Kritik TPF Kasus Novel, Wasekjen Demokrat: Hanya Akal-Akalan Politik Jokowi

Joko Widodo

SUARAPANTAU.COM, JAKARTA  – Wakil Sekjen Partai Demokrat, Rachland Nashidik kritik keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Dalam komentarnya, Rachland Nashidik membuat sejumlah catatan penting soal keseriusan pemerintah.

Mengawali komentarnya, Ia menyebutkan, pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus Novel tentu perlu disambut secara pantas. Namun demi kejujuran perlu disampaikan beberapa catatan.

Pertama, Ia heran dengan sikap Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri berupa pembentukan Tim Gabungan untuk kasus Novel.

Bacaan Lainnya

Padahal tgas Komnas HAM adalah memastikan kinerja polisi selalu berada dalam konformitasnya pada norma-norma HAM.

“Kalau mengevaluasi kinerja Polda dalam kasus Novel, dan karena menilai tak cukup lalu komnas mendesak Kapolri ambil alih dengan membentuk Tim Gabungan: tidakkah itu sebenarnya pekerjaan Kompolnas? Tugas Komnas HAM itu menggebrak meja Presiden, bukan meja Kapolri,” sebutnya.

Kedua, ditemukan kekacauan konseptual yakni suatu pelanggaran HAM dalam kasus Novel bisa terjadi karena Polisi membiarkan kasus ini hingga hak Novel atas perlakuan sama di muka hukum tidak dipenuhi.

Bila itu terjadi, lanjut Rachland Komnas HAM wajib turun tangan. Misalnya dengan mendesak atau menyampaikan rekomendasi kepada Presiden agar dibentuk TPF untuk membantu polisi.

“Di sini lucunya, alih alih menggebrak meja Presiden, Komnas HAM malah mengevaluasi kinerja Polda. Lalu mendesak kasus Novel diambil alih oleh Kapolri dengan membentuk Tim Gabungan. Ini sama saja dengan mengakui Polisi bekerja, kendati diperlukan tambahan keseriusan. Soalnya, bila polisi bekerja, lalu dimana letak pelanggaran HAM dalam kasus Novel? Kalau begitu, apa dasar bagi Komnas HAM turun tangan dalam kasus Novel?,” lanjutnya.

Ketiga, Ia menyanyakan aktor intelektual dibalik  Tim Gabungan Kasus Novel, dia tidak mempelajari evolusi Tim Pencari Fakta dalam sejarah politik Indonesia paska reformasi.

Ia Bandingkan dengan TGPF Kerusuhan Mei 1998 dan dengan TPF Munir sebagai benchmark. Yang pertama didasari Keputusan sejumlah menteri, yakni Menhan/Panglima ABRI, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri dan Menteri Peranan Wanita. Yang kedua bahkan didasari oleh Keputusan Presiden. Itu evolusinya dari sisi otoritas.

“Evaluasinya, kendati TGPF kerusuhan Mei 98 memiliki dasar otoritas yang kuat dan jurisdiksi yang luas, namun at the end of the day diakui memiliki kelemahan. TGPF bagaimanapun “cuma pencari fakta”. Hasil temuan-temuannya, meski penting dari sisi pencarian kebenaran, namun tak berlaku sebagai barang bukti dalam proses hukum,” tandasnya.

“Temuan TGPF harus diserahkan kepada Polisi untuk ditindaklanjuti oleh penyelidikan dan kemudian penyidikan, apabila bisa. Ini antiklimaks. Belum tentu Polisi mau atau bisa menindaklanjuti temuan. Soal lain, otoritas menteri ternyata tidak cukup, kurang kuat, untuk menembus tembok tembok kesulitan yang membentengi kejahatan akibat abuse of power,” sambungnya.

Menurutnya, sejumlah evaluasi itulah yang membuat TPF Munir berbeda. TPF Munir dibentuk oleh otoritas lebih tinggi, yakni Presiden.

Inilah kepanjangan tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu dan melindungi polisi dalam menyelidiki kasus Munir.

Melapor langsung pada Presiden, tim ini dengan sengaja dirancang untuk diketuai penyidik Polri, Brigjen. Marsudhi Hanafi.

“Agar temuan-temuan Tim bisa langsung dijadikan barang bukti bagi proses hukum, apabila memenuhi syarat,” jelas Rachland.

Keempat, bisa disimpulkan TPF kasus Novel berada diluar atau melawan evolusi TPF di Indonesia.

“Sebagai Tim Pencari Fakta, dia “cuma” didasari Keputusan Kapolri. Artinya, ini sejatinya adalah tim polisi biasa yang keanggotaannya ditambahi dari unsur non-polisi. Di sini kita bertemu kejanggalan. Bila ini tim polisi, masak iya  pekerjaannya cuma cari fakta?,”

Sebaliknya, bila tim ini melakukan pekerjaan normal polisi yaitu menyelidiki kejahatan, apa perlunya membentuk “Tim Gabungan”, yang dari sisi nama mengingatkan publik pada TGPF Kerusuhan Mei dan TPF Munir? Ke sana sini tak sampai.

Atas dasar sejumlah pertimbangan tersebut, Ia menyimpulkan TPF Novel tak ubahnya hanyalah “tailor made” agar pas dengan kepentingan politik Jokowi dalam Pemilu dan debat besok.

Baca juga: Istana Sebut Kasus Novel Bukan Pelanggaran HAM Serius

Ia menegaskan, Tim ini bukan hanya akan mengeluarkan kasus Novel dari daftar kesalahan Jokowi dalam urusan perlindungan HAM.

“Ia juga memberi kesan seolah Jokowi bertekad menuntaskan kasus Novel. Namun, bila tim ini gagal atau tak selesai, Jokowi tinggal menyalahkan polisi. Lalu menegaskan ‘Itu tak ada hubungan dengan saya. Tim itu dibentuk atas rekomendasi Komnas HAM, bukan saya,” tutupnya.(RN)

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi Suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *