LBH Jakarta Desak Pemerintah Hentikan Pembahasan Omnibus Law: Serius Tangani COVID-19!

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana. (Foto: Dok. Istimewa)

SUARAPANTAU.COM, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan Pemerintah agar serius mencegah penyebarluasan serta penanganan kasus kesehatan warga negara akibat wabah virus COVID-19 di Indonesia. Desakan ini disampaikan mengingat dampak dari wabah COVID-19 akan menghilangkan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR RI. Bahkan jauh sebelum itu, sejak penyusunannya pun, RUU ini telah menutup ruang partisipasi publik meski ruang hidup rakyat dan keberlanjutan lingkungan dipertaruhkan di dalam rancangannya. Sehingga, LBH Jakarta menilai RUU Cipta Kerja tidak layak untuk dibahas lebih lanjut.

Menurut Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Bilamana pembahasan RUU ini tetap dilanjutkan ditengah perjuangan masyarakat melawan pandemi global COVID-19 berdasar himbauan pemerintah untuk melakukan social distancing, tentu disaat yang sama, hak masyarakat berpartisipasi dalam kebijakan publik juga akan dilanggar. Dan pada akhirnya, nilai-nilai demokrasi akan terus dicederai,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, Rabu (18/3/2020).

Menurutnya, Social Distancing atau mengambil jarak dari aktivitas sosial adalah salah satu upaya pemerintah untuk menekan resiko penularan. Presiden Joko Widodo pun menghimbau masyarakat Indonesia agar bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah. Kemudian disusul oleh Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta yang juga mengeluarkan himbauan bekerja dari rumah (Work From Home) kepada pimpinan perusahaan di wilayah DKI Jakarta.

Namun sayangnya, lanjut Arif, langkah ini hanya sebatas himbauan dan tidak merata ke seluruh wilayah Indonesia. Ia pun menilai jika pemerintah tidak serius dan terkesan tidak berani mendesak pengusaha agar turut mencegah resiko penularan COVID-19. “Padahal pekerja sangat rentan tertular COVID-19 baik dalam perjalanan menuju tempat kerja, di tempat kerja ataupun dalam perjalanan pulang dari tempat kerja. Kondisi di lapangan, pekerja/buruh tanpa perlindungan harus mempertaruhkan kesehatannya demi memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya.

Hingga saat ini, pasien postif Covid-19 di Indonesia sudah tercatat sebanyak 172 kasus sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Selain itu, akibat dari virus ini, sebanyak 7 orang telah meninggal dunia. Adapun kasus kematian pertama diumumkan pada 11 Maret 2020 lalu.

“Angka ini jelas menunjukkan kegagalan negara dalam memenuhi hak atas kesehatan warga negara yang dijamin konstitusi, tepatnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Secara internasional, hak atas kesehatan ini juga dilindungi melalui Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005,” terang Arif.

Demi meningkatkan derajat kesehatan warga negara, Arif mengatakan jika pihaknya mendorong Pemerintah Pusat untuk perlu mewajibkan social distancing dengan mengkoordinasikan ke seluruh wilayah melalui Pemerintah Daerah dan pengusaha. Dalam masa social distancing ini, pemerintah juga wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat baik kelompok pekerja formal, non formal maupun tidak bekerja. Selain itu, Pemerintah juga wajib menyediakan akses kesehatan gratis bagi masyarakat untuk memeriksakan diri bilamana mengalami gejala serupa infeksi COVID-19.

Ia juga mendesak kepada DPR RI untuk wajib menjalankan fungsi pengawasannya, dalam hal ini patut mengawasi kebijakan pemerintah dalam mencegah dan menangani COVID-19. Pemerintah dan DPR RI bekerja sama untuk memastikan pemenuhan hak atas kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip partisipasi dan non diskriminasi. DPR RI menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.

“Kelima hal tersebut kami sampaikan untuk mengingatkan Pemerintah dan DPR RI bahwa pemenuhan hak atas kesehatan warga negara sebagai hak dasar manusia lebih penting diutamakan ketimbang mendahulukan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja yang tujuannya hanya untuk mengakomidir kepentingan pengusaha. Terlebih lagi, salah satu dampak terbesar COVID-19 ini adalah menurunkan tingkat penghidupan yang layak dan sehat bagi masyarakat sehingga secara simultan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam ruang publik khususnya memberi masukan terhadap kebijakan publik yang tengah dibahas. Bilamana keseluruhan hak asasi ini tidak dijamin dan dilindungi, maka penegakan atas nilai-nilai demokrasi hanya menjadi angan belaka,” pungkas Arif. (co)

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi suarapantau.com menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuarapantau@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027

Pasang Iklan

Pos terkait