Tetiba amandemen bak magnet yang menyedot atensi banyak pihak. Tak cuma didamba elit parpol, amandemen juga dirindu sekelompok masyarakat. Diskursusnya menggema, dari media sosial hingga gedung parlemen.
Amandemen UUD 1945 memang sebuah kebutuhan. Pun bagi DPD, mengingat amandemen menjadi satu-satunya pintu masuk menguatkan kewenangan lembaga ini. Sejak masa Anggota DPD periode lampau, tujuan penguatan ini telah digagas, diracik, dan diusulkan. Namun tak juga ada sambutan hangat dari kamar sebelah.
Kini gayung bersambut. Kebutuhan amandemen bagi DPD berbaur dengan kepentingan partai politik. Konon, istana ikut pula cawe-cawe dari belakang panggung. Pembauran kepentingan itu bisa jadi memuluskan langkah membuka kotak pandora amandemen. Namun, juga sekaligus menjadi alarm bagi kita untuk mewaspadai potensi penumpang gelap. Salah satunya wacana presiden tiga periode.
DPD menyadari situasi itu. Bila kotak Pandora dibuka, bukan tidak mungkin pengusung wacana tiga periode ikut menari pada tabuhan gendang yang sama, untuk selanjutnya bergerilya dengan beringas. Ini dimungkinkan bila sang penumpang gelap disponsori petinggi politik yang berkelindan dengan oligarki.
Jadi, kalkulasinya harus meyakinkan sebelum memutuskan melangkah. Sejauh ini suasananya relatif kondusif. Mayoritas partai menyatakan menolak wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden. DPD sendiri sejak awal telah menegaskan hal yang sama.
Masalahnya, politik bukan ilmu pasti. Selalu ada variabel lain yang potensial membuncah. Terlebih, ada beberapa partai yang masih berbicara normatif, tidak tegas memosisikan diri. Juga ada pimpinan lembaga legislatif yang punya jejak digital pernah mendorong wacana tiga periode.
Jadi, walaupun suasana kebatinan secara umum menunjukkan penolakan terhadap wacana tiga periode, namun konsistensinya tidak bisa dijamin linier hingga putusan amandemen diketuk. Inilah yang harus diwaspadai.
Kontradiktif
Situasinya memang serba kontradiktif. Disaat Presiden Jokowi menyatakan menolak wacana tiga periode, disaat yang sama presiden membiarkan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 mengusung dirinya, bergerilya di sana-sini.
Ketika elit parpol ramai-ramai menampik tiga periode, inisiator Jokpro 2024 Mohammad Qodari justru makin optimistis. Pembentukan pengurus daerah Jokpro jalan terus dan konon bakal didirikan di seluruh provinsi.
Fenomena itu tidak boleh dipandang remeh. Apalagi, ketika pintu amandemen dibuka, sulit mencari jalan kembali, kecuali mengetoknya dengan keputusan-keputusan. Yang dikhawatirkan adalah ketika pemilik suara yang kini menolak, tetiba berbalik arah dengan alasan klasik: mengikuti kehendak rakyat.
Untungnya, rakyat menolak. Sebanyak 74 persen menyatakan tetap memilih dua periode, dan hanya 13 persen yang setuju tiga periode, demikian temuan survey Saiful Mujani Research Center (SMRC), 21-28 Mei 2021.
Qodari meyakini dapat membalikkan keadaan dengan menguber dukungan dari bawah. Namun, politik bedak agaknya mulai menemui karmanya. Bertumbuhnya politik ideologi sedikit demi sedikit menggeser pesona politik pencitraan. Mahasiswa yang tadinya disangka tidur panjang, tetiba menghentak. Gelar King Of Lip Service diberikan kepada Jokowi.
Politik ideologi yang mengedepankan pertarungan ide dan gagasan harus dipupuk sehingga makin subur jelang kontestasi elektoral 2024. Dalam perspektif ini pula seharusnya sudut pandang kita dibangun saat mencerna gagasan presiden tiga periode.
Bertahun-tahun pikiran masyarakat diinjeksi dan dikenakan kacamata kuda hingga alam bawah sadar selalu fokus pada dua nama. Itu terlihat dari gegap gempita pembentukan Seknas Jokpro 2024, wacana presiden tiga periode, atau survei ini dan itu, yang sengaja atau tidak, adalah injeksi massal kesekian kalinya.
Pada pemilu 2014dan 2019 Jokowi dan Prabowo bermusuhan. Kini, menuju 2024, kemasannya rekonsiliasi. Konon agar rakyat tidak terbelah. Faktanya, meski telah menyatu dalam satu kubu pemerintahan yang sama, rakyat tetap saja terbelah. Yang menyatu hanya elit, tidak mengikutkan akar rumput.
Bangsa ini terlalu kerdil bila kembali diperhadapkan dengan orang yang telah berkali-kali mencalonkan diri. Seolah negeri tidak punya pilihan lain. Seolah nyawa republik hanya bergantung pada satu-dua orang.
Negara Merapuh
Padahal, kalau berbicara prestasi, nyaris tidak ada hal gemilang yang bisa dibanggakan. Yang ada malah sebaliknya. Negara perlahan semakin rapuh seiring pandemi yang tak kunjung teratasi, ekonomi terpuruk, utang menggunung yang bahkan untuk membayar bunganya saja harus dengan mengutang lagi.
Sayangnya, dalam perdebatan tiga periode, kita tidak menemukan berkembangnya diskursus dari sudut pandang ini. Yang ada, masyarakat terus-menerus dicekoki nama-nama dengan argumentasi rekonsiliasi atau kemungkinan perubahan konstitusi melalui amandemen.
Bagi DPD, amandemen memang sebuah kebutuhan. Hari ini, hampir semua elit kekuasaan tidak membuka ruang yang cukup bagi rakyat untuk mentransformasikan paradigma checks and balances. Sebagai wakil rakyat yang memiliki legitimasi kuat, penguatan lembaga DPD ditujukan ke arah itu.
Namun keinginan itu bukan sesuatu yang dipaksakan. DPD tidak egois. Ada hal lain yang harus diperjuangkan demi tegaknya demokrasi. Salah satunya adalah medobrak aturan angkuh bernama Presidential Throshold, ambang batas 20 persen bagi partai untuk mengajukan calon presiden.
PT telah banyak dianalisis. Pada pokoknya, sistem ini diyakini mengebiri demokrasi, melanggengkan oligarki, dan mengamputasi munculnya calon pemimpin alternatif yang boleh jadi lebih unggul. Pelaksanaan dua pemilu terakhir telah menunjukkan daya rusak PT. Karena itu, DPD berpendapat PT sebaiknya nol persen saja.
Sejalan dengan itu, DPD merasa telah saatnya ikut bertarung di gelanggang. Melalui amandemen, DPD sekaligus memperjuangkan hak mengajukan calonnya sendiri. Jika lembaga DPR bisa melahirkan beberapa calon sebagai konsekuensi jumlah fraksi dengan calon sendiri-sendiri, maka DPD cukup mengajukan satu pasang calon saja.
Meski tidak berimbang, tapi saya kira itu fair dan berkeadilan.
Oleh: Tamsil Linrung (Penulis adalah Anggota DPD RI)