Sebagai contoh, pengendara dapat dengan mudah memasuki jalan tol tanpa membayar tarif, atau lazim diistilahkan sebagai “kebocoran” (leakage) dalam operasional jalan tol.
Sehingga kerangka hukum untuk pencegahan maupun penindakan perlu dipersiapkan dengan baik, didukung dengan sosialisasi yang masif oleh pemerintah dan badan usaha jalan tol (BUJT).
Kedua, studi di negara-negara lain menunjukkan bahwa angka kecelakaan setelah menerapkan MLFF menjadi lebih rendah dibandingkan sebelum mengimplementasikan sistem ini.
Hal tersebut, karena tidak ada lagi antrean pembayaran di gerbang tol sehingga kejadian tabrak belakang dapat berkurang.
Namun, PUKIS mengingatkan bahwa potensi kecelakaan justru dapat bergeser dari gerbang tol ke lokasi lainnya mengingat karena pengendara bisa terus melaju, yang mungkin dapat mengurangi kesiapsiagaan dan kehati-hatian pengendara.
Ketiga, pemerintah perlu mengantisipasi potensi kekacauan yang mungkin terjadi saat uji coba penerapan MLFF. Mengingat sistem ini belum dikenal secara luas oleh masyarakat.
Pengendara mungkin tidak siap dengan perangkat teknologi yang harus digunakan saat berkendara di jalan tol.
Akibatnya, keributan di lapangan antara petugas dengan pengendara serta tersendatnya lalu lintas karena banyaknya kendaraan yang diberhentikan mungkin akan terjadi.
Pada akhirnya, hal ini dapat menghambat mobilitas masyarakat, mengganggu kelancaran sistem logistik nasional, serta berdampak negatif dari sisi sosial dan politik secara luas.