaimana bisnis mampu membaca perubahan, menyesuaikan diri, dan tetap menjaga kepercayaan dalam situasi yang sangat fluktuatif. Akuntansi bukan hanya soal mencatat, tapi soal memahami.

Memahami di mana kerugian tersembunyi, di mana efisiensi bisa dilakukan, dan bagaimana risiko bisa diminimalkan. Karenanya, para pelaku bisnis harus mampu memanfaatkan akuntansi sebagai langkah awal dalam menghadapi setiap gejolak yang datang.

Ketika harga minyak melonjak akibat perang, ketika logistik terganggu karena embargo, atau ketika nilai tukar tiba-tiba bergejolak akibat ketegangan diplomatik, semua itu berdampak langsung pada neraca dan laporan laba rugi.

Di sinilah akuntansi memainkan peran kunci. Perusahaan yang memiliki sistem pencatatan dan pelaporan keuangan yang andal akan mampu membaca arah perubahan lebih cepat, dan itu adalah dasar dari pengambilan keputusan yang rasional.

Sebagai contoh, perusahaan yang memiliki data historis, analisis biaya, pemetaan arus kas, hingga perencanaan anggaran yang tepat guna bisa segera menyesuaikan strategi ketika harga bahan baku impor melonjak karena perang dagang. Mereka bisa beralih ke pemasok lokal, atau mengubah desain produk untuk menghemat biaya tanpa menurunkan kualitas.

Namun, resiliensi bisnis tidak hanya soal angka. Kita hidup di dunia yang kini lebih sadar terhadap isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Perusahaan yang hanya mengejar laba tanpa peduli pada manusia dan planet, akan kehilangan relevansi di mata publik. Kondisi ini menjadi jalan masuk bagi konsep akuntansi keberlanjutan (sustainability accounting).

Melalui laporan keberlanjutan, perusahaan tidak hanya bicara tentang berapa besar keuntungan, tetapi juga bagaimana mereka berdampak pada lingkungan, memperlakukan pekerja, dan menjaga integritas. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral sekaligus strategi bisnis jangka panjang.

Perusahaan yang sejak dini menanamkan nilai-nilai keberlanjutan akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan konsumen, investor, bahkan pemerintah. Dan kepercayaan, dalam iklim global yang penuh konflik seperti sekarang, adalah aset yang tak ternilai.

Kini sudut pandang akuntansi juga ikut berubah. Akuntan hari ini bukan lagi sekadar “tukang hitung”, tapi mitra strategis manajemen. Mereka menjadi penjaga integritas informasi, konsultan risiko, dan bahkan navigator dalam menghadapi badai ketidakpastian global.

Seorang akuntan yang memahami konteks geopolitik bisa membantu perusahaan menyusun skenario terbaik dan terburuk dalam menyusun anggaran. Ia tidak hanya memahami angka, tetapi juga cerita di balik angka itu. Ia tahu bahwa satu krisis di satu belahan dunia bisa berdampak pada harga bahan baku di gudang perusahaan kecil yang ada di Makassar atau di wilayah lainnya.

Resiliensi bukan berarti tidak jatuh, akan tetapi mampu bangkit setiap kali terjatuh. Dunia usaha di Indonesia pernah melewati banyak krisis: krisis 1998, krisis global 2008, pandemi COVID-19, dan kini geopolitik global. Kita belajar bahwa kunci bertahan adalah adaptif, transparan, dan berpikir jangka panjang.

Akuntansi hadir sebagai bahasa yang menjembatani ketiga hal itu. Lewat akuntansi yang jujur, strategis, dan berwawasan keberlanjutan, bisnis bisa bertahan, tumbuh, dan bahkan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat di tengah dunia yang terus bergolak. Karena itu, peran akuntansi ke depannya tidak hanya menjelaskan masa lalu melalui angka, tetapi juga memandu masa depan melalui strategi.

(*)

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *